Bola

Leave a Comment
Bola
Oleh: Ifnur Hikmah

Jadi begini rasanya diabaikan.

Terhitung sudah hampir satu setengah jam aku duduk di sampingnya, terjerembab di dalam lautan cola dan kacang, membolak balik majalah otomotif hingga aku hafal lekuk tubuh cewek seksi yang jadi model iklan mobil, dan sederet kegiatan tidak penting lainnya kulakukan, tapi dia masih membatu. Mematung dengan tangan ditopang di dagu dan mata yang tidak henti-hentinya beralih dari satu titik. Kadang dia berteriak kencang penuh kebahagiaan, tapi kebahagiaan itu bukan untukku. Kadang dia berteriak kesal dan raut wajahnya langsung berubah masam, tapi jelas bukan aku penyebab kekesalan itu. Kadang dia meremas ujung taplak meja saking gemesnya, dan aku langsung disambar setan norak karena menginginkan dia meremas tanganku. Kadang dia mengumpat-umpat penuh emosi dan aku bersyukur bukan kehadirankulah yang membuat dia mengeluarkan kata-kata bak preman terminal itu. Kadang dia juga tersenyum manis, dan sialnya bukan kegantengankulah yang membuatnya tersenyum penuh nafsu seperti itu.

Sial. Aku dikalahkan oleh seorang pria setinggi 45 cm.

Mengenaskan.

Apa sih kurangnya aku? Ganteng? Jika kegantengan berbanding lurus dengan jumlah mantan pacar, maka aku bisa dikategorikan ganteng karena di usia yang menginjak 28 tahun ini, aku sudah berhasil mengencani sepuluh atau mungkin lebih perempuan. Tajir? Hei, I’m an art director at Spore, sebuah perusahaan iklan ternama. Terbayang berapa gajiku sebulan? Yang pasti masih ada sisanya meskipun cewek di sampingku ini merengek minta dibelikan sepatu setinggi menara BTS dengan nama entah siapalah itu setiap bulannya. Baik hati? Selain kegantengan, baik hati adalah faktor kedua yang berhasil membuat cewek klepek-klepek dan mengingat rekor pacaranku, maka bisa dipastikan aku memiliki sifat ini. Pokoknya, jika ada yang iseng menjabarkan kriteria menantu idaman, maka aku telah memiliki 90%nya.

Tapi mengapa aku masih bisa kalah dari cowok sialan setinggi 45 cm itu?

Ya well, memang gantengan cowok itu kemana-mana, tajiran dia kemana-mana juga. Baik hati? Eits, who knows? Toh baik aku maupun cewek cantik di sampingku ini nih, yang dari tadi nggak berkedip ngeliatin cowok itu, masih belum tahu apa itu cowok jauh lebih baik hati ketimbang aku atau tidak.

Mungkin satu-satunya kelebihan cowok itu adalah karena dia berhasil membuat cewek cantik yang aku cintai setengah hidup ini mengabaikanku selama dua kali 45 menit. Sial.

“Yah, selesai. Seri. Kurang seru ah.”

Akhirnya dia bersuara juga, tapi jelas kalimat itu tidak ditujukan untukku.

“Kok minumannya habis?”

Bagus ya, setelah membiarkanku planga plongo nggak jelas, sekarang dia baru mengajakku ngobrol dan itu pun nanyain minuman? Kalau aku tidak cinta mati sama ini cewek, mungkin sudah kujitak juga dia.

“Habisnya kamu dari tadi nyuekin aku, ya aku nggak ada kerjaan lain selain makan dan minum.”

“Dasar gembul.”

“Coba ya kamu ngajak aku ngomong atau apa, pasti cola dan kacangnya masih ada.”

“Kamu kan tahu tadi aku lagi konsentrasi.”

“Konsentrasi melototin tivi,” semburku.

“Laki aku tanding tahu.”

What? Apa dia bilang? Laki. Gila. Aku aja yang udah tiga tahun setia mengekor di belakangnya nggak pernah dipanggil dengan sebutan itu. Nasib… Nasib…

“Kenapa sih kamu suka sama pemain bola itu?” See? Memangnya cuma cewek yang bisa nanya macam-macam kalau lagi cemburu? Cowok juga bisa. Apalagi kalau cemburunya sama cowok lain yang nggak nyata.

“Van Persie.”

“Whatever.” Aku nggak peduli ya namanya siapa. Yang aku peduliin, kenapa dia lebih menyita perhatianmu ketimbang aku?

“Karena dia ganteng…”

“Tipikal,” potongku.

Dia langsung mendelik begitu mendengar aku memotong penjelasannya.

“Kamu dengerin dulu dong, jangan main potong gitu aja.”

Aku mengalah dan memasang wajah antusias meskipun sebenarnya yang ingin kulakukan adalah menyudahi pembicaraan ini. Hei, aku ini pria normal dan pria normal manapun pasti akan sebal kalau harus mendengar cewek yang dicintainya memuji-muji cowok lain meskipun cowok itu adalah pemain bola terkenal yang hanya diketahuinya dari layar televisi.

“Jadi, apa yang membuat kamu jatuh cinta sama dia?”

Skill-nya. Dia jago banget ngoper-ngoper bola dan setiap tembakannya selalu tepat sasaran. Dia juga selalu tenang di lapangan dan bisa mendikte permainan. Dia kapten yang hebat dan bisa membangun kerjasama tim yang baik.”

Ya Tuhan, jadi ini yang namanya cemburu? Melihat matanya berbinar-binar ketika memuja cowok sialan itu, hatiku jadi teriris-iris. Sial. Mengapa aku yang senyata dan sedekat ini dengannya bisa dikalahkan oleh pemain bola yang berada jauh di Inggris sana dan sekalipun tidak pernah bertemu dengannya? Persetan dia memuji si Van Persie itu karena skill, yang jelas aku cemburu.

Shit! I hate this!

“Okelah ya gantengan dia kemana-mana, tajiran dia kemana-mana, tapi reachable-an aku kemana-mana juga kan? Dia memang jago main bola, tapi aku lebih jago mengerti hati kamu.”

Dia terkikik. Di saat aku harus bertingkah dangdut demi terdengar romantis, dia malah terang-terangan menertawakan kenorakanku barusan. Membuatku makin salah tingkah saja.

“Melihat kamu berbinar-binar menyebut nama Van Persie, aku jadi berpikir, apa aku harus jago main bola dulu biar bisa membuatmu jatuh cinta?”

Dia sudah berhenti tertawa tapi masih tersenyum kecil. “Siapa bilang aku jatuh cinta pada pemain bola? Pada Van Persie?”

“Tadi kamu yang bilang sendiri…”

“Hei, dengerin ya.” Giliran dia yang memotong ucapanku. “Kamu benar. Memang gantengan Van Persie kemana-mana, tajiran dia kemana-mana, jagoan dia kemana-mana juga, tapi aku nggak jatuh cinta sama dia. Aku tuh jatuh cintanya sama cowok yang kelewat pede, pelor, malas olahraga, bawel, cerewet, control freak…”

Aku pun refleks membekap mulutnya. “Hina aja terus. Puji aja terus si Van Persie-nya…”

Dia melepaskan tanganku yang membekap mulutnya, lalu menggenggamnya erat. Senyum menggoda masih terukir di bibirnya, membuatku ingin menciumnya saja.

“Terima aja kenyataannya.”

“Thank You very much.” Aku pura-pura ngambek. Sudah dari tadi dicuekin, sekarang dihina dina. Mengenaskan sekali nasibku.

“Tapi justru itu yang membuatku jatuh cinta. Kamu nggak perlu jago main bola di lapangan, cukup jago main bola di…” Dia memutar bola matanya sambil tersenyum tipis.

Kurengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukanku. “I love it when you start a dirty talk.”



PS: Berawal dari blogwalking ke blognya si Rara dan nemu FF dia berlatar belakang bola. Liverpudlian jatuh cinta sama Glory Hunters. Isengnya sih pengen ngerecokin hubungan mereka dengan munculin Gooners di tengah-tengah tapi batal karena lagi pengen bermenye-menye ria. Ya, skalian berharap si oom ngomong kayak cowok (aku) di FF ini kalau gue nggak berkedip melototin Van Persie yang lagi tanding, hihihi.

Jadi, ini dia cowok yang bikin gue klepek-klepek nggak karuan.

Robin Van Persie

PS2: Ini FF sebagai bukti cinta gue sama RVP. Jangan pindah dari Arsenal please... *begging-begging*
SHARE:
0 Comments

Pacar Ajaib

Leave a Comment
Pacar Ajaib

Jalan Kemang Raya, Sabtu, 18 Februari 2011

Jakarta selalu tidak pernah sehati dengan mood yang sedang jelek. Macet dimana-mana, sama sekali tidak pernah memandang sikon.

Dan aku? Ya, aku harus terjebak di tengah macet yang nggak manusiawi ini bersama cowok yang sedari tadi ngedumel di sampingku. Aryo, cowok yang membuatku jatuh cinta setengah mati tapi seringkali juga membuatku jengkel nggak karuan.

"Mau diam sampai kapan?" Suara berat Aryo memecah keheningan yang tercipta sedari tadi.

Aku melengos, sengaja memutar tubuh hingga menghadap keluar jendela. Cowok super peka seperti Aryo pastinya bisa menerka keberatan yang terpancar dari gesturku.

Jujur, untuk malam ini, aku malas melihat mukanya yang menyebalkan itu. Dia menatapku seolah-olah aku baru saja melakukan kesalahan besar. Padahal, aku yang jadi korban di sini.
Dia, seenaknya saja datang ke 365 Eco Bar, tempat aku sedang kumpul-kumpul bersama teman-teman cewekku, dan menarikku pulang begitu saja. Aku sampai tidak tahu harus menaruh muka dimana di depan teman-teman saat mengambil tas dan berpamitan, sementara tangan kananku digenggam Aryo dengan raut muka kerasnya. Aku hanya bisa pasrah saat dia menggiringku ke mobil dan aku tahu, begitu aku menghilang dari pandangan teman-temanku, mereka akan segera membicarakanku. Tahu sendiri kan cewek mulutnya kayak apa kalau lagi ngegosip? Shit! I hate this.

Dan cowok ini, si Aryo ini, malah nggak merasa bersalah sama sekali.

"Look at me, La."

What is he talking about? Menyuruhku melihat mukanya? Jangan salahkan aku jika menonjoknya begitu kami bersitatap. Terlebih saat sebuah ввм masuk ke Blackberry-ku, atas nama Hanum Maharani.

"Gila ya cowok lo, udah kayak sipir penjara aja. Tiba-tiba datang trus maksa lo pulang."

See? Aku malu setengah mati.

"Lala, hei, kamu mau diam sampai kapan?"

"Sampai kamu ngerti kalau aku nggak suka sama sikapmu itu," semburku penuh emosi.

"Sikapku yang mana?"

Kenapa sih, Yo, sikap pekamu itu nggak bisa diterapin ke aku? Ke hubungan kita? Kamu selalu peduli pada klien-klienmu yang butuh perhatianmu, tapi aku? Sedikitpun kamu nggak peduli.

"Kayak tadi. Tiba-tiba dateng dan ngajak aku pulang. Kamu nggak nanya dulu apa aku masih ada urusan di sana atau nggak."

"Tapi ini udah jam 12, La."

"Oh gitu? Lalu selasa kemaren? Kamu biarin aja gitu aku nungguin kamu sampai jam tiga pagi dan kamunya malah dengerin curhat orang, bukan nemenin aku."

"Aku kan kerja, La."

"Sampai sepagi itu?"

"Udah sering ya, La, kita ngebahas ini."

Memang. Udah sering banget malah, tapi kita masih belum bisa mendapat titik tengah. Aku tahu, sebagai seorang psikolog kamu harus selalu sedia untuk klien-klienmu, tapi masa iya sampai pagi?

"See? Kamu selalu seperti itu. Mentingin kepentingan kamu tapi nggak pernah nanya-nanya kepentingan aku."

"Nggak pernah gimana?"

"Kayak tadi. Harusnya kamu nanya dulu apa aku masih ada urusan di sana atau nggak?"

"Kamu nggak punya urusan apa-apa kan selain ngobrol nggak jelas sama temanmu itu?"

Aku mendengus kesal, dan kembali memalingkan wajah keluar jendela. This traffic makes me sick. That guy makes me crazy.

"Dengerin ya, La. Pertama, kamu nggak punya kepentingan apa-apa sama teman-temanmu itu. Toh kamu juga ketemu mereka tiap hari kan? Jadi, kalau alasan kamu kangen sama mereka, it doesn't make sense."

Aku tertunduk. Alasan itu ada benarnya juga. Tapi tetap aja aku masih kesal.

"Kedua, ini udah malam banget ya."

"Tapi Selasa kemaren kamu bahkan biarin aku nunggu sampai jam tiga pagi," bantahku.

"Kan kamu bareng aku. Mau sampai jam berapapun, ada aku. Meskipun aku sibuk dengerin curhatan klienku, mataku tetap ngawasin kamu. Tapi, kalau sama teman-temanmu, siapa yang jagain kamu? Siapa yang ntar nganterin kamu pulang? Mau pulang naik taxi malam-malam begitu? Better you kill me, La."

Aku terperangah. Dua tahun menjalin hubungan dengannya, baru kali ini Aryo blak-blakan dengan perasaannya.

"Aku bukannya nggak suka kamu jalan sama teman-temanmu. Tapi, tolong jaga diri juga."

"Nyuruh jaga diri tapi maksa aku begadang sampai jam tiga pagi."

Kulihat Aryo melampiaskan kekesalannya ke setir mobil. "Kamu yang maksa buat ikut aku ya, La, malam itu."

Lagi-lagi Aryo membuatku terhenyak. Ucapannya benar tetapi aku masih disulut emosi. Dia benar-benar membuatku malu malam ini.

"Terserah kamu deh."

Belum sempat aku mencerna kalimat singkat bernada muak itu, Aryo telah lebih dulu keluar dari mobil. Dia bahkan menghempaskan pintu mobilnya begitu saja, meninggalkanku sendirian dengan tampang melongo.

Apa-apaan ini? Aryo meninggalkanku begitu saja di dalam mobil, terjebak di tengah macet, dan aku sama sekali tidak bisa menyetir. Sialan. Setelah membuatku marah, sekarang dia membuatku panik.

Kubuka seat belt dan segera menyusulnya keluar. Namun aku tidak melihatnya dimana-mana. Gesit juga dia. Belum sampai lima menit sudah menghilang.

Dengan penuh kepanikan aku kembali ke dalam mobil dan mencoba meneleponnya. Tetapi, alunan musik Jazz yang menjadi nada dering Aryo terdengar di dalam mobil. Dia bahkan tidak membawa handphone.
Kepanikan melandaku. B

gaimana ini? Bagaimana jika mobil di depan sudah maju dan aku sama sekali tidak bisa menyetir? Lagipula, sekarang sudah lewat tengah malam, tidak baik bagiku berkendara seorang diri. Mengapa Aryo begitu tega meninggalkanku? Kuakui, aku tadi memang kekanak-kanakan, tapi tindakannya ini jauh lebih kekanak-kanakan.

"Aryo," seruku saat mendengar pintu mobil dibuka.

Raut wajah yang sangat kukenal menyambutku. Terlebih, ada bonus sebaris senyum di sana.
"Maaf ya, La, tadi aku emosi," ujarnya seraya masuk kembali ke dalam mobil.

Aku menarik nafas lega. Meski masih kesal, setidaknya aku tidak panik lagi. Namun, ada yang berbeda dengan Aryo. Seingatku, tadi dia pergi tanpa membawa apa-apa, tetapi sekarang dia kembali dengan sebuket...

"Bunga?"

Aryo tersenyum. Disodorkannya bunga itu kepadaku.

"Aku cheesy banget ya," urainya malu-malu. Dia menyodorkan bunga itu tanpa berani menatapku. Di bawah penerangan yang seadanya, masih bisa kulihat wajahnya yang bersemu merah.
Beginilah Aryo, pria yang jarang mengungkapkan rasa cinta tapi seringkali tindakan impulsifnya membuat hatiku melayang. And I love this guy with his blushy cheek. Menggemaskan.

"Kenapa tiba-tiba ada bunga?"

"Tadi, waktu aku keluar buat nenangin diri, aku lihat bapak-bapak jualan bunga. Aku ingat kamu suka banget sama bunga, tapi pas Valentine kemaren, aku bukannya ngasih bunga tapi malah biarin kamu begadang nungguin aku. Moga-moga aku ngasih bunganya belum telat ya."

Uraian itu kembali membuatku terpaku. Baru beberapa menit yang lalu dia marah-marah dan membuatku kesal, tapi sekarang dia bertingkah sangat manis.

"Aku juga mau minta maaf udah bikin kamu malu di depan teman-temanmu. Kamu benar, aku memang sering kelewatan. Harusnya aku nanya dulu ke kamu, kamu sudah mau pulang apa belum, bukannya main paksa aja. Makanya aku beli bunganya dua, satu untuk nebus dosa nggak ngasih bunga di valentine, satu lagi untuk minta maaf."

Jika sedang malu-malu seperti ini, Aryo terlihat seperti bocah lima tahun. Menggemaskan. Inilah yang membuatku selalu luluh dihadapannya. Seperti malam ini. Tanpa menunggu lama, aku segera menerima bunga itu dan memeluknya.

"Makasih ya, hon. Aku minta maaf juga ya udah marah-marah nggak jelas sama kamu."

Kurasakan Aryo balas memelukku dengan erat. Berada di pelukannya terasa sangat nyaman. Hangat dan menenangkan. Ingin rasanya lama-lama berada di dalam pelukan itu.

"Tinnn tinnn..."

Kami sama-sama terlonjak saat mendengar klakson bertalu-talu di sekitar kami.

"Woy jalan, woy..." Teriak seorang pengendara motor sembari memukul kap mobil.

Aryo tersenyum tipis. "Kita pulang ya sebelum diamuk massa di sini."

Aku mengangguk. Senyum tak henti-hentinya keluar dari bibirku setiap kali teringat kelakuan pacarku yang ajaib ini.


NB: Terinspirasi saat malam Minggu kemaren terjebak macet di Jalan Kemang Raya, dan nggak sengaja lihat bapak-bapak jualan bunga dari mobil ke mobil. Dan masalah nama cowok itu ...... *tiba2 sinyal ilang*

SHARE:
0 Comments

Naik Haji Ke... Emirates

Leave a Comment
Jadi, ceritanya begini. Kemaren itu, Sabtu, 18 Februari 2012, gue dateng ke gathering Indolightwalker. Nggak tahu apa itu indolightwalker? Aduh. #tepokjidat. Jadi, indolightwalker itu tempat di mana lo bisa berbagi dan nyari tahu tentang tarot, aura, soul, palm, dan teman-temannya. Kenapa gue bisa nyemplung kesitu? Ah, nggak usah dijelasin *melipir kece*.

Etapi ini ceritanya bukan tentang indolightwalker ya, tapi tentang apa yang terjadi di situ, tepatnya obrolan absurd gue. Kemaren sih obrolannya absurd semua *gimana nggak absurd, wong ketemu sama banyak makhluk ajaib, hihihi*. Tapi yang paling absurd sekaligus nendang ya obrolan gue ama Caesar (@caesarasoygeboy, penyiar Jak FM) yang kebeneran seorang Liverpudlian. Cerita punya cerita, ini orang saking anaatiknya sama Liverpool sampe bela-belain ke Inggris tiga kali buat nonton Liverpool live.

Gila...

Then, he said: ya iyalah, itu hukumnya wajib. Naik haji ke Anfield.

Degg. Naik haji?

Omongan absurd itu bikin gue berpikir kemudian bertekad. Someday, gue harus naik haji juga, ke...

Emirates Stadium

Gue akan thawaf keliling Emirates, Sa'i antara tribun yang satu ke tribun yang lain, cium jumrah alias cium Van Persie, pakaian ihramnya tentu saja Jersey Arsenal kebanggan gue, lempar jumrah alias lempar ledekan ke tim tamu dan beribadah lengkap di Emirates.

Heaven...

*buat yang mau complain dan ngamuk-ngamuk kenapa gue ngibaratin kayak gini, gue bakal bodo amat ya*.

Seperti kata mas Haris kemaren juga, kita harus fokus akan tujuan, dan itu dimulai dari hal terkecil. Dan mungkin hal terkecil yang gue lakuin pertama-tama adalah nulis di blog ini ;p.

In my whole life, there are three city that i want to visit. There are: London (it's all because of Arsenal), Milan (the fashion city), and New York (dreamland).

So, mari kita bersiap-siap dan berharap untuk bisa naik haji ke.... Emirates ;p

#COYG Come On You Gooners
SHARE:
0 Comments

Pernah (Masih) Mencintaimu

Leave a Comment
Pernah (Masih) Mencintaimu
Oleh: Ifnur Hikmah

“Lo yakin masih suka sama dia?”

Aku mengangguk mantap. Sama sekali tidak ada keraguan yang kurasakan sekarang.

“Meskipun lo udah tahu dia kayak apa?”

“Justru, setelah gue tahu dia seperti apa, gue makin yakin sama perasaan gue.”

“Gila lo, gila.”

Well, bukankah cinta memang sering membuat seseorang menjadi gila?

***

Aku tidak pernah menyangka akan bersinggungan dengan hal yang sama sekali bertolak belakang denganku. Tidak pernah terlintas di benakku untuk sedikitpun keluar dari dunia yang kutinggali sekarang dan mencoba dunia lain yang sama sekali asing bagiku. Namun, saat tanpa sengaja permainan tangan nasib mempertemukanku dengannya, I can’t do anything.

Lalu dimulailah hari-hariku yang sangat berbeda dari biasanya. Mana pernah aku memulai hari dengan The Economist dan membiarkan iPad dengan koleksi majalah fashion ternama beristirahat begitu saja didalam tas? Apa pernah aku pulang kerja mampir ke warung makan pinggir jalan untuk mengganjal perut padahal yang biasanya kulakukan adalah duduk-duduk bego di Canteen atau Social House. Aku pun memilih berdingin-dingin ria di Taman Menteng menunggu dia selesai bermain sepatu roda, instead of pulang ke rumah dan menghangatkan tubuh dengan sebotol wine. Lupakan waktu leyeh-leyeh di Minggu pagi karena dia akan segera dating mengetuk pintu apartemenku dan menarikku ke bawah jembatan, tempat dia mengajar anak-anak jalanan dengan sukarela. Lupakan juga tentang kacamata hitam, polesan makeup, dan pakaian serba stylish karena dia tidak akan pernah menolerir waktu berdandanku. Dan satu lagi, jangan pernah berharap akan bertemu denganku di salah satu mall yang hype di kota ini di akhir pekan karena aku pasti sedang berada di rumahnya, leyeh-leyeh di atas sofa menonton dvd dan sepiring kentang goreng rumahan.

Setelah semua itu, pernahkah aku mengeluh?

Ajaibnya, tidak pernah.

Aku malah menikmatinya. Sangat menikmatinya. Seolah-olah inilah bagian dari hidupku yang telah lama hilang.

***

Aku pernah mencintainya, dulu, di saat aku masih menjunjung tinggi ego yang kumiliki, dan dengan bodohnya mengingkari perasaan itu. Hanya karena sosoknya tidak pantas berada di dunia serba glamour milikku, aku memutuskan untuk mengabaikannya.

Namun, sekali cinta datang, selamanya dia akan bertahan.

Dia datang lagi, sekarang, setelah bertahun berlalu. Dia masih berupa sosok yang sama, sosok yang pernah membuatku jatuh cinta, dulu. Dan aku masih sosok yang sama, sosok yang pernah menorehkan luka di hatinya dan membuatnya menggumam putus asa, “aku nggak mengerti kamu.”

Namun kali ini dia berhasil meruntuhkan egoku.

Ataukah cinta yang tak kusadari terus bersemayam didalam hatiku inilah yang meruntuhkan egoku?

Entahlah.

Satu hal yang kutahu, ketika dia mengulurkan tangan saat aku terjatuh di pinggir jalan, aku sadar akan satu hal.

Aku masih mencintainya.

***

Aku pernah dan masih mencintainya.

Aku mencintainya.

“Kamu yakin mau ke daerah terpencil itu bersamaku? Nggak ada mall, nggak ada club, nggak ada café, bahkan nggak ada sinyal dan lampu. Kamu yakin?”

Aku mengangguk yakin. “Ada kamu.”

Dia tersenyum. “Mandinya di sungai loh.”

“Asalkan kamu nggak iseng bikin drama Jaka Tarub dadakan, kurasa bukan masalah besar.”

“Bos kamu bisa marah karena dia nggak akan bisa bbm kamu.”

“Aku kan ambil cuti.”

“Teman-teman kamu akan ngetawain kamu kalau mereka tahu kamu mau aja kuajak norak-norakan nggak jelas ngeliat bintang malam-malam karea cuma itu satu-satunya hiburan yang ada.”

“Sekali-kali nggak masalah bertingkah ala dangdut gitu.”

“Satu minggu jauh dari peradaban?”

“Satu minggu hanya berdua denganmu.”

“Mengapa kamu mau melakukannya?”

Kulihat dia tengah menatapku tajam. “Because I love you.”

“Berarti dulu kamu tidak mencintaiku?”

“Dulu aku mencintaimu. tapi aku lebih mencintai egoku. Sekarang aku mencoba untuk me-reduce ego itu karena aku tahu, tidak selamanya aku bisa mengandalkan ego itu.”

Dia tersenyum dan memelukku erat.

“Aku pernah mencintaimu, dulu, dan aku masih mencintaimu hingga sekarang.”

Kurasakan sapuan bibirnya yang hangat di puncak kepalaku. “Aku selalu dan akan selalu mencintaimu, selamanya.”


PS: Flash fiction yang benar-benar ekspress. Thanks to someone yang udah ngingetin gue untuk me-reduce ego dan ekspektasi gue yang terlalu tinggi terhadap apapun.

SHARE:
0 Comments

The Show Must Go On

2 comments
The Show Must Go On
Oleh: Ifnur Hikmah
(Kelanjutan dari Drama)

Aku terduduk di taman kecil di bagian barat Ambarukmo Plaza. One hour before my new boutique launching. Di benakku masih terekam sekelebat sosok perempuan sederhana dengan rok kuning yang sangat ketinggalan zaman itu. Kalau aku jadi dia, rok itu sudah kuhibahkan ke si Mbok.

Ah, persetan dengan apa yang dikenakannya. Posisinya jauh lebih membuatku uring-uringan.

How come, cewek seperti dia bisa mendapatkan Narendra?

If you think I still have a feeling for him, you’re wrong. Aku sudah tidak punya rasa kepada narendra. For God sake, it’s been too long. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk membuatku masih memendam cinta kepada Narendra?

Wait a minute, did I said ‘cinta’? Hahaha, aku hanya bisa menertawakan diriku sendiri yang dengan bodohnya menyebutkan kata cinta. Apa yang kamu tahu tentang cinta, Carissa? Nothing, because I never felt it in my whole life.

Begitu juga halnya dengan kebersamaanku dulu dengan Narendra. Tidak ada cinta sama sekali –setidaknya itulah yang kurasakan hingga sekarang. Kebersamaan itu tidak ada ubahnya dengan pelampiasan nafsu masa mudaku saja. Terdampar hidup sendirian di kota besar yang sama sekali asing membuatku gamang. Waktu itu aku baru 19 tahun, belum se-settle sekarang. I need someone and tadaaa… Narendra muncul di hadapanku. Dia yang selalu sibuk dengan kertas gambar, topi bisbol yang tidak pernah lepas dari kepalanya, jambang yang terus menebal karena keasyikan merancang bangunan membuatnya lupa untuk bersih-bersih, kaos gombrong berlabel NYU di dadanya, dan segala kesederhanaan yang telah melekat erat di dirinya.

But I still Carissa, even for now or ten years ago. Aku tetap Carissa si drama queen yang selalu menanti adanya kehebohan didalam hidupku. Aku tetap Carissa yang selalu takjub akan New York dan para New Yorker dengan style mereka yang selalu keren. Aku tetap Carissa yang percaya bahwa New York adalah surga dunia. Aku tetap Carissa dengan segala atribut glamour yang disematkan orang-orang di dadaku dan kuterima dengan senang hati.

Aku masih ingat kejadian pagi itu. Saat itu aku tengah duduk seorang diri di Central Park, berkutat dengan rasa pusing yang mendera kepalaku. Salahku juga berpesta sampai pagi dan sudah tidak terhitung lagi berapa gelas Martini masuk ke tubuhku. Seharusnya aku pulang dan tidur di apartemenku yang nyaman, namun suasana musim gugur di New York sangat sayang untuk dilewatkan. Alih-alih berjalan pulang, aku malah berbelok ke Central Park.

Saat itulah aku bertemu Narendra. Dia duduk disampingku berjam-jam lamanya dan baru menyadari kehadiranku saat aku muntah dengan hebatnya di tong sampah yang ada di hadapannya. Bagiku, dia orang asing yang baik hati, yang rela menolong orang yang tidak dikenalnya sama sekali. Entah bagaimana caranya, aku mengizinkan dia mengantarkanku pulang.

Kebahagiaanku kian berkembang saat tahu dia juga orang Indonesia.

Narendra sangat berbeda dengan teman-temanku yang lain. Tiga bulan bersamanya membuatku absen selama tiga bulan dari kebisingan club-club yang biasa kujelajahi. Menarik Narendra masuk ke club sama susahnya dengan memaksa kambing untuk mandi. Dia lebih memilih duduk diam di apartemen daripada berpesta semalam suntuk.

Dan aku dengan bodohnya mengikuti segala keinginannya. Menarik diri dari semua kegiatan sosialisasi yang selama ini kulakukan asalkan bisa bersama dia.

Namun sampai kapanpun air dan minyak tidak pernah bisa bersatu. Sekuat apapun aku mempertahankannya, akan ada suatu hari di mana kami harus segera mengakhiri ini semua.

Dan hari yang ditunggu-tunggu itu tiba. Saat suatu malam Narendra memergokiku tengah berciuman dengan seorang pria –aku lupa dia siapa, tapi seingatku dia teman sekelasku- di apartemenku. Dia meradang, namun aku bersikap biasa saja.

“You’re just too damn plain. I need more drama,” makiku tanpa perasaan bersalah sama sekali. Hei, dimana letak kesalahanku? Hidupku bergerak terlalu lempeng saat bersama Narendra. Dia dengan segala kealimannya yang bullshit itu. Dia pura-pura menolakku padahal sebenarnya begitu menginginkanku. Toh dia tetap tidak berkutik saat melihatku di balik Agent Provocateur.

“Fine. Go ahead. I don’t need you anymore.” Dia balas memaki. Kilat kemarahan terlihat jelas di matanya. Mungkinkah dia marah karena melihatku bersama pria lain di belakangnya? Entahlah.

“Fine. I don’t need you too. Go away from here.”

Malam itu juga, Narendra mengemasi barang-barangnya dan angkat kaki dari apartemenku. Entah bagaimana kabarnya setelah malam itu, aku tidak tahu. Aku juga tidak peduli. Hei, bagaimana aku bisa peduli jika setiap malam aku selalu sibuk bersama pria lain?

Pria yang tidak polos dan lempeng seperti Narendra. Dia sungguh membosankan.

Namun egoku terusik saat tanpa sengaja tangan nasib mempertemukan kita kembali. Saat bertatap mata tadi, kusadari aku masih mengingatnya. Mungkin masih ada sebagian tentang dia yang tinggal di tubuhku.

Dia pria terbaik yang pernah bersamaku. For God sake, aku harus mengakuinya.

“There is a good man for a good women. There is an asshole for the slut.”

Kalimat yang dilontarkan Jean, asistenku, terngiang di kepalaku. Dia melontarkan kalimat itu tahun lalu, saat aku baru putus dari pacarku, Tommy. Tommy hampir sama dengan Narendra dan bumerang yang mengakhiri hubunganku dengan Narendra juga ambil peran di perpisahanku dengan Tommy, tidak peduli sekuat apapun usaha yang harus kulakukan untuk membuat hubungan ini berhasil selama dua tahun terakhir.

Maybe I am a slut dan pria-pria baik hati seperti Narendra dan Tommy bukan untukku.

“Lo ngapain bengong di sini kayak orang bego?” Panggilan Jean mengagetkanku.

Aku cuma melirik sekilas dan menyesap hot chocolate yang telah dingin. “Gimana persiapan di dalam?”

“Sudah selesai. Makanya gue kesini nyariin lo. Buang aja itu handphone kalau tiap kali ditelepon nggak pernah diangkat.”

Aku tersenyum tipis. Bukannya aku tidak mendengar bunyi telepon masuk, hanya saja aku terlalu malas untuk mengeluarkannya dari Furla-ku.

“Sorry. I need a time.”

Jean duduk di sampingku. “Rok lo kenapa?”

“Kehujanan tadi.”

“Kasihan.” Dia menyentuh rokku. “What this? Tisci? Jacobs? Williamson?”

“Tisci.”

“Poor Tisci. Makanya, lain kali kalau kemana-mana jangan jalan kaki. Itu mobil lo udah gue bawa ke sini.”

“Thanks.”

“Ya udah, yuk masuk. Wartawan sudah banyak yang datang. Tapi, mending lo ke kamar mandi dulu. Apa kata wartawan coba kalau mereka melihat seorang Carissa Purnadiredja yang ternama itu hadir dengan rambut lepek kena hujan dan makeup awut-awutan?”

It’s Jean, asisten bermulut besar yang pernah bekerja denganku, sekaligus asisten paling cakap yang pernah kumiliki.

Dengan berat hati aku bangkit mengikuti Jean. Namun, masih ada yang mengganjal di dadaku.

“Jean,” panggilku.

“Apa?”

“Batalkan tiket ke Singapur besok.”

“What? Nggak bisa. Lo udah janji sama agen lo yang di sana buat pertemuan ini. Ingat Carissa, tiga bulan lagi pembukaan butik pertama lo di sana.”

“Ada urusan lain yang harus gue selesaiin besok.”

Kudengar Jean mendecakkan lidah. “Tunda aja.”

“Nggak bisa Jean.”

Lagi-lagi Jean mendecakkan lidah. Tiga tahun bersamaku membuat dia paham betapa keras kepalanya seorang Carissa Purnadiredja. “Oke. Tapi lusa lo harus sudah di Singapur.”

One day is enough for me.

“Once more.”

“Apa?”

“Pesenin gue tiket ke Solo besok pagi.”

“What?”

Tidak kuhiraukan Jean yang langsung menghentikan langkahnya dan menatapku dengan mulut menganga lebar. You don’t need to know, Jean. But, I have to do this.

Well, mungkin bukan aku yang ingin melakukan ini semua, tapi egoku yang menghendakinya.

Narendra and Nareswari, the show must go on.


PS: Jadi cerita ini awalnya cuma iseng. Tiba-tiba kepikiran saat lagi berbalas-balas #nomention sama si @adit_adit *Nn. Pengarang vs Givenchy Girl*. Eniwei, ternyata enak juga berperan sbg cewek-nakal-high maintenance-slash-sombong-slash-player kayak Carissa, hihihi
SHARE:
2 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig