Westlife The 20 Tour Jakarta: Impian Masa Kecil dan Penantian Panjang 20 Tahun Demi Idola Tersayang

Leave a Comment
Westlife The Twenty Tour Jakarta




The biggest boyband in the world with hundreds of no. 1 hits single and millions of concert-goers from all over the world.
Rasanya gelar itu tidaklah berlebihan jika disematkan kepada Westlife. Dibentuk tahun 1998 di Sligo, Irlandia dan beranggotakan Shane Filan, Mark Feehily, Nicky Byrne, Kian Egan, dan Brian McFadden. Mereka sempat bubar tahun 2012 dan kembali bereuni di tahun 2018. Meski saat ini hanya tinggal berempat—sans Brian McFadden—kwartet ini kembali melagukan ulang hits lama mereka sekaligus melahirkan karya baru. Salama dua puluh tahun mereka tidak terbendung. Dari Irlandia dan berlabuh di banyak negara, salah satunya Indonesia.
Grup ini tidak hanya mengguncang dunia dengan hits single mereka yang berjibun, tapi kehadiran mereka memiliki arti emosional di kalangan pendengarnya.
Let’s going back to twenty years ago, when I was just a ‘anak kampung’ from small town called Bukittinggi, Sumatra Barat.








I knew Westlife from my sister and cousins. Di usia mereka yang menginjak remaja, mereka mulai terkena wabah fangirling (walau di masa itu istilah ini belum hits) dan salah satunya menyukai Westlife. Jangan harap fangirling saat itu semudah sekarang. Terlebih di kampung nun jauh di sana. Tanpa ada internet dan media yang mengulik habis kisah mereka sebanyak sekarang. Mau nonton video klipnya? Tongkrongin TV. Mau dengerin lagunya? Request ke radio atau beli kasetnya. Mau tahu info terbaru? Beli majalah Aneka YESS atau KaWanku.
Lewat kakak-kakakku itulah saya mengenal Westlife. Little me doesn’t understand what they sing. Bahkan untuk ikut menyanyi pun saya mengucapkan bahasa planet karena lidah saya tidak terbiasa dengan bahasa Inggris.
Most of my friends use Westlife songs to learn English. Me is one of them.


Beranjak dewasa, saya kembali teringat pertanyaan yang sering saya ajukan sewaktu kecil dulu. “Apa aku bisa melihat Westlife (dan musisi internasional idola lainnya) langsung?”
Ketika akhirnya saya berhasil mencoret satu demi satu wishlist masa kecil yang saya bawa hingga dewasa, saya pun yakin, saya pasti bisa melihat dan menonton konser Westlife.

Pardon my happy face!!!

Di tahun 2016, saya berkesempatan mewawancara Shane Filan ketika dia promosi album solo ke Indonesia. Bertempat di kantor Warner Music Indonesia, saya sempat mengabadikan foto berdua dengannya—yang sayangnya ikut hilang seiring ponsel saya yang hilang.

Penantian Selama 20 Tahun


Akhirnya, hari yang dinanti-nanti itu tiba. Tepat di tanggal 7 Agustus 2019, saya pun berhasil mewujudkan impian tersebut.
Sempat terjadi banyak complain bernada negatif dari penonton di hari pertama yang membuat saya deg-degan untuk menonton konser ini. Namun, saya percaya. Di mana ada usaha dan niat, hasil tidak akan pernah mengecewakan.
Bisa dibilang saya orang yang tergolong niat dalam menonton konser (contohnya di konser John Mayer ini). Saya pun menyambut Westlife dengan sifat ambisius yang sama.
Dimulai sejak membeli tiket konser. Teman saya Ayu sangat berjasa dalam hal ini, mengingat saat itu saya ada outing kantor di Banyuwangi. Ayu niat banget untuk cuti kantor demi membeli tiket offline di kantor promotor. Hasilnya? Dia antre tidak terlalu panjang dan sukses mendapatkan tiket.
Pun di hari H. Berbekal banyak drama dan antre panjang yang dikeluhkan penonton sebelumnya, ditambah saya yang memang sudah berniat untuk datang sejak awal, akhirnya sudah nongkrong aja di ICE BSD jam 12.30. Berbekal sebuah novel di ponsel, saya tidak keberatan menghabiskan enam jam lebih di holding room. Toh nyaman juga, ada AC, ada kursi dan meja, lapar tinggal jajan.

Me, Ayu & Bella rela menunggu berjam-jam di holding room demi Westlife

Before further ado, this is from my opinion ya. Jadi, saya tidak ambil pusing dengan keluhan orang lain karena saya tidak merasakan sesuatu yang bisa saya keluhkan. Saya sudah merelakan hari itu dengan off kerja sehingga setengah hari di holding room tidak masalah. Membeli makanan di sana juga tidak masalah, toh harga segitu normal untuk ukuran makan di tempat konser. Antre toilet juga enggak panjang-panjang amat. Antre masuk apalagi. Enggak ada nunggu-nunggu samsek. Lancar jaya bak jalan tol di musim lebaran.
Bagaimana dengan tempat? Datang awal berakibat saya dapat di bagian depan, row B, di sisi kanan. Pinggir, sih, tapi tempat itu memungkinkan saya berdiri sepanjang konser tanpa mengganggu penonton lain. Sebagai orang yang tidak suka nonton konser duduk, tentu saja saya senang dengan posisi itu. Jadi, sekali lagi saya tidak mengeluhkan posisi karena dengan harga yang saya keluhkan, saya mendapatkan tempat yang menurut saya sudah sesuai.

Konser yang Ciamik, Magis, dan Emosional

Tampilan MV jadul di layar memberikan efek nostalgic, sih.

Konser dimulai dengan diputarnya video yang menunjukkan semua pencapaian Westlife di sepanjang perjalanan karier mereka. Baru video itu saja sudah membuat saya emosional dan tanpa disadari mata berkaca-kaca.
Is it real? Because I can’t believe that they’re here, right in front of my eyes. I still can’t believe that someone who I only saw from TV or magazine, now here in front of me, singing their hits who accompany me throughout my childhood. I can imagine the ten year old me, trying to sing their song with broken English.
One thing for sure, their song still have same effect for me, just like when I heard them when I was kid.
Sudah tidak terhitung berapa kali saya menyeka air mata saking emosionalnya. Twenty fucking years!!!

Di konser ini, Westlife masih sama. Hanya gurat usia yang membuat mereka tampak lebih tua dan berisi, selebihnya? Mereka masih idola yang menyanyikan lagu cinta dengan suara yang membuat siapa saja menganga saking bagusnya.
Semua ketidaksempurnaan di penyelenggaraan konser itu pun terhapus berkat aksi mereka yang memukau.
Rasa-rasanya, seisi ICE menunggu dua puluh tahun untuk karaoke bareng dengan Westlife sebagai bintang tamu.


Hello My Love, Flying Without Wings

Hello my love, I've been waiting for you for almost twenty years

Konser dibuka dengan lagu baru mereka, Hello My Love. Bayangkan, setelah menunggu sekian lama lalu mereka muncul di stage dan menyapa “Hello my love, I’ve been waiting for someone like you.” Rasanya seperti disapa langsung dengan panggilan love.
Tentu saja saya ikut menjawab dengan ‘Hello my love, I’ve been waiting for you for twenty years.”
Di konser hari kedua itu, Westlife tampak enjoy dan sangat menikmati konsernya. Mereka juga talkative, terutama Nicky, yang membuat saya teringat Louis Tomlinson. Dari sekuriti yang berdiri di dekat saya, dia memberitahu “hari ini lebih bagus dibanding kemarin mbak.” Enggak sia-sia kan, lagian seharusnya konser ini yang utama karena hari sebelumnya hanya hari tambahan.
Tidak mudah untuk memasukkan semua lagu hits sepanjang dua dekade ke dalam konser yang berlangsung sekitar dua jam. Bahkan, tidak semua lagu hits dinyanyikan karena keterbatasan waktu. Jika ada yang saya sesalkan, itu adalah tidak adanya Season in The Sun, salah satu lagu favorit saya.
Sulit untuk menyebutkan penampilan mana yang paling saya suka, tapi jika harus memilih, Flying Without Wings sebagai penutup adalah akhir yang menggugah.
Lagu ini memang magical, sih. Artinya penuh makna, dan lagu itulah yang membuatku jatuh cinta setengah mati kepada MARKUS MICHAEL PATRICK VERDON FEEHILY (keselnya, masa mas-mas sebelah gue nyeletuk ‘Mark embul sekarang, jadi kayak Nassar KDI yah.’ WTF, kenapa harus Nassar banget?). Dua dekade berlalu, suara Mark malah tambah matang dan puncaknya ya di lagu ini.
Ada cerita lucu juga, sih. Ketika tiba-tiba ada kru yang nyolek Mark dari belakang benerin in-ear-microphone dia dan Mark langsung kaget. Shane yang lihat langsung ketawa, untung refleksnya bagus dan improve dengan bilang ‘I Love Jakarta’.


Urusan vokal, Shane dan Mark memang sudah terbukti. Enggak ada matinyalah. Dulu, ada Brian juga. Sehingga, Nicky dan Kian sering di-side eyeing gitu. Namun, di konser semalam, Nicky dan Kian menunjukkan kalau vokal mereka juga bagus, meski memang enggak se-powerfull Shane. Tapi, kematangan vokal mereka terlihat jelas. Apalagi, di bagian Tribute to Queen, ketika masing-masing personil unjuk gigi di setiap lagu.

Ngomongin soal Tribute to Queen, menurut saya ini adalah salah satu highlight konser. We are talking about Queen, the legend, the hero of music. Sayangnya, penonton kurang appreciate dan kurang heboh padahal I think this is the closer we can get with Queen.


Penantian 20 Tahun, Selesai dalam 2 Jam


Jelas, ini salah satu konser yang tidak akan bisa saya lupakan begitu saja. This is the momen’t I’ve been waiting for all of my life. Namun, penantian panjang itu berakhir dalam dua jam. Puas? Jawabannya tidak. Bahkan, 20 jam nonstop pun saya rasa tidak akan pernah bisa memuaskan semua dahaga yang disimpan selama ini.
It seems like I want to fly to other city to watch them one more time.
Namun, entah mengapa saya yakin saya pasti bisa menonton mereka lagi. Entah kapan dan di mana, saya tidak tahu. I’ve learned to don’t belittle your dream, even it looks so shameless. Jadi, saya keluar dari venue konser di malam itu dengan membuat harapan baru, yaitu bisa bertemu Westlife lagi,
This is not goodbye, this is our way to say see you again.

XOXO,
Iif

SHARE:
0 Comments

Jalanan Instagramable Menuju Ciletuh, Siap Berpanas-panas Ria Demi Konten

Leave a Comment

Penguasa jalanan




Jalanan ke Ciletuh itu kontradiktif. Di satu sisi, mengocok perut berkat konturnya yang berbelok-belok naik turun. Meskipun sudah diaspal dan bagus, tapi belokan-belokan tajamnya butuh kewaspadaan tingkat tinggi. Yah namanya juga membelah bukit.

Sementara, di sisi lain, pemandangannya cantik banget. Di sisi kiri ada pantai yang enggak habis-habis. Di sisi kanan, perbukitan. Terlebih ketika datangnya saat kemarau, ketika dedaunan berwarna cokelat.

Feels like autumn.

Kurang lebih seperti inilah jalanan ke Ciletuh.



Jika ingin ke Ciletuh, disarankan berangkat Jumat malam. Namun, hati-hati aja. Terlebih setelah keluar tol, karena jalanannya gelap dan keluar masuk hutan. Rumah penduduk memiliki jarak yang lumayan jauh. Sesekali ada perkampungan, lalu hutan lagi, dan kemudian perkampungan lagi.

Masalahnya, jalanan di sini minim lampu jalan. Jadi, benar-benar gelap.

Perjalanan pertama, rombongan saya berangkat pukul sepuluh malam dan sampai di Ciletuh jam 2an dini hari. Perjalanan kedua lebih malam lagi, jam 11-an, dan sampai di Ciletuh jam 3an. Hanya punya waktu istirahat sebentar untuk kemudian bersiap-siap menjelajah Ciletuh.

Nah, kebahagiaan sebenarnya terletak di perjalanan pulang. Usahakan berangkat siang, agar sampai Jakarta tidak terlalu malam. Pastinya, spend waktu lebih agar bisa menikmati jalanan di sini.



Berhubung pemandangan pantai dari atas itu bagus banget, ada beberapa spot yang sengaja dirancang sebagai tempat memandang lautan. Sekaligus wisata selfie.

Paling terkenal adalah Puncak Darma. Tapi, kami melewatinya karena sangat ramai. Tidak begitu jauh dari Puncak Darma ada spot lain yang memandang lautan di Teluk Ciletuh.



Di perjalanan kedua, kami berhenti di spot yang lain. Kali ini pemandangannya masih seputar teluk Ciletuh, dan Pelabuhanratu terlihat dari kejauhan. Tepatnya di Puncak Gebang.

Menantang panas di Puncak Gebang


Wisata selfie di Puncak Gebang

Banyak papan berisi kalimat ngayayay kayak gini, termasuk will you marry me di atas pohon. Entahlah apa maksudnya

Ada beberapa highlight di perjalanan pulang ini. Pertama, namanya tanjakan Balewer, diambil dari nama orang Belanda van Balewer. Sempat dinamakan tanjakan Dini, nama seorang korban kecelakaan yang tewas di tanjakan ini. Tanjakannya sih tajam banget, bikin bingung antara menahan napas karena ngeri atau menahan napas karena view yang bagus.

Girang banget
wataview
Demi konten rela panas-panasan pt. 1


Selain itu, ada jalanan lain, yang menurut guide kami, jalanan patah. Posisinya di atas, dan turunan di bawahnya tidak kelihatan, sehingga langsung terlihat lautan. Jadi, seolah-olah jalanan itu berhenti di atas dan langsung nyebur ke lautan. Sayang saya tidak sempat mengabadikannya.

Sejujurnya, jalanan Ciletuh yang sepi dan bagus ini sangat instagramable. Kami pun menemukan sebuah spot yang sangat menarik. Di kedua perjalanan ini, saya berhenti di jalanan itu.

Berlatar pantai Pelabuhanratu di belakang.

Jalanan instagramble


Kapan lagi, kan, bisa mejeng di jalanan seperti ini? Ini dia hasil berpanas-panasan di jalanan yang instagramable demi kepentingan konten, he-he.

This pict sum up our holiday in Ciletuh

Namaste

Preman sini

Fly high
Warna yang kontras bikin foto lebih kece


Namun, siap-siap aja kepanasan. Apalagi kalau nekat duduk di jalan, itu aspal serasa mau ngebakar.

Stay cool padahal panasnya minta ampun


Saking sepinya, suara kendaraan dari kejauhan sudah terdengar. Jadi, lagi  asyik-asyik foto trus mendengar suara kendaraan, jadi langsung lari ke pinggir. Sudah lama ditungguin, kendaraannya enggak nongol-nongol, saking jauhnya.

Itu si Agus lagi ngecekin ada mobil/motor atau nggak


Sebenarnya, ini enggak disarankan karena berbahaya. Tapi, kalau mau mencoba, silakan.




Special addition
Panenjoan


Bisa istirahat sebentar di sini setelah dari Curug Awang


Sebenarnya bingung ingin menyelipkan tempat ini di mana, tapi sepertinya cocok di sini karena Panenjoan ini semacam tempat peristirahatan sementara setelah dari Curug Awang sebelum ke Curug Cikanteh. Plus, ini tempat pandang juga.





Dari ini, terlihat bukit-bukit yang memenuhi Ciletuh. Ada tangga spiral dua biji di sini (di kedatangan kedua sudah dibongkar yang di sisi kanan). Tangga ini lumayan bikin gamang, apalagi di atas dan bawahnya langsung jurang, dengan angin yang dahsyat.


Coba tebak, ini ketawa asli atau palsu?


Selain itu, tidak jauh dari Curug Cimarinjung ada persawahan penduduk. Hanya sawah biasa, tapi sebagai anak kota yang tiap hari lihat gedung, sawah-sawah ini jelas mengundang perhatian. Ditambah pada saat ke sana dalam keadaan masih basah dan habis hujan, sehingga pematang yang licin sukses membuat terpeleset. Hanya Catur yang balik dari sawah ini dalam keadaan bersih. Gue? Jangan ditanya, sempat aja gitu nyuci celana buat ngilangin tanah di selokan di pinggir jalan dekat sawah ini. Agus malah ngejemur celananya di kap mobil.

Semua demi konten, he-he.

Yang tiga di bawah udah kepeleset. Yang di atas masih mikir mau turun apa enggak

Tak perlu ke Abbey Road karena kita punya sawah

Jadi, untuk short weekend getaway, Geopark Ciletuh worth to visit kok.

Cheers,
XOXO
iif

SHARE:
0 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig