Solo trip? Sedikitpun tidak pernah terlintas di benak saya untuk
melakukan perjalanan seorang diri. Saya memang tidak masalah ke mana-mana
sendirian, tapi masih dalam lingkup yang mudah dijangkau. Sedangkan untuk
liburan? Selama ini, keinginan itu masih ada di angan-angan semata.
Saya akui saya tipe traveler malas. Senang liburan, tapi
hanya sebagai pengikut. Alias membiarkan orang lain membuat itinerary dan saya tinggal angkat koper
dan bawa badan saja.
Juga, sepertinya saya lebih sering
bepergian sebagai bagian dari pekerjaan, dan itu justru membuat saya jauh lebih
malas lagi karena semuanya sudah diatur. Paling hanya ada satu hari kosong, dan
itu pun seringkali saya isi dengan bepergian impulsif.
Keinginan untuk menonton Ed
Sheeran akhirnya membuat saya terpaksa melakukan solo trip sendiri. Tidak jauh-jauh, hanya ke Manila. Namun, Manila
ternyata bukan destinasi liburan favorit, sehingga tidak jarang saya menerima
kernyitan dahi dari orang-orang yang tahu saya akan ke sana.
Namun, pengalaman ini memberikan
banyak pelajaran untuk saya. Jika disimpulkan, berikut enam hal yang saya
pelajadi dari pengalaman pertama solo
trip.
Ternyata saya sangat clumsy
(Gereja San Agustin)
Katanya, kamu akan benar-benar
mengenal watak seseorang lewat traveling.
Salah satu teman saya, Ossy, yang Agustus 2017 lalu liburan bersama saya ke
Agustus pernah berkata, “Ossy kira Kak If itu orangnya cool, tough, gitu. Tahunya clumsy
banget.”
Well, I don’t know that I’m clumsy actually. Namun saya akui di
beberapa kesempatan saya memang ceroboh, tapi selalu ada yang mengingatkan
saya. Di solo trip ini, tidak ada
seorang pun yang mengingatkan saya. Hal inilah yang akhirnya menyadarkan saya
untuk lebih berhati-hati.
Berikut beberapa kecerobohan yang
saya lakukan dan jangan diikuti.
-Begitu mendarat di Ninoy Aquino, saya membeli
SIM Card Filipina untuk mempermudah komunikasi. Setelah semuanya beres, saya
langsung pergi dari counter. Sekitar sepuluh langkah, saya tersadar. ‘Where’s my bag?’ Setelah celingak
celinguk, ternyata koper saya ketinggalan di counter SIM Card. Belum lima menit
di negara orang, saya sudah berbuat hal konyol.
-Saya sering jatuh karena sepertinya ada yang
salah dengan kinetik saya. Bahkan, dengan memakai flat shoes dan berjalan di lantai yang rata saja, saya bisa jatuh. Jadi,
teman-teman saya bertaruh, berapa kali saya akan terjatuh? Yang saya ingat
hanya dua, di lantai dua gereja San Agustin. Namanya bangunan tua, jadi
lantainya licin, dan tiba-tiba.. I fell,
haha. Yang kedua terjadi di Sky Ranch, Tagaytay. Ketika asyik memotret, enggak
sadar ada tangga sehingga terjatuh.
-Di SM By the Bay. Saya akan naik kapal kecil
untuk menikmati sunset ketika salah satu petugas yang memeriksa karcis mengingatkan
untuk, ‘ma’am, please keep your money
well. You never know what kind of people you’ll met at the ship,’ sambil
melirik tas saya. Saat itu saya memakai tas yang hanya memiliki satu kancing
saja, sehingga cenderung terbuka. Well,
bukan pilihan tas yang tepat untuk liburan.
Dalam hal ini, saya masih
beruntung tingkat keteledoran saya masih dalam tahap bearable, dan masih ada orang yang berbaik hati mengingatkan.
Pelupa parah
(SM By the Bay
Saya memang pelupa, dan sepertinya
saya semakin menyadari kalau saya pelupa setelah berlibur sendirian. Ditambah dengan
sikap saya yang clumsy, sehingga saya
sering melupakan hal yang penting. Berikut beberapa hal yang saya ingat,
terkait dengan sifat pelupa, dan sepertinya banyak hal lain yang saya alami,
tapi berhubung saya pelupa, saya hanya ingat beberapa.
-Saya selesai makan di McDonald dekat hotel
ketika Grab pesanan saya datang dan saya langsung pergi, sama sekali tidak
ingat meninggalkan handphone di atas meja. Beruntung petugas McDo berbaik hati
mengejar saya, sebelum saya pergi.
-Lupa membawa kunci hotel, sampai-sampai
petugasnya hanya ketawa setiap kali saya minta dibukain pintu kamar.
-Lupa membawa makanan yang sudah dibeli dan
dibayar. Well, kebiasaan di Jakarta
dibawa-bawa.
Untungnya, saya tidak meninggalkan
barang apapun di kamar hotel, karena biasanya selalu saja ada yang ketinggalan.
Entah charger, lipstik, skincare, anything.
Always have plan B
(Sky Eye at Sky Ranch, Tagaytay
Di hari ketiga, rencananya saya
akan mengikuti half-day trip ke
Corregidor Island. Saya sudah booking
trip ini sejak jauh-jauh hari. Untuk ikutan, saya harus tiba di pelabuhan
maksimal pukul 7 pagi. Saya sudah bersiap-siap, tapi sayangnya, sehari
sebelumnya, saya demam. Malam sebelumnya, saya minum obat untuk meredakan demam
dan flu. Saya sempat terbangun karena alarm jam lima pagi, tapi pengaruh obat
masih sangat kuat dan hidung super beler sehingga saya kembali tertidur. Bangun-bangun,
ternyata sudah pukul tujuh kurang 15 menit. Saya mandi dan siap-siap dengan
terburu-buru. Setengah jam kemudian, saya sampai di pelabuhan, but I didn’t make it.
Seharusnya saya kembali ke hotel
untuk beristirahat. Tapi, saya malah nekat membuat plan B dalam waktu super
mendadak. Akhirnya, saya pergi ke Tagaytay. Cukup jauh, sekitar dua jam
perjalanan normal lewat skyway dari Manila.
Pelajarannya, sebaiknya selalu
sediakan Plan B sejak jauh-jauh hari, sehingga ketika terjadi sesuatu dan
rencana awal tidak terlaksana, jadinya enggak perlu panik karena ada plan B.
Namun, saya tidak memiliki Plan B sehingga terpaksa membuat rencana dadakan. Dan
namanya juga rencana dadakan, tentu saja ada banyak rintangan.
Rintangan pertama, saya tidak tahu
apa yang akan saya lakukan di Tagaytay. Ditambah dengan kondisi tubuh yang
tidak 100% fit.
Implusive will lead you somewhere
(Bonifacio Global City, Taguig City)
Karena ditinggal oleh kapal yang
seharusnya membawa saya ke Corregidor, saya akhirnya memesan Grab ke Tagaytay. Selama
di Manila, saya memanfaatkan Grab sebagai sarana transportasi utama. Perjalanan
dari Manila ke Tagaytay lancar, sepi, dengan lahan kosong lalu tiba-tiba ada
Jollibee lalu lahan kosong lagi, lalu Jollibee lagi. Begitu seterusnya. Membuat
saya berpikir betapa menyenangkannya road
trip di sini—tentunya dengan hidung yang tidak meler.
Begitu sampai di Sky Ranch, sopir
Grab bertanya bagaimana saya akan kembali ke Manila nanti? Tidak ada Grab. Tidak
ada taksi. Dan saya hanya melongo.
Dengan kondisi tubuh yang
terbatas, saya tidak banyak bermain di Tagaytay. Saya akhirnya pulang naik bis,
melewati jalur lain yang jalanannya kurang lebih seperti Jalanan di Lenteng
Agung atau Pasar Minggu, dan berakhir di terminal bus Pasay yang membuat saya
seperti berada di Tanah Abang. Saya pun melihat sisi lain Manila yang tidak
saya lihat di hari-hari sebelumnya. Padat dan ruwet.
You have to manage your money well
(MoA Eye at SM By the Bay
Saya memang boros. Namun ketika
liburan, saya harus lebih berhati-hati lagi dalam mengatur keuangan kalau tidak
ingin kebablasan, dan saya rasa kemarin cukup kebablasan—terbukti dengan
tagihan yang menumpuk.
I’m not fancy traveler but I also don’t want to be ‘susah’ traveler. Come
on, sehari-hari hidup ini sudah susah, masa iya pas liburan juga harus
susah? Untuk makan, saya all out. Untuk
transport, saya manja. Untuk mencoba suatu arena atau masuk ke suatu tempat
penting, saya tidak berpikir dua kali. Untuk belanja? Saya kalap. Hahaha.
Next time kalau mau liburan lagi, harus lebih detail dalam membuat
perencanaan.
Now I know how important it is to
talk to yourself
Kesimpulan dari perjalanan ini
adalah, saya jadi lebih kenal dengan diri sendiri. Klise memang, karena setiap
orang yang bepergian sendiri, pasti akan bicara hal yang sama. Namun ini benar. Solo trip menantang saya membuat
rencana sendiri, dengan memikirkan kebutuhan sendiri, dan untuk itu, saya harus
berbincang dengan diri sendiri akan apa yang saya inginkan.
Solo trip juga memungkinkan kita memiliki banyak waktu sendirian. Pertama
kali saya tersadar itu ketika melewati McKinley Road. Saya langsung jatuh cinta
dengan tempat itu. Kalau suatu hari nanti saya membuat novel dengan latar
belakang Manila, tokohnya harus tinggal di sana.
Balik lagi ke poin semula. Saat itu
sudah sore dan saya melewati McKinley Road yang lengang, dan perasaan tenang
itu tiba-tiba menyelimuti saya. Sepenjang perjalanan, saya bercakap-cakap
dengan diri sendiri. Begitu juga halnya dengan perjalanan tiga jam lebih
Tagaytay – Manila. Di tengah kepala yang berdentum hebat, saya jadi memikirkan kehidupan
saya.
And it’s fun.
It’s amazing.
Salah satu teman saya, Ira, pernah
bertanya, ‘apa mau ngelakuin itu lagi?’ dan maksudnya adalah, solo trip. Jawaban saya, iya. Tidak usah
yang jauh-jauh karena menjelang akhir tahun ini, saya sudah menyusun rencana
lain.
Satu minggu berlalu
setelah saya menyaksikan langsung konser Ed Sheeran, dan saya masih belum bisa move on. Sepanjang hari, Spotify saya
memutar lagu Ed Sheeran. Setiap kali berkumandang lagu yang minggu lalu saya
saksikan di Manila, euphoria konser
kembali terasa.
Mengunjungi konser Ed
Sheeran di negara orang masih terasa surreal.
Karena saya tahu saya tidak seberani itu untuk pergi sendiri. Terlebih, ke
Manila, kota yang setiap kali ada yang mendengar saya ingin ke Manila, selalu
membalas dengan pertanyaan, “Ngapain ke sana? Emang di sana bagus buat liburan?
Kenapa enggak Bangkok aja?”
Well, Manila
memang bukan kota yang terkenal untuk liburan karena mindset orang-orang adalah sama-aja-kayak-Jakarta. Namun, saya
tidak punya pilihan lain karena hanya di sanalah harapan terakhir saya bertemu
Ed Sheeran.
Saya menginjakkan kaki
di NInoy Aquino International Airport pukul lima lewat waktu setempat.
Terlambat setengah jam karena pesawat yang saya tumpangi telat berangkat.
Begitu sampai di airport dan membeli simcard
lokal, saya langsung menghubungi Shelly untuk memberitahu kedatangan saya.
Dari airport saya
menuju hotel yang ternyata hanya berjarak 15 menit saja dari airport. Lucky me, he-he. Shelly pun berjanji
akan menjemput saya malam nanti sekitar jam delapan, sepulang dia dari gereja.
Namun ternyata Shelly harus mengurus anaknya dulu sehingga dia baru sampai di
hotel saya hampir jam sembilan. Empat tahun tidak bertemu, akhirnya kami
bertemu kembali.
Shelly dan suaminya
membawa saya ke SM Mall of Asia yang ternyata… hanya berjarak sepuluh menit
dari hotel. Kami makan malam di Jollibee (permintaan saya karena saya suka
iklannya Jollibee, he-he). Kami tidak lama-lama karena mall itu tutup jam
sepuluh (iya, sama kayak Jakarta). Namun, sebelum pulang, suaminya Shelly
mengajak saya ke MoA Concert Ground. Alasannya, biar saya ada gambaran besok
mau ke mana.
Mereka dengan baik hati
menunjukkan di mana sebaiknya saya turun Grab lalu harus berjalan ke arah mana.
Berkali-kali mereka mewanti-wanti untuk, ‘kalau bingung, tanya ke sekuriti aja,
jangan ke orang asing.’ Begitu juga ketika mereka tahu saya mau jalan-jalan
sendiri ke Intramuros keesokan harinya. Ketika orang yang saya temui di Jakarta
memberikan nasihat yang sama, saya selow. Namun ketika penduduk lokal
memberikan wejangan seperti itu, saya manut.
Akhirnya, keesokan
harinya, berkat bantuan Shelly dan suaminya, saya selamat sampai di lokasi
konser. Sebenarnya tidak sulit untuk mencari lokasi, karena setiap sepuluh
meter ada penunjuk jalan dadakan. Sign
setiap booth juga besar dan mudah
dilihat oleh mata minus saya di malam hari. Sekuriti juga menjelaskan dengan
sangat baik.
Lancar dan Rapi
Dari Instagram SM
Ticket saya tahu kalau mereka membuka booth tiket. Tahu gitu, mending saya beli
di sana aja langsung ketimbang di calo? Well,
saya tidak menyesalinya karena saya tidak tahu soal hal ini. Untung juga,
karena ketika saya tiba di sana, ternyata tiket yang mereka jual hanya Patron
A, B, C, kelas super mahal dan duduk. Tadinya, saya berniat upgrade tiket ke Gold, tapi karena tidak ada, saya pun tetap memakai tiket yang saya
punya (sambil deg-degan apakah tiketnya beneran asli?)
Sebelum masuk venue,
saya memutuskan untuk membeli merchandise.
Yup, ini sudah ada di dalam daftar budgeting
saya, karena saya tidak akan pulang dari konser ini dengan tangan kosong.
Antreannya lumayan panjang meski petugas yang melayani bisa mencapai sepuluh
orang. Untungnya mereka bekerja dengan sangat cepat. Terlebih ketika saya
mengantre, hanya tinggal satu jam menjelang konser mulai.
Tidak ada yang
desak-desakan dan membuat antrean jadi kacau. Petugas juga sigap. Tidak ada
yang bersorak dari belakang menyuruh cepetan. Dan saya bisa mengantre dengan
tenang. Karena sudah tahu saya hanya ingin membeli t-shirt, saya langsung
menunjuk yang saya mau, bayar ke Mbak A sementara mbak B mengambilkan pesanan
saya, tidak perlu dimasukin paper bag
karena saya tidak mau ribet, jadi kaos itu pun masuk ke tas, semuanya dalam
waktu kurang dari lima menit, dan saya menuju gerbang masuk dengan perasaan
campur aduk.
Nyatanya?
Ini pengalaman menonton
konser pertama di luar negeri (Meghan Trainor dan Charli XCX di Singapura tidak
termasuk karena saya ke sana bersama pihak label) sehingga mau tidak mau saya
membandingkan dengan Indonesia. Antrean sudah agak lowong karena sudah hampir
mulai sehingga saya tidak butuh waktu lama.
Petugas pertama nge-scan access card dan begitu berhasil,
saya sudah bisa langsung masuk. Iya, segampang itu. I was like… really? Dengan terbengong-bengong saya menghampiri
petugas di lapis kedua. Dia melihat isi tas saya, melihat tiket konser, dan
saya langsung masuk ke arena konser. Tidak ada grepe-grepe super lebay seperti
yang selalu saya alami di konser di Indonesia.
Begitu memasuki arena
konser, saya langsung berteriak. Lega!!! Meski saya berteriak kencang, teriakan
saya ditenggelamkan oleh suara lain yang lebih heboh.
Saya pun langsung
mencari posisi yang lumayan strategis. Malam itu, saya sengaja memakai sepatu
boots berhak karena saya pendek, sehingga butuh bantuan beberapa senti, he-he.
Sambil menunggu, saya duduk berselonjor, begitu juga dengan penonton lain.
Sebuah pilihan yang tepat karena konser yang tadinya dimulai jam delapan, malah
dimulai hampir jam sembilan.
Lapar dan haus, tidak
perlu khawatir karena ada yang menjual makanan di pinggir arena. Bahkan ada
McDonald. Serius, saya sampai bengong ketika melihat ada McD di sana. Saya
sempat membeli minum (dengan harga yang tidak naik drastis dan lebay) dan
saking hausnya langsung menghabiskan satu botol. Begitu saya transaksi botol
kedua, background music yang tadi
diputar mendadak berhenti. Penonton yang tadi duduk-duduk, serentak berdiri.
Saya langsung membayar minuman dan berlari ke tempat yang sudah saya incar
sejak tadi.
Bersamaan dengan intro Castle on the Hill berkumandang.
And I screamed!!!
Sebagai bukti cinta
saya sama Ed Sheeran, saya akan mereview konser per lagu. So enjoy my rambling.
Castle on the Hill
Sejujurnya, saya tidak
melihat bocoran setlist sehingga saya
cukup kaget ketika Castle on the Hill
menjadi lagu pembuka. Karena biasanya single
terbaru ditaroh belakangan. Saya melompat saking bahagianya ketika tanpa basa
basi, Ed Sheeran langsung menyanyikan salah satu lagu favorit saya.
Permainan gitar Ed
menjadi highlight di lagu ini. Gila,
baru lagu pembuka saja sudah bikin suasana panas. Malam itu, Ed tampil
sederhana dengan jins hitam dan kaos hitam. Terbiasa menonton konser Kpop yang fancy, saya pun sangat menikmati
kesederhanaan yang dihadirkan Ed malam itu.
Tidak perlu gimmick. Hanya suaranya dan petikan
gitarnya, itu sudah membuat saya jatuh hati.
Eraser
Menonton konser ini
sekaligus menguji seberapa kenal saya dengan lagu yang dibawakan. Dan, ada satu
Pinoy di sebelah saya yang setiap intro dimulai, langsung memberitahu kepada
temennya judul lagu ini. Saya pun jadi berpacu dalam diam dengannya.
Eraser. I have no word to describe this song. Lagu ini membuktikan kalau Ed bukan hanya spesialis
lagu galau. Ketika nge-rap (yang tentu saja tidak bisa saya ikuti), suasana
jadi semakin panas. Dari layar yang begitu close
up dan membantu saya untuk melihat ekspresi Ed, saya merinding melihat dia
menyanyikan lagu ini.
Oh ya, hampir di setiap
lagu Ed berganti gitar, dan seru aja melihat dia berganti gitar di waktu
singkat.
The A Team
Begitu Eraser selesai, akhirnya Ed menyapa
Sheerios yang hadir malam itu. Berkali-kali dia bilang kalau dia senang bisa
kembali ke Manila dan Manila adalah salah satu kota yang disukainya. Tentu saja
itu membuat saya iri, he-he.
Tidak banyak basa basi,
Ed memperkenalkan lagu selanjutnya. Dia mengajak semua penonton untuk nyanyi
bareng, atau kalau tidak hafal liriknya, cukup rambling saja. Ed bilang dia ingin menyanyikan lagu lama dan
mungkin tidak banyak yang kenal lagu ini.
Dan begitu petikan
gitarnya berkumandang, saya berteriak ‘GIMANA CARANYA ORANG ENGGAK KENAL INI
LAGU? THIS IS THE FRICKING A FRICKING
TEAM. Terbukti banyak yang nyanyi bareng. Namun di beberapa part, MoA
Concert Ground berubah hening dan hanya ada suara Ed yang terdengar menyayat
hati menyanyikan ‘Angels to fly’.
Sepanjang lagu ini,
saya tidak bisa melakukan apa-apa, selain menyanyi lirih dan menangkupkan
tangan di dada, menatap Ed yang menampilkan ekspresi pedih, tanda dia begitu
menghayati lagu ini.
Don’t/New Man
Rasanya saya menahan napas
cukup lama, karena ketika The A Team
selesai, saya mengembuskan napas panjang. Rasanya ada ganjalan di hati yang
akhirnya terlepas.
Selesai bersyahdu ria,
Ed menghentak dengan lagu up beat
miliknya. Don’t yang digabung dengan New Man. Gosh, I wish there was John Mayer
at that stage and they played guitar together like what I saw at YouTube.
Berhubung ini menempati
the least favorite song from Ed, saya
tidak berekspektasi apa-apa. Namun tanpa bisa dicegah, saya ikut menari.
Terlebih satu geng Pinoy di sebelah saya heboh banget nge-dance and they asked me to dance with them. Kami tidak saling
kenal, hanya dipersatukan oleh musik, dan kami menikmati konser ini
bersama-sama.
Saya pun menari, seolah
tanpa beban. Like there’ll no tomorrow.
We just dance and dance and dance until I realize that I need to drink haha.
Dengan napas
terngah-engah, Ed bercerita kalau dia baru saja pulang dari New Zealand. Yeah right, he was unleashed his inner
hobbit and channeling Frodo. Have I told you that one of reason why I like him
because he looks like Hobbit, my favorite creature in the world and actually
they are my long lost kin? Yeah, forget it.
Selesai bercerita, Ed
pun memainkan gitarnya. Hampir saja saya menyemburkan minuman yang sedang saya
teguk ketika, lagi-lagi tanpa basa basi, intro lagu Dive diputar. THIS IS IT.
DIVE. Ini yang menjadi alasan saya begitu ngotot ingin menonton Ed. Ketika
dengerin versi rekamannya, suara Ed terdengar sangat rough. Jadi saya penasaran bagaimana dia menghayati lagu ini secara
langsung.
Ditambah dengan lagu
ini menjadi my personal anthem karena
saya bisa meneriakkan isi hati yang sesuai dengan lirik lagu ini.
Tidak peduli dengan
suara yang cempreng, saya menyanyi sekuat tenaga, ikut berteriak bersama Ed
yang melarang ‘dia’ untuk memanggil kami dengan sebutan Baby jika dia tidak
benar-benar memaknainya.
Tadinya, saya tidak
ingin merekam apa-apa, tapi begitu konser dimulai, saya berpikir, ‘bodo amat
sama mereka yang mengomentari layar hape di konser. Saya butuh kenang-kenangan.
Terutama di lagu favorit.’ Karena itulah saya mengabadikan Dive.
Highlight
lagu ini berada di bagian ketika Ed menyanyikan ‘what’s your history’ dan penonton kompak menjadi suara dua
menyanyikan ‘what’s your history’ di
detik yang pas dan serentak, sampai-sampai Ed tersenyum kaget mendengarnya.
His smile is so beautiful.
Bloodstream
Saya suka setlist konser ini, tapi di sisi lain,
tidak ada waktu untuk bernapas. Karena setelah Dive, kita langsung dihajar
dengan Bloodstream. Saya sudah sering
mendengar berbagai versi Bloodstream, jadi saya penasaran dengan versi yang
akan dibawakan Ed.
My jaw almost drop when I heard his solo guitar. Lagu ini jadi panjang banget berkat improvisasi Ed. Ketika
suaranya makin lama makin pelan dan menyebutkan Bloodstream dengan suara rendah
berlatar belakang gitar, tanpa disadari saya ikut menahan napas dengan air mata
menggenang di ujung mata.
Happier
I think this is one of the most underrated song from Divide. Enggak banyak yang memfavoritkan lagu ini, padahal
liriknya tuh tulus banget. Mendoakan orang yang pernah menjadi bagian dari
hidup kita.
Lagu ini sederhana, dan
kesederhaan itu sangat cocok dengan konser outdoor
di pinggir pantai seperti ini. Saya bisa sedikit cooling down di lagu ini. Bernyanyi tapi tidak ambisius, dan bisa
berdiri tegak untuk mengistirahatkan tubuh.
I’m a Mess
Disambung dengan I’m a Mess yang lumayan memperpanjang
waktu untuk beristirahat. Saya menikmati lagu ini karena ini salah satu lagu
favorit saya (iya, ngomongin lagu favorit, itu jumlahnya banyak) dan sekali
lagi, saya terpesona dengan permainan gitar Ed.
Setelah berbasa basi
sedikit memberitahu betapa dia menyukai Manila, Ed memperkenalkan lagu
selanjutnya. Dari penjelasan itu, saya langsung menebak. Tenerife Sea. Dan saya langsung berteriak kencang.
Highlight lagu
ini terletak di improvisasi Ed ketika menyanyikan bagian bridge. Mendadak, MoA Concert Ground jadi hening. Hanya ada petikan
gitar dan Ed yang berbisik ‘Lumiere,
darling’. Bayangkan, di lokasi seluas itu, ribuan orang, dan dia dengan
sukses membuat kita semua terdiam, lalu detik berikutnya ikut bernyanyi
bersama.
That was magical moment for me. Satu kata: syahdu.
Galway Girl
Mungkin Ed merasa, ‘udahan
ya galau-galaunya’ karena setelah itu langsung deh dia menghentak dengan Galway Girl. Dengerin intro aja udah
bikin badan lo goyang, kayak lagu dangdut, he-he. Si Pinoy di sebelah lagi-lagi
berkata, ‘hey. Let’s dance’. Dan,
tidak perlu dibayangin yah nge-dance
kayak gimana, yang penting bergerak ngikutin aja itu musik.
Oh, this song makes me fall in love with Irish music. Galway,
wait for me. Someday, I’ll visit you.
Saya tidak menyangka
jika Ed akan membawakan I See Fire.
Saya sempat melihat setlist dulu dan tidak di semua pemberhentian dia
membawakan lagu ini. Mungkin dia masih terbawa euphoria menjadi Hobbit, he-he.
Saya tidak bisa berkata
apa-apa ketika mendengarkan lagu ini. Tanpa disadari, saya terisak sendirian. Terlebih
ketika di bagian bridge dan improvisasinya
Ed yang memukau, saya berkali-kali menggelengkan kepala mengusir emosi yang
tiba-tiba memuncak.
Hobbit merupakan bagian
dari kehidupan saya selama belasan tahun sehingga saya merasa memiliki
keterkaitan emosional dengan apapun yang berhubungan dengan lagu itu. Termasuk I See Fire, yang seketika melemparkan
saya ke masa kecil, ketika saya memimpikan petualangan saat berdiri di depan
pintu menunggu Gandalf, dan berharap ketika saya berumur 33, seperti Frodo dan
Bilbo, saya pun mengalami petualangan besar seperti mereka.
Dan malam ini, menjadi
saksi saya perlahan memulai petualangan itu. Keluar dari Hobbit hole yang nyaman dan bergerak. Entah akan bertemu siapa. The rider, the Orcs, or Sauron itself? I don’t
know. Ketika ketika Ed berkata ‘I
hope that you’ll remember me’, I was like, ‘yeah Shire, remember my promise
today. I’ll come to you. I’ll come home.”
Butuh waktu sekian
menit untuk mengembalikan emosi saya menjadi seperti semula, sehingga saya
kehilangan momen di awal lagu Photograph.
Padahal ini adalah salah satu lagu favorit saya. Cocok sih, karena lagu ini
punya efek yang sama dengan I See Fire,
yaitu calling me to come home.
Setiap kali karaoke
(dan saya suka karaoke meski suara saya sangat teramat ala kadarnya), saya
pasti menyanyikan lagu ini. Malam ini, saya mendengarkan langsung Perfect.
Sekali lagi Ed
menunjukkan kalau sesekali, sederhana itu jauh lebih indah. Perfect dibawakan secara akustik, dan
itu justru membuat lagu ini jadi lebih merasuk ke hati. Semuanya bernyanyi
lirih, sehingga suara Ed sangat terdengar mendominasi.
How magical it is. Ketika satu orang mampu membuat diam ribuan orang.
Nancy Mulligan
Seperti yang
sudah-sudah, begitu selesai menyanyikan lagu slow, Ed langsung meledak dengan
lagu up beat. Another irish-inspired
song, who tell the love story of his grandparents. Nancy Mulligan. Kembali,
saya dan si geng Pinoy menari heboh, seakan-akan kamilah Nancy Mulligan, dan
yang di atas stage itu adalah William
Sheeran, dan malam ini kami berada di desa di Irlandia ketika selesai World War
II.
Ed pernah bilang kalau
dia ingin main film. Hey producer, do you
want to make another tearjerking story after The Notebook? Nancy Mulligan is
for you. And, who is the perfect choice to play William Sheeran? Oh, his
grandson itlesf, Ed Sheeran. Also, Saoirse Ronan will be a perfect choice to
play as Nancy Mulligan. Have you ever see her chemistry with Ed in Galway Girl?
Besides, she’s an Irish. So, I’ll live for the day that my dream will come
true.
Hey, a girl can dream, right?
Nancy Mulligan membuat
saya jatuh cinta.
Oh, mungkin karena ada
Pinoy lain di belakang saya yang di setiap lagu meneriakkan ‘I love you, Ed.’
Atau Pinoy di depan
saya yang secara tidak sengaja saya curi dengar berkata ke temennya, ‘how does it feel to having sex with him and
he’ll serenade you with his guitar and sing for you?’ Gue cuma bisa ngakak
sambil manggut-manggut setuju.
Thinking Out Loud
Ketika intro lagu ini
berkumandang, saya menjerit. Lagu ini pertanda kalau konser akan segera
selesai, dan saya tidak rela.
Di Multiply tour, di
setiap konser pasti ada cowok yang berlutut melamar pacarnya di lagu ini. Entahlah
di malam itu, mungkin ada, tapi saya tidak tahu. Thinking Out Loud memang lagu
nikah sejuta umat, jadi kejadian seperti itu bukan hal yang asing lagi.
I’m never been a fans of TOL, tapi saya selalu menunggu momen mendengarkan lagu
ini langsung. Why? Karena saya ingin
merasakan momen super romantis itu. Sekali lagi, Ed membuat semua orang
terdiam. Bahkan, saking syahdunya, itu suara angin dan ombak kedengeran, lho
(lebay, I know) tapi sumpah. Saya tidak mengerti bagaimana mungkin semua orang
bisa kompak hening, bahkan untuk bernapas aja hati-hati banget. Tidak ada yang
tiba-tiba random berteriak, atau melompat, atau mengangkat hape tinggi-tinggi. Hanya
sinar flashlight dari handphone dan
keheningan sepanjang empat menit lebih. Ini bukan lagu favorit, tapi ini salah
satu live performance terbaik yang
pernah saya ikuti.
Sing
Keheningan langsung
pecah begitu lagu selesai dan semuanya bertepuk tangan. Namun lenguhan kecewa
terdengar ketika Ed berkata dia sudah sampai di lagu terakhir. No way. Saya masih ingin bersama Ed
lebih lama lagi. Saya tidak ingin momen ini segera berakhir.
Sing menjadi
lagu penutup. Ed menyuruh kita semua mengangkat tangan, mengikuti dia menyanyi.
Saya menenggak minum, lalu mengikuti suruhannya. Menjelang tujuh menit, kami
bernyanyi dan menari bersama, hingga akhirnya stage jadi gelap.
Encore
Masih zaman ya gimmick ala-ala encore? Memang masih ada yang ketipu? He-he.
Shape of You
Tentu saja ada encore, karena Shape of You belum terdengar sejak tadi. Setidaksukanya saya sama
lagu ini, tapi tetap saja saya tidak menahan diri untuk tidak ikut bernyanyi
dengan suara cempreng dan menari. Menikmati menit-menit menjelang saya dan Ed
harus berpisah.
Rasanya? Saya masih
sanggup ketika harus mendengarnya menyanyikan seratus lagu lagi.
Ed bilang sudah
seharusnya dia pergi, tapi ada satu lagu bonus. Yeah right, your lip service is so on point yah, he-he.
Highlight lagu
ini? Tentu saja gitarnya Ed. We back to
the time that Ed is not a superstar like tonight. He’s like our little secret
because only few people know him. Lagu ini yang membuat Ed jadi
diperhitungkan karena kejujuran liriknya, dan kejeniusan dia.
You know what? Ed Sheeran and his foot thingy (pedal
loop, I mean) is the sexiest thing in the world.
Ketika bridge dan Ed memamerkan kepiawaiannya
bermain gitar, wajahnya yang super close
up di layar dengan ekspresi yang susah diungkapkan dengan kata-kata dan dia
berteriak tertahan seolah melampiaskan semua isi hati ke dalam permainan
gitarnya, kita semua yang menonton hanya bisa melongo.
Who is he? Is he human?
Dan dia mengakhiri
konser ini dengan nyanyi bareng di lagu ini.
Ketika lampu
benar-benar padam, dan semua orang menghela napas panjang setelah menyaksikan performance yang sangat luar biasa, perlahan
kita mulai beranjak menuju pintu keluar.
Dalam perjalanan
kembali ke SM Mall of Asia, berkali-kali saya menoleh ke belakang, berharap Ed
kembali berada di stage.
Bahkan sampai ketika
saya sudah berada di hotel lima belas menit kemudian (yup, sedekat itu), saya
masih tidak menyangka kalau akhirnya, saya berhasil menuntaskan bucketlist yang
saya tulis empat tahun lalu.
Love reading and writing. Love to talk with everyone so if you want to share something to say, maybe we could grab coffee together.
Catch me here:
Instagram: @ifnurhikmah
Twitter: @iiphche
Email: ifnurhikmah89@gmail.com
My published book:
Mendekap Rasa (Bukune, 2013, with Aditia Yudis)
Do Rio Com Amor (Noura Books, 2015)
Reborn (Grasindo, 2016, with Ninda Syahfi)
Black Leather Jacket (Twigora, 2018, with Aditia Yudis)