Cerpen: Kawah Ijen, 27 April, Pukul Tiga Pagi

Leave a Comment

-->
Ijen. Foto: Dok. LINErs


“Hei, pelan-pelan. Apa yang kamu kejar, sih?”
Sejak setengah jam yang lalu pertanyaan yang sama selalu keluar dari mulut Hadi, tapi tidak pernah kuhiraukan. Alih-alih menanggapi, aku malah mengabaikannya begitu saja. Menganggapnya sebagai angin lalu.
“Sati, tunggu.”
Lagi-lagi ucapan Hadi kuabaikan begitu saja. Saat ini, tidak ada waktu untuk menunggu. Aku tidak bisa jalan kaki santai seperti biasa, seolah-olah saat ini aku hanya memutari kompleks perumahan sore-sore, bukannya mengejar waktu agar sampai di puncak tepat waktu.
“Sati.” Hadi memanggilku tegas, sambil menyentak tanganku. Mau tidak mau aku terpaksa berhenti.
Aku hanya bisa melemparkan tatapan horor kepada Hadi. “Gue enggak punya waktu, Di.”
Bukannya menjawab, Hadi malah menyodorkan botol minum ke arahku. “Minum.”
Aku menggeleng dan melepaskan tanganku, tapi cengkeraman Hadi begitu keras. Dia memaksaku mengambil botol minuman itu.
“Minum, kalau lo mau selamat sampai di atas.”
Aku mengambil botol minum itu. Meski enggan, kuakui kalau sebenarnya aku sangat membutuhkan minuman itu. Aku melirik jalanan menanjak di hadapanku. Senter yang berada di keningku hanya bisa menyinari beberapa langkah di depan, dan aku sama sekali tidak bisa melihat apa yang menungguku di balik tikungan ini.
“Kita bakal sampai di atas tepat waktu, kan?”
Hadi mengambil botol minuman yang kukembalikan kepadanya. “Lo yakin apa yang lo cari ada di atas?”
Ini juga pertanyaan yang sudah ratusan kali ditanyakan Hadi, semenjak aku muncul di rumahnya pagi-pagi buta dengan ide absurd yang membuatnya terbelalak. Mendaki gunung bukanlah bagianku. Aku bahkan ngos-ngosan hanya dengan jogging di minggu pagi, tentu saja ajakan mendaki gunung terdengar sangat tidak masuk akal. Namun, aku bersikeras sehingga Hadi tidak punya pilihan lain selain menemaniku.
Hingga sekarang, saat aku setengah jalan untuk sampai ke puncak, aku belum memberikan jawaban itu.
Karena sejujurnya, aku tidak punya jawaban yang tepat.
Let’s go. Gue enggak mau kehabisan waktu.”
Masih mengabaikan pertanyaan Hadi, aku menyeret langkah, berpacu dengan waktu agar sampai tepat waktu.
**

Foto: dok. LINErs

“Sati, hati-hati.”
Kalau saja Hadi tidak cepat tanggap dan menangkap tanganku, mungkin aku sudah terjerembab ke bawah sana. Aku menahan napas melihat batu-batu berjatuhan akibat kakiku salah memijak sehingga nyaris saja ikut terjatuh bersama batu-batu itu.
Aku melirik jam tangan. Tidak, waktuku tidak banyak. Aku tidak bisa berlama-lama di sini dan membuang detik-detik berharga yang tinggal tidak seberapa. Meski kakiku masih gemetar, aku memaksakan diri menuruni bebatuan ini satu demi satu.
Satu tanganku berada dalam genggaman Hadi.
“Gue pegangin, biar lo enggak jatuh.”
Aku mendongak, menyorot wajahnya dengan senter yang menempel di keningku. Sebaris senyum terukir di wajahku. “Gue gila, iya kan?”
Hadi ikut tersenyum. “Ngelihat lo di tempat kayak gini? Mungkin kita lagi berada di dimensi lain.”
“Kalau di dimensi lain, gue enggak perlu pergi sejauh ini, Hadi.” Aku tergelak. “Karena di dimensi lain dia enggak pernah pergi dari hidup gue.”
Tanpa mendengar jawaban Hadi, aku kembali menuruni batu-batu itu, berpacu dengan waktu.
**

Foto: Dok. LINErs

Semburat cahaya biru terlihat di kejauhan. Hanya sejauh ini yang bisa kutempuh, aku tidak bisa bergerak lebih jauh lagi.
Perlahan aku mengeluarkan selembar foto dari dalam kantong jaket. Foto itu tampak lecek, entah berapa kali aku meremuknya, lalu membenahinya lagi, lagi dan lagi. Aku meratakan foto itu, sebisa mungkin membuatnya tampak utuh.
Aku mengangkat foto itu tinggi-tinggi, berlatar belakang semburat biru—semburat yang sama dengan yang terlihat di foto. Perlahan, aku membalik foto tersebut dan membaca goresan singkat di sana.
Sati, aku di sini.
“Dia pernah ada di sini, Hadi.”
DI sebelahku, Hadi hanya menghela napas panjang. “Tapi bukan hari ini.”
Aku mengangguk. “Dia pernah ada di sini. Dia masih ingat gue ketika berada di sini, sama kayak gue yang masih ingat dia. Sepenuhnya.”
Hadi tidak lagi bicara. Dia membiarkanku menikmati momen itu sendiri, sementara aku membiarkan ingatanku melayang ke masa lalu yang ingin kulupakan.
**

Foto: Dok. LINErs

“Sati.”
“Shiva.”
Aku memutar bola mata. “Kamu bukan orang pertama yang pura-pura bernama Shiva setelah mendengar namaku. Padahal sebenarnya mereka tidak tahu siapa itu Shiva.”
“Aku tahu siapa Shiva. Dan aku juga tahu siapa Sati. Yang paling penting, namaku beneran Shiva.”
Aku menatapnya dengan mata memicing penuh kecurigaan. Ada berapa banyak kemungkinan seorang Sati bertemu dengan Shiva di dunia ini? Nihil.
Kecuali yang berpura-pura menjadi Shiva.
Menyadari kecurigaanku, dia mengeluarkan KTP dari dalam dompet dan menyodorkannya ke depan mataku. “See? Namaku Shiva.”
Mataku membelalak ketika melihat namanya, lalu detik kemudian tertawa terbahak-bahak menyadari kebetulan yang sangat tidak terduga ini.
“Dewi Shakti, dipisahkan dari Shiwa atas permintaan para dewa, hingga akhirnya dia bereinkarnasi menjadi Sati, dan kembali jatuh cinta pada Shiwa.”
“Kamu membaca Purana?”
Dia menunjuk keningnya. “Sebagai pemilik nama Shiva, aku merasa itu sebuah kewajiban .”
“Kenapa Purana?”
“Kenapa tidak?”
“Karena Mahabharata terlalu mainstream?”
“Siapa bilang? Itu kewajiban ketiga untukku.”
“Ketiga? Lalu, apa kewajiban kedua?”
Dia tersenyum lebar, menampakkan guratan halus di kedua ujung matanya. “Membaca Purana.”
Aku mendengus. “Kewajiban pertama?”
Senyumnya semakin lebar. “Mencari Sati.”
**

Foto: Dok. LINErs

“Kalau nanti aku meninggal, aku tidak ingin bereinkarnasi menjadi Parvati.”
“Kenapa tidak?”
“Aku ingin kembali menjadi Sati.”
“Kalau begitu, aku juga ingin bereinkarnasi menjadi Shiva.”
“Shiva itu abadi.”
“Tidak. Jika tidak ada Parvati di kehidupan selanjutnya, maka tidak akan ada Shiva dan Parvati. Hanya akan ada Shiva dan Sati.”
**

Foto: Dok. LINErs

Aku merebahkan tubuh di atas tanah dan memandangi bintang yang memenuhi langit di atas sana.
Shiva, kamu di sana?
Tidak seperti yang dikisahkan di Purana, atau kitab manapun, Shiva yang kukenal tidak hidup abadi. Shiva pergi meninggalkan Sati, begitu saja.
Aku masih ingat ucapan yang selalu diucapkannya. “Kewajibanku sudah terpenuhi. Aku sudah menemukan Sati. Selanjutnya, aku akan menjaga Sati. Shiva tidak akan pernah terpisah dari Sati.”
Namun dia hanya manusia biasa. Shiva Si Manusia Biasa tidak bisa sepenuhnya memegang janji. Dia pergi, dan aku seperti orang linglung yang kehilangan pegangan hidup.
Hingga setahun kemudian, aku menemukan foto-foto yang dikirimkannya kepadaku. Di setiap foto, ada goresan namaku, tanggal, dan jam yang menunjukkan kapan foto itu diambil. Aku seperti orang gila, menangisi foto demi foto, hingga tiba di foto terakhir, aku menemukan ucapan perpisahan dari Shiva.
Dia sudah pergi.
Mungkin dia baru akan kembali ribuan tahun lagi, jika reinkarnasi itu benar-benar ada.
Di tengah rasa kalut itulah aku memutuskan untuk menelusuri jejak terakhirnya, sekadar mencari jawaban akan keberadaannya.
“Setelah ini kita ke mana?”
Aku membuka mata saat mendengar pertanyaan Hadi. Perlahan aku mengeluarkan foto berikutnya dari dalam kantong jaket.
“Ke sini,” jawabku, sambil menatap foto matahari terbenam di pantai barat Bali.



PS: Seharusnya sih ngeblog soal pengalaman trekking ke Ijen bulan lalu, tapi ketika ngelihat foto-foto di sana, malah kepikiran buat bikin cerpen. Setelah absen bertahun-tahun nulis cerpen, rasanya agak awkward ketika harus memulai. Apalagi enggak ada tema khusus yang ingin diangkat, jadilah menulis cerpen ini mengalir begitu saja. Apa yang kepikiran, ya itu yang ditulis, jadi harap maklum jika ada kejanggalan di dalamnya, he-he. Enjoy, dan ditunggu komentarnya.
SHARE:
0 Comments

Di Balik Kesederhanaan (Konser) John Mayer Jakarta, Ada Sejuta Kata (dan Air Mata) yang Tidak Bisa Diucapkan

1 comment

John Mayer Jakarta Tour 2019

“This is the best concert ever.”

Tahun 2019 baru memasuki bulan keempat, dan akan banyak konser lainnya yang saya datangi menjelang penghujung tahun, tapi saya berani menyebut bahwa ini konser terbaik yang saya saksikan di tahun ini.

Bukan, ini salah satu konser terbaik yang pernah saya datangi di seumur hidup. I’m pretty sure of that.

Semenjak Jakarta diumumkan jadi salah satu kota pemberhentian di Australia & Asia Tour 2019, konser ini jadi salah satu yang ditunggu-tunggu. Sesuai dugaan, tentu saja ada drama pembelian tiket. Saya termasuk salah satu orang yang beruntung bisa mendapatkan tiket di hari pertama penjualan, kelas Premium Festival—kelas yang paling saya incar and later that I know this is the perfect place to enjoy the show. Thanks to Manda yang mau direpotkan demi sebuah tiket konser dalam genggaman.

Mungkin sudah jalannya karena untuk konser ini, SAMA SEKALI ENGGAK ADA DRAMA. Lancar jaya bak jalan tol pas lagi lebaran. Termasuk saat penukaran tiket. Bersama Dinda—teman menonton yang dengan semangat jiwa muda 20-annya yang tak terbendung demi bertemu JM dan akhirnya ikut menular ke saya—kami menukarkan tiket di hari pertama. AGAIN, WITHOUT DRAMA. Antre lima menit, cek semua berkas, dan selesai.

I finally have this card in my hand.

RFID Card yang sekaligus bisa menjadi kenang-kenangan


I was shaking. Seriously.

After a decade (and more) of waiting, I finally had chance to met him.

Lagi, jiwa muda Dinda membuat saya sudah nongkrong di ICE sejak jam setengah satu, sementara open gate baru jam empat. Memang, hasil tidak pernah mengkhianati proses. Bayaran atas antre sejak siang, kena hujan (rintik) dan panas (yang enggak terik-terik banget), saya bisa berdiri sedekat ini dengan John Mayer.

He's gonna live forever in me


Look at him. Saya bisa melihat langsung dengan mata kepala ekspresi dia merem-merem dan otot-ototnya yang bertonjolan saat memetik gitar. WHAT A MAGICAL MOMENT.

Sebelum melangkah lebih jauh, saya mau memberi kritik terhadap seat plan. Sebagai pemegang tiket Premium Festival, tentu saja saya sangat senang dengan posisi ini. Namun, kalau saya membeli kelas VIP yang mahalnya ampun-ampunan, dan nonton dari pinggir nun jauh di sana, well, gue kesel sih. Saya tidak tahu fasilitas apa saja yang didapat oleh VIP, tapi tentu saja, tempat menonton kurang nyaman karena harus duduk miring. Pegel euy!

Back to John Mayer!!!

Terbiasa dengan konser fancy, dengan bumbu pemanis yang membuat konser terkesan meriah, untuk kali ini saya takjub dengan kesederhanaan John Mayer. Malah, menurut saya pribadi, stage sangat standar, lighting yang B aja alias nothing special, dan backdrop yang jelek. Penampilan John malam itu juga sangat simpel: kaos polos, jins belel, dan sneakers (plus bandana). Sama sekali bukan penampilan yang menunjukkan seorang musisi besar peraih Grammy.





Satu hal yang kusuka dari John Mayer itu jujur. Itu terlihat sih di musik-musiknya. Ketika dia tiba-tiba berubah ke country karena lelah dengan tudingan media dan berkelana ala cowboy ke Amerika tengah hingga akhirnya pindah for good, kejujuran soal betapa insecure-nya dia (hei, dagu belahan pantat itu bikin dia keliatan cute sik) dan perjalanan mencari arti hidup lain. Dan juga pembuktian. Sebelum konser, aku sempat baca artikel di @tirtoid soal "Selalu ada John Mayer di setiap perjalanan hidup manusia." Yup, perjalanan hidup dia dari album ke album, menunjukkan musikalitas dia yang makin dewasa, bukan sekadar bubblegum pop dengan liril cowok remaja horny di Your Body is Wonderland, kita pun turut tumbuh bersama. Merasakan kepahitan dalam skala masing-masing. Melakukan perjalanan masing-masing. Dan akhirnya dewasa bersama. . . . . . . . #johnmayer #johnmayerjakarta #queenofcalifornia #concert #livemusic #johnmayertour2019
A post shared by ifnur hiKmah (@ifnurhikmah) on



NAMUN KONSERNYA BAGUS PARAH.

I LOST FOR WORDS SAKING BAGUSNYA.

Semua faktor eksternal itu jadi enggak ada gunanya. Just him and his guitar are enough. His music is enough to make you feel how genius he is.


Enggak perlu bumbu fancy buat bikin konser sepecah ini


Yes, he’s such a genius musician. Saya sudah menyadari sejak dia menelurkan masterpiece bernama Continuum, tapi malam ini, saya bisa menyaksikan langsung dengan mata kepala sendiri kejeniusan seseorang bernama John Clayton Mayer.

Setlist yang Sempurna. No, Let Me Repeat It: THAT WAS PERFECT



Menjelang konser, saya selalu mendengarkan lagu sesuai setlist. Biasanya, setlist setiap kota tidak jauh berbeda, dan paling banter urutannya yang dibedain. Namun untuk konser kali ini saya tidak bisa berbuat apa-apa karena setlist di setiap kota berbeda-beda.

Memilih lagu hits (dan non-hits) dari John Mayer itu susah, tapi saya punya beberapa lagu yang sangat ingin saya dengarkan. Edge of Desire (who doesn’t like this song? I bet every people in the world have their edge-of-desire moment in their life), Daughter (that song reminds me of my father anyway), Gravity (again, who doesn’t like this song?), Dreaming with a Broken Heart, Heartbreak Warfare, dan Comfortable (my first song).

Tentunya, tidak semua harapan bisa menjadi kenyataan. Namun, setlist yang ada sangatlah luar biasa. John Mayer and team berhasil memadatkan semua lagu dari awal karier dia hingga sekarang ke dalam waktu tiga jam (dengan break setengah jam) sehingga selama konser kita bisa mengikuti perjalanannya John Mayer dan diajak merasakan perubahan-perubahan yang dialaminya dalam bermusik.

Malam itu, John menjadi seorang story teller yang hebat.

Look at this setlist. How perfect is it, right?


Setlist yang sempurna, isn't it?

Ada satu kejadian yang membuktikan John itu musisi sejati. Saya tidak bisa mendengar dengan jelas dia ngomong apa karena di sekitar saya sangat bising. Namun, (hampir) semua orang, terutama yang di depan stage, meneriakkan NEON. Berkali-kali. John sudah mulai akan menyanyikan lagu ketika dia tiba-tiba melepaskan gitar, mengganti dengan gitar lain, lalu terdengarlah Neon.

Dan, penonton di belakang saya berseloroh: “Ini konser apa di café sih bisa request lagu?”

Namun, sampai suara habis berteriak Daughter tetap lagunya enggak dimainin, he-he.

Sesi Satu yang Enerjik, Sesi Akustik yang Menggelitik
Konser ini terbagi ke dalam dua sesi, dengan jeda selama setengah jam. Saya bela-belain bertahan di tempat selama jeda karena sayang melepas tempat sebagus itu kalau ke toilet, he-he #ogahrugi.

Di sesi pertama, enggak ada satu menit yang terlewat tanpa goyangin badan sambil nyanyi bareng. Namun, di set satu ini saya juga dibikin menangis dengan Edge of Desire. Dilupakan itu memang jadi ketakutan paling besar dalam hidup, terutama oleh orang yang kita pedulikan. Dan saya hanya bisa menyanyikan ‘I have to have you now’ dengan suara bergetar.


Memasuki set kedua yang merupakan sesi akustik, John sukses menghipnotis selama hampir satu jam. Berkali-kali bulu kuduk saya bergeming mendengarkan permainan gitarnya yang sangat luar biasa.

Menurut saya, inilah yang tidak bisa didapatkan dengan membeli CD atau mendengarkan lagunya di Spotify atau iTunes. Ketika John jamming dan sengaja memanjang-manjangkan melody lewat permainan gitarnya yang naudzubillah bagusnya, dan menghipnotis semua orang untuk tidak melakukan apa-apa selain bengong dan tanpa sadar menahan napas. Ini kemewahan yang kita cari ketika memutuskan untuk membeli tiket konser ini. Ini keistimewaan yang didapat ketika menyaksikan penampilannya langsung. Dan jika bisa, saya ingin mengurung momen ini dalam sebuah bubble yang bisa saya bawa seumur hidup, karena momen ini sangat luar biasa.

Ketika John memetik nada terakhir, semua penonton serentak mengembuskan napas dan bertepuk tangan sambil berdecak kagum. Tentu, sepatah dua patah kata bernada lucu dari penonton di sekitar saya.





A post shared by ifnur hiKmah (@ifnurhikmah) on


“Bang, udah Bang. Enggak kuat, Bang.” ß that girl with white t-shirt who said that out loud is my spirit animal.

“Gue malu main gitar. Gue udahan aja main gitar.” ß a college boy who I assume as John Mayer walking encyclopedia.

They’re right. John mayer’s guitar is the real definition of eargasm (and another gasm, ifywim)

Penampilan Spesial yang Mengejutkan



Sebelum konser, saya menerima pesan ini dari teman saya yang bernama Martha. “Nanti videoin XO trus tag aku ya. Eh tapi kayaknya enggak bakal dinyanyiin, deh. You’re Gonna Live Forever in Me aja deh, eh kalau dinyanyiin ya.”

Bukan hanya Martha atau saya saja yang pesimis akan kehadiran dua lagu itu, karena di negara sebelumnya lagu itu jarang. Bahkan tidak ada XO di negara lain. Alangkah kagetnya saya ketika melodi XO melantun di set 2.

What a pleasant surprise.

Wanna know another surprise? Meski aksi-sok-ngilang-demi-encore itu sudah basi tapi tetap seru untuk dilakuin, saya menebak hanya ada dua lagu di encore: Gravity dan New Light.

(More video from @eganandita Instagram)



Siapa sangka kalau John kembali, tanpa gitar, melainkan bersama keyboard, dan mengalunlah You’re Gonna Live Forever in Me? Saat itu, saya merinding semerinding-merindingnya dan untuk ke sekian kalinya bernyanyi dengan bibir gemetar menahan tangis. This moment will gonna live forever in me.

Di saat negara lain hanya ada dua lagu di encore, wajar dong kalau penonton Jakarta jadi jumawa karena dikasih tiga lagu? He-he.

Selain kejutan spesial ini, seperti yang saya singgung di paragraf sebelumnya, pilihan lagu malam ini sangat istimewa. Never in million years saya bermimpi akan mendengarkan In Your Atmosphere dan In The Blood. Live. Right in front of me.

Jika bisa memilih, lima penampilan yang sangat saya sukai malam itu adalah: Edge of Desire (tentu saja), Queen of California (karena abis itu langsung disambung oleh Guess I Just Feel Like yang lembut), In Your Atmosphere (Thank God), Stop This Train (song with thousands feeling), Helpless (I want to dance my ass off with this song), plus special mention to You’re Gonna Live Forever in Me (saya rela bayar mahal cuma buat dengerin dia bersiul. Ada orang yang begitu diberkati bisa bersiul dengan sangat merdu sementara saya bersin aja fals). Namun, bukan berarti penampilan lain boleh dilupakan begitu saja karena semuanya spesial.

Dan Dear Mary sebagai penutup (sebelum encore) ketika semua penonton menyanyi bersama sampai selesai, itu sempurna.

Dan, ketika semuanya menyalakan flashlight di Gravity, suasana begitu syahdu.

Terima Kasih, John!
Selama tiga jam konser, baru setelah selesai saya merasakan kaki berdenyut pegal. Namun, rasa puas yang saya rasakan membuat saya berdiri diam di tempat, menatap ke satu titik di tengah panggung, meski panggung itu sudah kosong dan lampu mulai dinyalakan.

Akhirnya, dengan satu tarikan napas panjang, saya memasukkan memory malam itu ke dalam kotak penyimpanan abadi di otak saya.

This is, without a doubt, one of the gratest concert I’ve ever had.

Me with my happy smile

So…
Thank you DME Asia and Third Eye Management for bringing John Mayer to Indonesia. You never know how much I want this concert and waiting for it for a decade (and more).
Thank you Manda, for helping me to get this ticket.
Thank you Dinda, for your enthusiasm and your spirit so I can feel like I’m 20 again.
Thang you for billionth time, to the one and only, John Clayton Mayer, for your music through the years, for your honest thought on your songs, and for coming to Jakarta so I can met you in person. You may not know how much you inspiring me, but let me tell you this, there was a girl from small town with big plan in her head and you help her to take every step in her life.
Thank you for your special performance.

XOXO
iif
9 Maret 2019
SHARE:
1 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig