Dream Job: Seberapa Jauh Kamu Mau Bermimpi?

Leave a Comment
(Foto di Bonifacio Global City, enggak ada hubungannya sama isi cerita, literally)
Karena impian pertama saya, menjadi wartawan perang, harus kandas di tengah jalan, bahkan sebelum memulai.

Apa pekerjaan impianmu?
Sejak kecil, saya selalu amaze dengan orang yang bekerja di gedung tinggi nan bagus, juga bisa jalan-jalan ke luar negeri. Tumbuh besar di kota kecil dengan pilihan pekerjaan terbatas di antara PNS, guru, pedagang, petani, ibu rumah tangga—saya tidak punya gambaran yang banyak soal beragam profesi yang tersedia. Terlebih, karena saya berasal dari keluarga besar yang umumnya adalah guru, menjadi PNS adalah pilihan paling masuk akal yang tersedia.
Adalah berita di televisi yang membuat saya terhenyak. Saat itu, di tahun 90-an, saya sering menonton berita soal Perang Bosnia. Saking seringnya, saya sampai merinding setiap kali mendengar kata Bosnia. Di sanalah pertemuan pertama saya dengan profesi wartawan.
Lebih lanjut lagi, saya sering bersentuhan dengan koran karena ayah saya yang langganan Kompas setiap hari. Saya suka membaca berita internasional dan olahraga, sambil berdecak kagum membaca hasil tulisan para wartawan.
Bertahun kemudian, kakak saya memberitahu kalau sebaiknya saya kuliah di Komunikasi.
Masuk SMA, ketika sebagian besar teman-teman masih bingung ingin memilih jurusan apa, saya sudah punya pilihan mantap. Later that I know, I already set my goals.

Have you ever set your goals?
Ya, saya memang tidak kesampaian menjadi wartawan perang. Namanya pilihan hidup, bukan tidak mungkin kalau rencana kita berubah seiring perjalanan waktu. Terlebih ketika saya kuliah, pikiran saya semakin terbuka dan saya pun memiliki perspektif baru dalam hidup.
Saya kembali bertanya, apa yang membuat saya ingin menjadi wartawan perang? Jawabannya ada dua:
1.              I want to see the world
2.              I want to make a change in the world
Dan saya bertanya, bukankah ada banyak jalan untuk meraihnya?
Informasi yang saya terima bertambah. Dari buku, majalah, internet, semuanya membuat perspektif baru dalam hidup. Namun satu hal yang pasti, I want to see the world.

Tujuan yang tertata
I was an insecure mess. Percaya diri itu sangat jauh dari saya, sehingga ketika menyusun daftar impian, saya terhalang oleh kedua hal ini. Saya tidak berani bermimpi tinggi, karena saat itu saya berpikir tidak akan pernah bisa meraihnya. Yeah I know that I never get to work at Vogue.
Pada akhirnya, saya menyusun daftar impian yang saya rasa tidak terlalu muluk dan masih cukup realistis untuk diraih oleh jiwa insecure saya.
Bekerja di perusahaan kecil, just because I want to have an experience. Dua tahun cukup, karena ingin mengetahui bagaimana rasanya bekerja dan menghidupi diri sendiri.
Bekerja di perusahaan nasional berskala besar, just because it’s time to challenge myself. Dua atau tiga tahun cukup, karena ini saatnya mencari banyak koneksi, memaksimalkan kemampuan, dan menabung bekal untuk maju ke the next step of life. Dan jangan lebih dari lima tahun, karena saya paham, saya orang yang bisa dengan mudah terlena dalam zona nyaman.
Bekerja di global company, just because… yeah just because? He-he.
So here it is, daftar pekerjaan yang kemudian menjadi panduan saya dalam menjalani kehidupan.

As cheesy as it sounds, but it parts of your life
Oke, ini saatnya pengakuan. Saya punya impian retjeh yang mungkin akan bikin orang lain rolling their eyes ketika mendengarnya. Saya suka banget dengan daerah Thamrin. I mean, I love to walk there. Jalan kaki Sudirman-Thamrin itu menyenangkan—dulu, sebelum ada pembangunan MRT yang menghalangi hobi saya ini. Pedestriannya bagus. Di sana kita bisa melihat orang-orang dengan segala ketergesaannya yang kadang membuat saya jadi berdialog dengan diri sendiri: apa saya setergesa itu juga?
Jadi, ketika akhirnya memutuskan untuk bekerja, Thamrin adalah pilihan saya. Faktor lokasi ini juga yang membuat saya mengiyakan pekerjaan pertama. Cheesy, right? Namun itu membuat saya senang. Berhasil mewujudkan impian sederhana, meski terdengar retjeh, itu memberikan sensasi bahagia yang luar biasa.
Di sisi lain, tanpa disangka, saya menikmati semua ketergesaan itu. Melihat orang-orang saling berdesakan, berjalan cepat, sesekali sambil menelepon, entah sendiri atau beramai-ramai. Suara tawa yang terdengar dari sudut coffee shop. Wajah serius di tengah restoran yang ternyata sedang meeting. Bunyi klakson yang meski kadang memekakkan telinga, tapi ada cerita di baliknya.
Selama delapan belas tahun, saya menjalani hidup dengan santai di kota kecil yang tidak ada banyak drama dan seringnya tujuan hidupmu kelak sudah bisa ditebak sejak kamu kecil. I already know what it would be if I stay there. Jadi, ketika akhirnya menginjakkan kaki di kota besar yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan yang saya jalani selama belasan tahun, rasanya mendebarkan.
I was nervous.
But at the same time, I was excited.
Karena itu, saya menyukai semua ketergesaan—meski harus bisa mengimbanginya dengan me time agar tetap waras. Jadi, di pandangan saya, Thamrin—dan Sudirman—cocok untuk menikmati ketergesaan itu. Ketika masih bekerja di Thamrin, saya sering meluangkan waktu lima menit dengan menikmati jalanan di sore hari.
Di balik semua ketergesaan itu, ada tujuan yang ingin mereka capai.
Sampai di satu titik, ketika saya menikmati ketergesaan itu, saya menyadari tidak lagi memiliki tujuan.

Slap me in the face
Bicara soal pekerjaan idaman, I proudly said to myself that I already achieve it.
Bekerja di perusahaan kecil untuk mencari pengalaman? Checked. Bahkan pengalaman paling pahit yang membuat saya akhirnya kehilangan tujuan dan tidak tahu harus melakukan apa, menjalani hidup seperti robot ketika bekerja hanya untuk uang karena sudah tidak ada cinta di sana. Yup, saya sudah menjalaninya.
Poin plus? Lokasinya di Thamrin.
Bekerja di perusahaan besar skala nasional? Checked. Ini pekerjaan kedua saya setelah hampir dua tahun di pekerjaan lama. Ini saatnya untuk mencari pengalaman dan koneksi sebanyak-banyaknya, and I did it.
Poin plus? Awalnya di Thamrin tapi kemudian pindah ke Kebon Jeruk, he-he.
Poin plus plus? I finally found my voice. Boleh dibilang, di sini tempat saya ditempa, dari yang tadinya clueless dan merasa useless, menjadi seseorang yang sedikit demi sedikit mulai mencintai dirinya dan menjadi percaya diri. Saya juga berkesempatan mengunjungi dunia luar sebagai bagian dari pekerjaan. Namun, saking sayangnya, saya malah terjebak di zona nyaman.
And then, I found my old dream. Impian lama yang sudah saya abaikan selama ini. It’s hard to let go someone—in this case, my job—you love so much and love you back. But you have to move on if you want to achieve your ultimate goals; to see the world.
Dan di sinilah saya sekarang, kembali dari awal, mencoba menaklukkan dunia baru dan mewujudkan impian ketiga saya.
Bekerja di global company. Dengan banyak tipe orang dari berbagai jenis dan negara, perlahan saya pasti bisa mewujudkan impian, to see the world.

So, if I could ask you something, how far you let your dream go?
Sebagai penutup, saya akan berbagi lagu favorit yang akhirnya bisa saya nyanyikan dengan lantang. Saya yakin, lagu ini bisa mewakili pengalaman hidup banyak orang.


XOXO

iif
SHARE:
0 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig