“Remember who
you are.” – Mufasa
Do you know
The Lion King? If you’ve growing up at the same era with me, I bet you’re familiar
with this Disney movie.
Or maybe you
should listen to this song, Circle of Life.
Still confuse?
What about Hakuna Matata?
Saya tumbuh
bersama cerita Disney. Ketimbang Disney Princess (kecuali Mulan dan Belle),
saya lebih menyukai cerita Disney yang lain. Selain Winnie the Pooh, favorit
saya adalah The Lion King. Simba yang imut dan Mufasa yang bijaksana merupakan
pasangan ayah-anak favorit saya sepanjang masa (bersama Merlin – Nemo).
Meskipun sering
memutar ulang film ini sampai-sampai saya hafal dialognya, saya tidak pernah
kepikiran untuk menonton musikalnya. Selain jauh dan tentunya lumayan merogoh kocek,
saya bukan fans berat musikal. Namun, ketika teman saya, Ira, meminta buat
ditemenin menonton The Lion King Musical di Singapura, tanpa pikir dua kali,
saya mengangguk.
Semata karena
ini The Lion King. Saya ingin tahu, bagaimana sebuah cerita yang sudah melekat
di benak dan hati, dihadirkan dengan cara yang lain.
Sebuah
Pertunjukan yang Megah
Satu kata
pertama yang terlintas di benak saya ketika selesai menonton adalah: megah. Satu
kata ini bisa menggambarkan semua unsur di dalam pertunjukan ini.
Pertama, kita
bicara tentang desain properti. Ada tiga yang mencolok, Pride Rock, tempat
bermalas-malasannya Scar, dan tempat para Hyena. Ketika tempat ini sebenarnya
sederhana, ditambah dengan permainan cahaya membuatnya terasa luar biasa. Pride
Rock yang berdiri tegak menantang, atau tempat para Hyena yang suram mencekam.
Lighting. Permainan
cahaya memungkinkan cerita jadi lebih hidup. Bukan hanya pergantian siang dan
malam, tapi juga berpengaruh terhadap pergantian mood kita ketika menonton. Efek
yang ditimbulkan di scene tertentu membuat saya menganga. Berikut dua scene
yang benar-benar membuat saya kehabisan kata-kata.
Pertama, di
kematian Mufasa. Saya hanya bisa membelalak saking bagusnya.
Kedua,
kehadiran Mufasa di saat Simba merasa putus asa. Saya hanya bisa mengatupkan
tangan di dada, merasakan Mufasa benar-benar hadir di depan saya dan berteriak
di depan muka saya, ‘remember who you are’. Dulu, belasan tahun lalu, dan
sekarang, kalimat itu selalu sukses membangkitkan bulu kuduk.
Sounds. If I
could give ten thumbs for it, I will give it from the bottom of my heart. Ditambah
dengan vokal para pemain yang membuat saya berkali-kali menyeka air mata.
Ya, begitu
mendengar Circle of Life, tanpa terasa air mata langsung menetes. Padahal,
pertunjukan baru saja dimulai.
Sebuah
Pertunjukan yang Emosional
Mungkin, ini
karena saya tumbuh bersama cerita ini dan begitu menggemarinya. Atau karena di
saat yang bersamaan emosi saya sedang dicampur aduk karena kondisi kesehatan si
Papa yang semakin menurun, dan melihat hubungan Mufasa – Simba membuat saya mau
tidak mau harus teringat beliau.
Ketika pertama
kali menonton cerita ini, saya dibuat terpingkal-pingkal oleh Timon and Pumbaa.
Juga dibuat tersenyum oleh Simba yang menggemaskan. Juga dibuat takjub oleh
Mufasa yang bijaksana dan ganteng (ya, bagi saya singa dan harimau itu ganteng,
dengan sosok mata tajam, tapi ada sisi hangat di wajah mereka).
Namun, ketika
menonton ulang di usia dewasa, ada banyak hal yang saya lewatkan ketika
menontonnya dulu. Pikiran kanak-kanak saya hanya sanggup mengikuti cerita
petualangan Simba, tanpa melihat lebih jauh apa di baliknya. Saya hanya
mengerti, kejahatan, sepintar apa pun disembunyikan, pasti akan kalah oleh
kebaikan. Ketika menonton kembali dengan pikiran dewasa, saya pun melihat lebih
jauh.
Mufasa mengajarkan
agar tidak takut bertualang tapi juga bertanggung jawab. Rules are made not to
be broken. Simba mengajarkan untuk tidak pernah lupa dengan siapa dirimu yang
sebenarnya karena pada akhirnya, hanya diri kitalah yang bisa menyelamatkan
kita. Dan Nala, a brave girl, yang mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki
itu setara.
Di malam ini,
bukan itu yang membuat saya emosional. I cried when Mufasa died and Simba’s
feeling lost. At that time, I remember my dad. I don’t want to lose him. I want
us to take our little adventure again. Entah menonton pertandingan bola antar kampong
sepulang dari TPA, atau jalan-jalan ke depan Tri Arga yang di mata saya kecil
seperti gunung tinggi, atau sekadar berkebun.
I just want to
share our little adventure, just like Mufasa and Simba.
Ketika menonton
musikal ini, di sebelah saya ada anak kecil. Dia tertawa terpingkal-pingkal
ketika menyaksikan pertunjukan ini, sementara mata saya buram akibat air mata
yang menggenang.
Ah, seandainya
saja bisa menyaksikan pertunjukan ini dengan pikiran kanak-kanak.
Sebuah
Pertunjukan yang Memuaskan
Setiap kali
ada yang bertanya, ‘bagus enggak?’ saya cukup menjawab dengan dua kata. “Bagus,
parah!” Bagi saya, ini salah satu pertunjukan yang tidak membuat saya menyesal
sudah pergi ke negara lain dan mengeluarkan uang yang lumayan (sama seperti
ketika menonton konser Ed Sheeran di Manila) dan ini menjadi pengalaman yang
tak terlupakan.
Oh, satu lagi.
Di filmnya, Mufasa dan Simba itu ganteng ya (Simba kecil sih imut banget), dan
dari tempat duduk saya, aura kegantengan pemeran Mufasa dan Simba itu terasa,
lho, he-he.
The Lion King
masih ada sampai September. Even you watch it with your family or your boyfriend
or maybe alone, it’s worth every penny.
XOXO
iif