“Airport is the least
aimless place in the world. Everything about the airport is destination.”
(Ika
Natassa – Critical Eleven)
One of the happiest
place in the world is airport. At least for me because I always happy everytime
I go to airport. Mungkin karena itu, saya selalu meluangkan waktu
lebih banyak ketika di airport. Datang
berjam-jam lebih awal, dan pulang berjam-jam lebih lama. Karena bagi saya, ada
banyak cerita terjadi di sebuah bandara. Di bandara mana pun itu.
Momen penting dalam hidup saya terjadi di bandara. Sepuluh tahun lalu,
suatu hari di bulan Mei. I felt clueless
and uneasy. About life, about my future. I was wondering what will I be when I step
on to the plane and landed in another place? Saya mencemaskan apa yang akan
terjadi dua jam kemudian, ketika pesawat yang membawa saya mendarat di Jakarta.
Bagi saya, itu sebuah permulaan dari kehidupan panjang yang saya alami. No more Iif yang terjebak di zona
nyamannya di kota kecil bernama Bukittinggi yang selalu bertanya-tanya, apa
yang ada di luar sana? Berganti seseorang yang selalu meyakinkan dirinya
sendiri, are you ready for your new
adventure?
Dan ketika saya berada di Bandara International Minangkabau, Padang,
saat itu, saya sadar akan satu hal. I can’t
turn back time. Di situlah saya sadar bahwa sudah saatnya untuk menetapkan
sebuah tujuan. Di bandara, saya menetapkan apa yang akan menjadi tujuan saya. Bukan,
tujuan itu bukan hanya tiga huruf CGK yang tercetak di boarding pass.
Airport is My Happy
Place
Later that I know,
bandara menjadi salah satu tempat yang membahagiakan. Bandara menjadi tempat
yang paling pas untuk memuaskan hobi observasi saya. As a writer, saya suka membayangkan bagaimana kehidupan orang lain?
Cerita apa yang mereka punya? Dan bandara menjadi tempat paling pas untuk
menuntaskan dahaga tersebut.
Ya, saya termasuk orang yang suka iseng ke bandara, sekadar duduk di
suatu tempat dan memperhatikan sekeliling. Karena rasanya menyenangkan bisa
menerka-nerka apa yang terjadi pada orang lain. Di sini juga kita bisa
mengira-ngira karakteristik seseorang. Traveler
berjiwa bebas yang siap menggotong ransel besar demi petualangan baru, tapi hatinya
merindukan suatu tempat yang membuatnya rela menetap lama. Seseorang yang
terlihat sibuk dengan laptop, mengejar waktu untuk mengirim email terakhir
sebelum boarding biar bos besar
enggak mengamuk, tapi mungkin mengangankan kehidupan lain yang santai dan
enggak dikejar waktu? Seorang ibu yang menatap ponsel, mungkin sambil
membayangkan cerita apa yang menunggunya ketika akhrinya bertemu sang anak di
tempat tujuan. Tentu saja cerita itu tidak benar karena semuanya hanya ada di
kepala saya. Namun, itu sangat menyenangkan.
Hal menyenangkan lainnya, di bandara, kita bisa menjadi somebody sekaligus nobody. Anonimitas yang dirasakan di bandara inilah yang membuat
saya betah berlama-lama di sini. Nobody give
a f about my business. Nobody here who side eyeing me. Nobody care about me. Saya
bebas menjadi diri sendiri karena semua orang yang ada di sini sibuk dengan
urusannya sendiri-sendiri. Semuanya punya tujuan masing-masing, dan tujuan
orang lain sama sekali tidak menjadi urusan mereka.
Airport is a Place Full
of Story
Like I said before,
airport is a place full of story. Ke manapun kita
melihat, kita pasti akan menemukan seseorang dengan ceritanya. I always wondering what’s inside his/her
head? Apa yang mereka rasakan saat itu? Sedih ketika harus meninggalkan
seseorang atau bahagia karena tahu dalam beberapa jam lagi akan bertemu orang
yang mereka cintai?
I read somewhere,
kalau bandara itu sosok paling banyak menyaksikan tawa dan air mata. Kurang
lebih quotesnya begini, “the truth is
that airport have seen more sincere kisses than wedding halls.” Di sinilah
saya menyadari kalau bandara juga menjadi tempat paling kontrakdiktif. Bandara menjadi
tempat kita mengucap selamat tinggal, sekaligus di sini juga kita merasa
bersemangat untuk mengucapkan selamat datang. Bandara menjadi tempat kita
meneteskan air mata sekaligus tersenyum bahagia. Di sini kita belajar untuk
melepaskan, sekaligus deg-degan menerima kehadiran orang baru. Di bandara juga
kita siap meninggalkan cinta lama, dan di sini juga kita siap menyambut cinta
baru. A place between hellos and goodbyes.
Departures and arrivals. A new beginning and long awaited endings. Semuanya
saling berkebalikan, tapi menjadi satu di sini.
“Airport bukan gue itu batas antara kehidupan normal gue sebagai anak manusia dengan hidup gue sebagai manusia dewasa sepenuhnya. Ketika berangkat, I’ll turn into somebody else. Ketika gue pulang, gue berubah kembali menjadi manusia yang kodratnya memang memiliki kehidupan di bumi, bukan di atas sana. Ada dua perasaan kuat ketika berada di bandara. Perasaan melepas rindu dan perasaan ikhlas meninggalkan. Makanya, kadang kalau udah pamitan, gue enggak akan menoleh ke belakang, ke arah orang-orang yang berdiri di belakang sana melepas gue. Kebalikan dengan melepas rindu, karena ketika gue pulang, semua rasa capek itu luntur ketika melihat muka mereka.” (Kenjrot, Pilot)
A Beginning of a
Journey
Like I said before,
salah satu momen penting di hidup saya dimulai di bandara. Bahkan bisa
dibilang, awal kehidupan baru yang saya jalani bermula di bandara. And yeah, it’s a beginning of a journey. Sebuah
awal dari perjalanan panjang. Kita bisa saja melangkah masuk di tempat yang
sangat nyaman untuk kemudian berakhir di tempat lain yang sangat asing dan
bikin gamang. Kita bisa saja memasuki bandara di bawah sinar matahari pagi yang
cerah untuk kemudian mendarat di tempat gelap, dingin, dan mencekam. Apapun itu,
kita akan tiba di suatu tempat yang menjadi tujuan. Misi yang kita bawa dalam
selembar boarding pass akhirnya
selesai dilaksanakan. Because when we
arrive, we’re never the same person as when we left.
“Aku salah satu makhluk yang suka over-romantizing bandara. Bahkan mulai dari perjalanan menuju bandara, di taksi sendirian, di bandara sendirian, killing time. It’s all very romantic for me. It’s a beginning of a journey. Romantic yang sendirian.” (Achil, editor in chief cewekbanget.id)
“The beginning of a journey, either you’re leaving home or going home. Bandara itu kayak simbol kalau lo mau pergi, entah pergi ke tempat baru atau pulang ke rumah. Bandara itu identik dengan perjalanan, dengan kata lain pergi ke suatu tempat selain Semarang, rumah, kantor dan kehdiupan sehari-hari yang dijalani. Selain excited, mungkin juga capek, tapi ketika sampai bandara mendadak senang karena beberapa jam lagi bakalan sampai rumah.” (Nyieth, finance administrator)
Airport, a Brief Moment
Between Hello and Goodbye
Satu hal yang selalu saya lakukan setiap kali berada di bandara adalah
berdiri diam sambil menutup mata. Membiarkan hawa bandara yang sibuk memasuki
pikiran, juga suara-suara yang enggak pernah sunyi. Orang bercakap-cakap, bunyi
troli, pengumuman dari speaker, dan
kesibukan lainnya. Bising memang, tapi suara ribut itu jadi penanda kalau saya
akan segera tiba di rumah, atau bersiap menuju petualangan baru.
“I like to sit at airports. I like to see people reunited. I like to see people run into each other, I like the kissing and the crying. I like the impatience, the stories that the mouth can’t tell fast enough, the ears that aren’t big enough, the eyes that can’t take in all the changes. I like the hugging, the smiling, the bringing together, the end of missing someone.” (found at Pinterest)
So, where is the
happiest place in your life?
XOXO,
iif