Catatan Perjalanan Dieng #2: Menantang Diri di Bukit Sikunir dan Batu Ratapan Angin yang Bikin Meratap

1 comment
Bersama teman-teman, termasuk teman baru bertemu di trip ini.

Tubuh lelah dan cuaca super dingin tentunya sebuah perpaduan sempurna untuk bermalas-malasan di atas Kasur. Namun pagi itu, sekitar jam 2 malam, suasana homestay tempat kami menginap sudah heboh sehingga akhirnya ikut terbangun.
Yup, menurut rencana, pagi ini adalah jadwalnya mendaki Bukit Sikunir. Oleh karena itu, kami harus berangkat pagi-pagi sekali. Sebagai anak malam yang sehari-harinya jam dua itu baru mau akan tidur, bangun jam segitu tentunya menjadi tantangan tersendiri. Ditambah dengan cuaca dingin menggigit, butuh usaha keras sampai akhirnya mau menginjakkan kaki keluar rumah.
Lagipula, masa iya jauh-jauh ke Dieng cuma buat tidur?

Bukit Sikunir yang cukup menantang bagi si pemula

Pemandangan dari atas. Cantik!

Bukittinggi, kota tempat saya lahir dan tumbuh dijuluki Tri Arga alias tiga gunung karena kota itu dikelilingi oleh tiga buah gunung. Tidak mengherankan jika banyak akhirnya yang menjadi anak gunung. Menghabiskan malam 17 Agustus di Gunung Marapi atau Gunung Singgalang seakan sudah jadi hal biasa bagi warga sana.
Namun, hal tersebut tidak menjadikan saya sebagai anak gunung. Ketika SMA, salah satu tugas olahraga adalah hiking ke Puncak Lawang. Saya dan teman-teman hanya jalan kaki dari sekolah, Ngarai Sianok, dan sampai di bawah Puncak Lawang. Sisanya? Naik mobil, he-he.
Begitulah kisah saya dan gunung yang nol besar.
Di dalam hati sebenarnya ada keinginan untuk naik gunung. Penasaran aja, seindah apa pemandangan di atas sana? Namun niat itu kian menjauh setelah saya tahu saya tidak tahan dingin.
Pada akhirnya, Bukit Sikunir menjadi pengalaman pertama saya. Orang lain mungkin akan meledek dan berkata cemen, tapi bagi saya ini sebuah pembuktian diri. Sekaligus mengecek satu lagi bucketlist berisi hal yang harus saya lakukan selagi bisa.
“Kenapa enggak ke Prau?”
“Ya, Sikunir aja dulu. Enggak usah ambisius.”

Hal pertama yang saya lakukan begitu sampai di atas adalah patting my own shoulder. You did a great job!

Sejujurnya, saya sangat deg-degan, bisa enggak, ya? Di tengah perjalanan, Angga, guide kami, berkata untuk sampai di pos satu aja. Toh di sana pemandangan sunrise juga sudah bagus, kok. Beberapa anggota rombongan berhenti di pos satu.
“Gue lanjut, mbak.” Ucapan Zolla membuat saya memikirkan ulang keputusan untuk berhenti di pos satu.
Pada akhirnya, saya lanjut ke pos dua.

Sunrise dan mereka yang mengejar sunrise.

Perjalanan menuju pos satu bagus, sih. Bebatuan tangga, tapi justru malah bikin capek. Ditambah udara yang makin dingin, membuat saya semakin ngos-ngosan. Dingin, tapi juga gerah karena mendaki, sehingga jadi serba salah mau buka jaket atau enggak.
Sementara menuju pos dua medannya berubah. Jalanan tanah menanjak dan lebih sempit. Lebih menantang, pastinya. Namun, saya justru lebih enjoy di perjalanan menuju pos dua ini ketimbang sebelumnya.
Menjelang puncak, ada kejadian lucu. Saya tengah berpegangan ke tali yang dibentangkan di jalanan sebagai bantuan. Di ujung tali, saya memegang sesuatu yang saya pikir batu tempat tali itu diikat. Saat itu masih gelap, dan saya hanya melihat sebuah bongkahan. Tapi, bongkahan itu bersuara.
Ternyata, itu bukan batu saudara-saudara, melainkan kepala orang yang sedang duduk beristirahat dan dia menutupi kepalanya dengan sarung.
Ya, maaf. Enggak kelihatan, he-he.
Di puncak, harus menunggu beberapa menit menjelang matahari muncul. Sebagai seseorang yang sehari-harinya hanya bertemu matahari tinggi di tengah hari bolong, saya lupa kapan terakhir kali melihat sunrise. Hmm… sepertinya waktu liburan ke Yogya Agustus tahun lalu, he-he.

Something magical!

Momen matahari terbit itu memang magical. Matahari terbit bukan hanya sekadar dimulainya hari baru, tapi juga saatnya meraih target baru dan ini saat yang tepat untuk berbahagia karena harapan baru sudah muncul.
Saya mungkin sudah menangis terharu di Bukit Sikunir pagi itu, tapi urung karena melihat pasangan dengan gamis dan jas sedang foto prewedding sekitar beberapa puluh meter dari tempat saya menyaksikan sunrise. Are you kidding me? Boleh aja, sih, tapi mbok ya jangan weekend juga gitu. Kan, malah julid jadinya, he-he.



Menghabiskan pagi di Bukit Sikunir sukses menjadi salah satu momen menakjubkan yang saya rasakan.

Batu Ratapan Angin yang bikin meratap


Cantiknya no medicine banget, ya!

Selanjutnya, perjalanan menuju Batu Ratapan Angin. Katanya, sih, enggak seberat Sikunir. Mungkin, akumulasi lelah ke Sikunir dan kurang tidur sehingga menuju Batu Ratapan Angin ini terasa jauh lebih berat. Ditambah tangga semua, jadi rasanya ingin menyerah saja.
Untung kusudah terlatih untuk pantang menyerah bersama D’Masiv sehingga tetap memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan.
Begitu sampai di Batu Ratapan Angin, rasanya ingin meratap. Ada dua alasan, pertama karena perjalanan ke sana bikin lelah, dan kedua karena pemandangan yang sangat cantik. Saking cantiknya kuingin menangis.

Rasanya pengin turun ke bawah euy.

Untung saja di Telaga Warna enggak ada love-lovean atau gorila entah apa nangkring di sana. Masih alami, sangat cantik.
Cuma ada ayunan ini yang masih bisa nyambunglah ya sama keadaan alam. Namun… kenapa di ayunan seperti ini saja kusudah merasa gamang???

Si gampang gamang. Yang lain bisa foto tsantik di sini, kita mah malah ketakutan, he-he.

Menelusuri jejak sejarah Dieng
Sayang sekali saya tidak bertemu anak gimbal saat ke Dieng. Mungkin tahun depan harus kembali lagi.
Perjalanan siang itu ditutup dengan menonton film dokumenter tentang Dieng. Kesan pertama, filmnya jadul banget ya. Serasa nonton Kelompencapir di TVRI dulu, he-he. Namun, berada di dalam teater setelah memforsir tenaga sepanjang pagi membuat mata susah banget untuk dibuka.
Kantuk seketika langsung hilang begitu terdengar bunyi ledakan di film. Yup, itu letusan kawah Sinila tahun 1979, ketika warga berusaha menyelamatkan diri saat gempa tapi malah menyongsong maut akibat racun CO2 dana kibatnya ratusan orang meninggal di jalanan. Dokumentasi itu cukup membuat saya ternganga. Setelahnya, saya bertanya pada guide lokal kami apakah memungkinkan untuk mengunjungi makam warga yang tewas di tragedi tersebut?
Sepertinya saya akan lebih menyukai wisata sejarah ketimbang naik gunung.
Perjalanan ini mengajarkan saya bahwa alam itu cantik dan tugas utama kita adalah untuk menjaganya. Tidak perlu ada love-lovean atau papan selfie bertuliskan nama tempat. Karena apa yang sudah disediakan oleh alam itu enggak ada tandingannya, sih.
Kedua, ternyata saya bukan anak gunung meski tidak bisa memungkiri kalau pemandangan di atas sana memang sangat magical. Untuk mencoba, ini tentu jadi pengalaman yang mengesankan.
Ketiga, begitu sampai di Jakarta, kaki dan otak kembali terasa gatal. Ke mana kita setelah ini?

XOXO,
Iif


NB: Saya ikut open trip yang diadakan oleh @vekesyentours. Sejauh ini, saya suka, mungkin akan repeat order (bahasanya haha) lagi untuk destinasi berikutnya. Go check their Instagram account and book your trip.

SHARE:
1 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig