(Review Konser) Backstreet Boys DNA World Tour Jakarta: Lempar Kolor Biru dan Nostalgia Dua Puluh Tahun

1 comment
Backstreet Boys DNA World Tour Jakarta

-->

Bisa dibilang 2019 menjadi tahun paling menyenangkan bagi penggemar boyband 90-an. Setelah Boyzone dan Westlife, sekarang gilirannya Backstreet Boys. Ini bukan pertama kalinya BSB ke Jakarta. Aku pernah menonton mereka sewaktu tur bareng NKOTB (NKOTBSB) tahun 2012. Namun, ini baru kali pertama mereka datang ke Jakarta dalam formasi lengkap.

Di konser ini, Kevin pun sempat mengungkapkan rasa senangnya ketika akhirnya bisa menginjakkan kaki di Jakarta, secara teman-temannya pernah lebih dulu ke sini.

I don’t know if I can call myself a fan of BSB. I knew them and I like their song, but I like other boyband too. I’ve grown up with their song—just like what Kevin said, ‘you’re all grown up with our songs, right?', but to define myself as BSB fan is a lil bit too much. I can say I'm just a casual fan, for short.



For 90’s baby, BSB is one of must have watch concert. Looking back at my childhood, I knew about them from my cousins. Bagi seorang anak kecil dari kampung, salah satu cara mengenal dan tahu soal dunia luar adalah lewat lagu-lagu mereka-mereka ini. Lagu yang menyadarkanku kalau dunia ini luas dan di luar sana, ada banyak orang dengan budaya dan nilai berbeda, bukan hanya sekadar kampung dan semua kenyamanan yang ditawarkannya.

Seringkali, ketika akhirnya bisa menonton konser musisi yang diidolakan semenjak kecil, dengan usaha dan keringat sendiri, mau enggak mau me-recall ulang ingatan lama. Juga, melihat kalau ternyata ‘aku sudah berjalan sejauh ini’.

Enough about that. Lalu, bagaimana dengan konser semalam?

Hikmah Perjuangan Para Pejuang Pagi



Bisa dibilang, ini konser paling lancar yang pernah aku datangi. Sejak awal tidak ada kendala berarti. Beli tiket langsung dapat di kelas yang diincar. Beberapa hari sebelum konser, mendapat email pemberitahuan untuk penukaran tiket di FX Sudirman—tempat yang dekat dari kantor sehingga bisa menukarkan tiket kapan saja.

Two thumbs up untuk promotor yang berhasil menghadirkan konser spektakuler tanpa hambatan berarti. Alur yang rapi, jelas, dan teratur. Enggak desak-desakan. Siapa datang duluan, dia bisa mengantre di depan dan berkesempatan lebih besar untuk mendapatkan posisi terbaik.

Bukannya mau sombong, tapi dengan harga kelas dua termurah, dan dapat spot terbaik di depan, tentu saja aku jumawa.

Plus, desain stage ciamik yang memungkinkan penonton kelas festival bisa melihat idola mereka dengan jelas. Stage berbentuk kotak sehingga ketika BSB maju ke depan, terberkatilah penonton di barisan festival depan.



Namun, yang paling patut diacungi jempol malam ini adalah penampilan Backstreet Boys itu sendiri. Umur boleh sudah tua, tapi tenaga enggak kalah sama anak muda. Nyanyi stabil sambil nge-dance? Perjalanan panjang 20++ tahun lebih memang enggak bisa bohong.

Memadatkan Lagu Hits dalam 20++ Karier dalam 2 Jam Saja



Selama dua jam, kita diajak bernostalgia oleh Kevin dkk. Sama kasusnya seperti Westlife, sangat sulit untuk memadatkan lagu hits sepanjang 20++ tahun ke dalam konser berdurasi dua jam saja. Apalagi untuk musisi dulu, tahu sendiri kan kalau dulu, dalam satu album bisa ada 4-5 lagu hits. Bahkan, bukan lagu hits aja juga terkenal. Alhasil, ada beberapa lagu di-medley. Yang penting, bisa nyanyiin semua lagi mereka.

Konser dibuka dengan medley Everyone dan I Wanna Be With You yang super singkat, tapi sukses membuat JiExpo bergemuruh. Mungkin, ini akumulasi teriakan yang sudah ditahan selama dua puluh tahun.

Karena keterbatasan durasi, beberapa lagu dinyanyikan tidak utuh. Sayang, sih, but in a positive note, kita bisa dengerin lagu lainnya. Konser ini juga membuktikan kalau jam terbang tidak akan pernah berbohong. Meski sudah berumur, gerakan dance mereka masih enggak kalah ketimbang waktu masih berusia 20-an dulu.



Satu lagi nilai plus, mereka sangat interaktif dan komunikatif. Setiap selesai satu segmen, satu personil memberikan speech dan guyonan yang lucu, lalu menyanyi solo, sebelum nanti masuk ke lagu berikutnya. Jadi, konser ini serasa lebih intimate. Belum lagi mereka berkali-kali mengungkapkan rasa terima kasih dan senang konser di sini. Bahkan, Kevin sampai mengatupkan tangan dan menundukkan kepala. Sopan banget.

Namanya juga nostalgia, maka JiExpo juga bergemuruh oleh koor saat ikut menyanyi bareng. Mungkin, selama dua jam ini jadi momen karaoke bareng dengan BSB sebagai bintang tamu. Bonusnya, orangnya ada. Live. Enggak sia-sia sudah menghafal lagu mereka selama 20++ tahun.

Hanya Kevin yang Bisa Bikin Gimmick Lempar Kolor Biru


Mungkin bertanya-tanya ketika membaca judul tulisan ini. Lempar kolor? Yup, itu beneran, he-he.
Jadi, Kevin dan AJ bertugas memberikan speech. Setelah saling guyon dan berterima kasih, di stage ada partisi. Mereka menjelaskan kalau personil lain sedang ganti baju di backstage, sementara mereka akan ganti baju di stage. Beneran aja dong, ganti baju di sana. Di balik partisi tapi, he-he.

Nah, saat ganti baju itulah Kevin me-recall kalau dulu tiap konser pasti ada aja cewek yang lempar underwear dan bra. Di Indonesia—dan Asia—memang jarang, sih. Tapi, di Amerika Latin dan Eropa tradisi ini masih ada. Sebagai gantinya, merekalah yang akan lempar baju dan … sempak biru.

Tolonglah dikondisikan, he-he.

Btw, itu sempak baru apa bekas?

Dan, namanya juga legend ya, mau nyanyi sambil ganti baju mah bebas.

Mereka berlima juga saling lempar guyon dan candaan, meski Howie sedikit pendiam. Namun, sekalinya ngomong, yang lain malah bikin ekspresi aneh di belakang Howie dan gangguin dia. Tindakan itu bikin aku mikir, ‘serius ini kelakuan om-om 40-an?’

Di postingan ini, aku ingin memberikan sedikit penilaian yang sifatnya sangat personal bagi masing-masing personil.

Nick Carter


Everyone’s favorite. Hayo ngaku siapa yang dulu cinta pertamanya Nick Carter? Sosoknya yang masih remaja di awal kemunculan dulu, dan cakep, memang membuat Nick jadi personil favorit semua orang. Semalam pun masih sama, masih sukses bikin ciwiks-ciwiks (dan mamak-mamak) jejeritan.



Nick sangat playful, sering berinteraksi dengan penonton, dan suka pamer. Apalagi kalau bukan pamer suara. Not that I’m complaining karena suaranya memang bagus. Rough, tapi bikin ngena. Nick juga atraktif, enggak pernah diam, dan suka bercanda, apalagi sama Brian. Justru, aku mau-mau aja bayar mahal buat nonton Nick adu banter sama Brian, he-he.

Brian Littrell


The survivor. Mungkin, Brian masih bisa menyanyi dan menampilkan aksi panggung seciamik semalam, itu adalah sebuah mukjizat. Sakit jantung sejak kecil, operasi jantung di saat lagi berada di puncak popularitas, tentu itu bukan hal yang mudah.

Lalu, penyakit yang memengaruhi pita suaranya. Memang, sih, suaranya udah enggak bisa dipaksa sekuat dulu, but he always tried. Usahanya memang harus diapresiasi, sih. Terlepas dari semua risiko yang mengintai, dia sukses menghadirkan penampilan luar biasa. Suaranya masih bikin merinding. Dan, dia enggak jaim. Doyan bikin ekspresi lucu yang bikin ketawa, juga baby voice doi yang lucu—meski kata Nick annoying he-he.

Thank you for singing, Brian.

AJ McLean


The rough one. Dari segi fisik, AJ memang yang terlihat paling rough. Dengan tato di leher dan facial hair yang lebat, membuat tampangnya sangar. Kayak rocker. Namun, kalau pakai fedora malah kayak penyanyi country.

But he has a soft heart. Aku masih salut sama kejujurannya soal addiction yang dia rasakan, juga kerelaannya masuk rehab karena ingin 100% bersih sebelum menikah.


Sama seperti wajahnya, AJ juga punya suara yang rough. Sepanjang konser, justru ini yang aku suka. Suaranya memang tidak sempurna, tapi jujur. Jadi, lagunya lebih ngena aja.

Howie Dorough


Si pemalu. Dibanding yang lain, Howie yang paling sedikit ngomong. Kecuali di sesi speech dia sendiri. Pas bareng-bareng juga dia cuma ketawa lucu aja ngeliatin. At least, ada satu yang bikin adem dan nenangin di antara personil lain yang cewawakan.

Namun, di balik sikapnya yang diam, kalau sudah nyanyi, suaranya sih bikin takjub. Diam-diam membunuhlah istilahnya.

Kevin Richardson


#Daddyable He’s my favorite. Jadi, senang aja ketika kemarin di posisi aku tuh puas banget ngeliatin Kevin dari jarak dekat. Saking dekatnya, warna matanya aja kelihatan jelas. Keringat di pelipisnya juga kentara banget. Dan … pastinya, hidungnya yang tinggi banget, Masya Allah. He’s almost fifty tapi masih lincah aja nge-dance.

Kevin as big brother berasa banget mengayomi. Bukan hanya offstage, tapi juga on stage. Namun juga bisa konyol, seperti ikut ngejailin Howie. Namun di sisi lain dia juga bisa ketawa kecil melihat tingkah adik-adiknya pas ngebanyol.

Dia juga definisi paling pas untuk istilah ‘aging like a fine wine’ karena makin tua makin cakep. Very mature. Hotter than ever. Membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.



Di antara mereka berlima, memang Kevin yang vokalnya paling lemah, tapi suaranya yang berat itu bikin hati dag dig duh. Enggak heran setiap kali part dia selalu diiringi oleh teriakan.

Dua kata: he’s so daddyable yah hahaha.

Konser yang Megah dan Membahana



Highlight lain juga ada pada permainan lighting yang ciamik, sehingga konser terasa lebih megah dan mewah. Meriah banget. Tapi, bukan tipe lighting yang bikin silau sakit mata gitu.

Selain itu, aransemen di beberapa lagu juga dibuat beda. Ada kesan modern, tanpa meninggalkan feel 90-an. Paling kentara di Everybody yang terdengar lebih fresh.

Pembagian lagu ke dalam beberapa section juga pas. Awal-awal dibikin semangat dengan lagu upbeat, lalu masuk section selanjutnya, dibikin ambyar dengan lagu mellow nan menghayat hati. Lalu, kembali diakhiri dengan lagu yang menghentak, membuat adrenalin jadi terpacu.

Saat akhirnya mereka menghilang dan ada jeda untuk teriakan ‘we want more’ lalu kembali lagi menyanyikan lagu Don’t Go Breaking My Heart dan diakhiri oleh Larger Than Life, rasanya waktu berlalu begitu cepat. Tidak ada basa basi closing, begitu selesai melambaikan tangan dan mengakhiri Larger Than Life, mereka pun menghilang. Duh, masih pengin nambah lagi, sih.



Setidaknya, aku sudah bersyukur bisa menuntaskan impian masa kecil. Dulu mana pernah kepikiran untuk bisa menyaksikan musisi luar negeri konser, lha musisi Indonesia aja susahnya minta ampun. But, never say never, kan?

So, thank you Kevin Richardson, Brian Littrell, Howie Dorough, AJ McLean, and Nick Carter for an amazing night. I see you when I see you.

SHARE:
1 Comments

Japan Trip: Setengah Hari Berharga di Kobe yang Stylish untuk Melepas Lelah

1 comment
Setengah hari yang santai di Kobe



Ini sebuah ketidaksengajaan yang menyenangkan.

Kobe tidak ada dalam daftar itinerary. Semula, aku berencana untuk ke Nara selama setengah hari sepulangnya dari Osaka Castle. Sepulang dari Nara, baru, deh, lanjut ke Kyoto. Namun, di tengah perjalanan terjadi perubahan rencana.

Adalah Vinny, teman SMA yang sudah sangat lama tidak ketemu dan tiba-tiba menghubungi. Ternyata, Vinny lagi ada di Jepang. Tepatnya di Kobe. Vinny pun mengundang untuk ke Kobe.

Pertanyaannya, kenapa enggak?

Balik lagi ke tujuan utama trip ini: reconnecting. Mungkin ini saat yang pas untuk reconnecting dengan teman lama. Dua anak kampung dari Bukittinggi, lalu bertemu di Kobe. Cocok tuh jadi headline acara Hitam Putih.

Reconnecting dengan teman lama

Pertimbangan lainnya, Jepang saat itu panas banget. Aslik, menggila banget panasnya. Seharusnya sudah mulai masuk hawa-hawa autumn yang sejuk, tapi rupanya global warming juga menampakkan giginya di Jepang.

Fast forward ketika sudah pulang ke Jakarta, temanku Rini sempat melontarkan pendapat. “Di negeri asing lalu ada teman yang mengajak ketemu, lo pasti ngeiyain. Perasaan sebagai stranger lalu ketemu yang familiar itu priceless sih.”

Yes, setuju dengan Rini.

Jadi, setelah balik dari Osaka Castle, aku melanjutkan perjalanan menuju Kobe sambil menenteng koper. Tujuannya biar enggak bolak balik. Jadi, nanti dari Kobe langsung naik kereta ke Kyoto. Saat itu bertepatan dengan adanya pertandingan Rugby di Kobe, jadi ramai banget.

Di Kobe enggak begitu eksplorasi, sih. Istilahnya, istirahat sejenak setelah bertualang di Osaka dan sebelum melanjutkan petualangan di Kyoto keesokan harinya. Trip kali ini juga ditemani oleh si kecil Hiro yang lucu.

Vinny dan Hiro yang menjamuku di Kobe


Kobe yang Stylish dan Trendy

Mejeng dulu di Kobe


Kesan pertama yang muncul di benak saat menginjakkan kaki di Kobe adalah: stylish banget. Sekeluarnya dari stasiun, aku dan Vinny (plus Hiro) menuju Harborland. Dibilang mall juga enggak, tapi ada banyak toko-toko juga. Harborland nyambung ke deretan café-café super stylish yang lucu banget. Sangat instagramable sih.

Look at this beauty.

Deretan cafe yang stylish di Kobe

Cafe yang bikin enggak sadar kalau masih di Jepang



Ketemu teman lama enggak lengkap kalau enggak makan, jadilah makan siang yang terlambat bersama Vinny. Kita pun makan siang di Bikkuri Donkey Kobe Harborland. Restoran steak yang tampak chic dan stylish, seakan-akan enggak lagi berada di Jepang.

Selain makanan yang enak (plus porsi sangat besar), view laut di sisi kanan juga enggak kalah priceless.

Bikkuri Donkey Kobe Harborland


Menurut cerita Vinny, Kobe ini sedikit unik. Kotanya terletak di antara bukit dan laut. Jadi, cuacanya kadang suka rada-rada, sih.

Vinny juga cerita kenapa Kobe tampak stylish, bahkan jauh lebih stylish ketimbang Tokyo atau Osaka. Stylish-nya Kobe tuh terasa gaul dan trendy gitu, bukan modern seperti Tokyo. Kata Vinny, Kobe itu kota pertama di Jepang yang membuka diri kepada dunia luar. Jadi, pelabuhan pertama yang menerima kapal asing itu ya Kobe. No wonder kalau tren di Kobe selangkah lebih maju dibanding kota-kota lain.

Untuk kamu yang ingin santai sejenak, aku sarankan untuk ke Kobe saja.

Tentunya, makan beef yang endes.

Plus, belanja karena barangnya lucu-lucu. Ada satu toko yang menjual baju ala Indonesia, sebab yang punya lama tinggal di Indonesia #kataVinny.

Toko-toko unik di Kobe

Toko baju unik dan Indonesia banget karena orangnya lama tinggal di Indonesia #kataVinny


Jadi Turis Sesaat Menjelajahi Laut


Selepas makan siang, dengan perut begah, kami pun melanjutkan perjalanan ke Harborland yang mengarah langsung ke laut. Duduk di pinggir laut, dengan angin sore sepoi-sepoi, rasanya bikin ngantuk.

Ketika melihat segerombolan anak sekolah sedang foto-foto di Harborland, rasanya seperti melihat komik. Sebagai yang tumbuh besar dengan komik, salah satu tujuanku ke Jepang ya pengin melihat suasana yang digambarkan di komik itu.

Anak sekolahan Jepang yang serasa lagi lihat isi komik


Sayang, aku tidak menemukan padang dandelion sehingga tidak bisa merasakan menjadi Yamazaki Tanpopo. #myImadokihearts

Sore itu, secara random aku dan Vinny mengikuti trip satu jam naik kapal keliling laut Kobe. Pasalnya, Vinny cerita soal dinner mewah di sebuah cruise bernama Concerto yang diidam-idamkannya. Ah, pengin sih nyoba, tapi sendiri enggak asyik, he-he.



Selama trip, ya cuma memandang laut saja. Plus, Kobe port yang sibuk, dengan kapal tongkang yang super gede. Gila, ya, kapal segede itu bawanya gimana coba? Kesibukan di pelabuhan lumayan terlihat, meski enggak sesibuk yang ada di dorama.

Memandangi laut lepas

Setengah hari yang tak terduga di Kobe lumayan untuk mengisi tenaga. Beruntung juga tidak jadi ke Nara, karena bisa dipastikan akan lemes selemes-lemesnya di Nara yang super panas. Mungkin nanti aku akan ke Nara, kalau ada rezeki untuk ke Jepang lagi.

Aku dan Vinny berpisah di Stasiun Kobe. Vinny dan Hiro pulang, aku melanjutkan petualangan selanjutnya di Kyoto.

Siapa sangka, kalau nantinya aku akan jatuh cinta dengan Kyoto.

Thank you Vinny and Hiro for your hospitality.

XOXO,
Iif

PS: Karena banyak yang mancing di Kobe, jadi siap-siap aja di kereta ketemu orang bau laut dan bau ikan. Selama perjalanan ke Kyoto, aku pun duduk saling membelakang dengan bapak-bapak yang selesai memancing.

SHARE:
1 Comments

Japan Trip: Osaka yang Laid Back, Humble, dan Mengenyangkan Perut

3 comments



In front of the famous Glico Sign



Osaka menjadi kota pertama aku menginjakkan kaki di Jepang. Saat keluar dari kereta di Namba Station, rasanya sangat surreal.
Am I really here?
Semua ketakutan dan rasa ragu yang sebelumnya menghambat pun sirna, berganti rasa semangat dan super excited menyambut petualangan baru.
Aku tiba di Osaka Sabtu pagi (28/9), setelah menempuh perjalanan Jakarta – Singapura – Osaka. Senyaman apa pun pesawat, yang namanya kelas ekonomi meskipun itu ekonominya Singapore Airlines, tetap aja enggak nyaman (thanks to Pak Pilot yang bawa pesawatnya smooth banget). Namun, rasa excited menjelang liburan pun mengalahkan tubuh yang meronta untuk minta diistirahatkan.
Rencananya, aku akan berada di Osaka selama dua malam. Berikut highlight trip di Osaka kali ini.
Day 1: Namba, Tennoji, Shinsaibashi, Amerikamura, Dotonbori
Day 2: Universal Studio Japan
Day 3: Osaka Castle

Hujan Rintik di Shitennoji Temple


Shitennoji Temple

Tujuan pertama di Osaka adalah Shitennoji Temple. Sebenarnya bisa naik kereta atau bis menuju kuil tersebut, tapi berhubung masih pagi dan pengin melihat Jepang untuk pertama kalinya, aku pun memutuskan untuk jalan kaki. Jauh, sekitar 20 menit. Capek? Iya, tapi pemandangannya mengalahkan rasa capek itu.
Memang, ya, Osaka itu setiap sudutnya menarik untuk diabadikan ke dalam foto. Bahkan, gang-gang aja terlihat ciamik. Aku pun menemukan sebuah obsesi baru, yaitu vending machine. Negara sejuta vending machine, yang setiap beberapa meter pasti ketemu. Bentuknya yang warna-warni membuat vending machine ini menimbulkan kesan hangat di tengah pagi Osaka yang dingin dan hening.

Vending Machine, obsesi baruku

Ketika tiba di Shitennoji Temple, perlahan gerimis mulai turun. Namun, hanya gerimis ala kadarnya saja, untunglah. Shitennoji termasuk salah satu tempat yang wajib dituju ketika di Osaka, salah satu kuil tertua di Jepang. Kompleks kuil ini lumayan besar, dan aku bisa melihat beberapa bagian kuil dipenuhi orang-orang. Mungkin sedang beribadah. Aku pun menuju bagian dalam kuil, sekaligus berteduh dari hujan.

Detail Shitennoji Temple




Puas berkeliling Shitennoji Temple, aku memutuskan untuk pergi ke Shinsaibashi. Ada yang lucu sebenarnya. Kata temenku, “lo harus ke Shinsaibashi, belanja.” Dengan niat menggebu-gebu, aku keluar dari stasiun dan langsung dihadang oleh gedung tinggi dengan logo Louis Vuitton. #KZL

Shinsaibashi memang tempat yang cocok untuk yang suka belanja. Sebagai bocoran, sebaiknya belanja di Osaka aja ketimbang Tokyo, karena konon kabarnya lebih murah. Berhubung hari itu baru hari pertama, dan aku bahkan belum check in di hotel, jadi menguatkan diri untuk tidak belanja. Masih ada tiga kota dan delapan hari lagi, jangan sampai keteteran sendiri nanti di jalan.




Selepas makan siang di sebuah restoran udon di Shinsaibashi, aku melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Amerikamura. Masih pusat belanja, tapi lebih laid back dan murah. Amerikamura terasa lebih hangat dan ceria ketimbang Shinsaibashi yang kaku dan dingin. Konon, namanya Amerikamura karena di sini pusat gaya fashion dari barat, hence the name, Amerika-nya Osaka. Baju yang dijual lebih lucu dan santai, jadi sayang aja kalau enggak belanja.




Dari Amerikamura, aku memutuskan untuk check in di hotel. Sekaligus mandi biar kembali segar. Kebetulan hotelnya dekat dari stasiun, dan juga masih walking distance dari Dotonbori.

Sorenya, perjalanan dilanjutkan ke Dotonbori. Sekali lagi, setiap sudut jalan dan gang-gang di sini tuh very very Instagram-able.





Temenku, Kak @Kenjrot pernah bilang, “lo keberatan beli barang bekas? Kalau enggak, lo harus ke Bookoff Namba.” Tentu saja, sebagai penyuka thrifting, aku pun meluangkan waktu untuk datang ke toko ini.

Ternyata, Bookoff menjadi salah satu toko yang wajib didatangi.

Toko ini ada empat lantai dan serba ada. Di lantai kedua, dipenuhi rak berisi buku dan komik. Rasanya pengin beli semua, tapi aku enggak ngerti bahasanya. Beberapa komik bisa dikenali karena cover, tapi enggak ada judul dalam tulisan latin yang memudahkan untuk mengenali lebih lanjut. Padahal, aku sangat berharap bisa mendapatkan Imadoki di sana. Namun, aku senang banget ketika menemukan Harry Potter dalam bahasa Jepang, mengingat aku mengoleksi Harry Potter dalam berbagai bahasa.

Lantai dua dan tiga bersisi baju, sepatu, coat, tas, dan aksesoris. Barang branded, tapi bekas, yang dijual dengan harga miring. Worth to visit, sih.

Pengin beli semuaaaa

Harry Potter dalam bahasa Jepang

(PS: Bookoff juga ada di Tokyo. Aku sempat mampir di Bookoff Shinjuku dan Bookoff Ueno)

Selanjutnya, aku menuju ke tempat wajib dikunjungi di Osaka: Dotonbori. Apalagi kalau bukan menyaksikan langsung Glico Sign. Hanya berjalan kaki melewati satu belokan dari Bookoff, aku pun sampai di depan Glico Sign. Malam itu sangat ramai, karena bertepatan dengan Rugby World Cup. Secara Dotonbori adalah salah satu tempat hits anak muda Osaka, jadi makin ramai.

The famous spot in Osaka: Glico Sign


Dotonbori terasa sangat hidup. Selain deretan makanan yang menggugah selera, di beberapa sudut juga ada musisi yang melakukan show kecil-kecilan, tapi super niat.

Kita bisa menghabiskan waktu dengan nongkrong di pinggiran sungai sambil makan takoyaki atau minum bir, bisa juga berbelanja dan mencoba café di sekitar sana, atau menjadi turis sejati: mengikuti Tombori River Cruise. Aku memilih opsi ketiga, berkeliling sungai selama 20 menit sambil menyaksikan betapa hidupnya Dotonbori.


Jadi turis sejati dengan naik Tombori River Cruise

Mandatory picture


Malam semakin larut, rasanya masih ingin di sini, tapi aku memutuskan untuk pulang demi istirahat yang cukup.

Kembali Jadi Anak Sepuluh Tahun di Universal Studio Japan 


The magical Hogwarts

Hari kedua, ini hari yang paling ditunggu-tunggu. Universal Studio Japan, I’m coming. Apalagi yang menjadi tujuanku kalau bukan Wizarding World of Harry Potter. Sembilan belas tahun Errol nyasar, sehingga surat undangan untuk masuk ke Hogwarts datang terlambat.

Temanku, Wita, sudah mewanti-wanti. “Kalau bisa kamu jam 7 udah nongkrong di sana.” Padahal, bukanya jam 8.30. Wita sih ambisius, sampai di USJ jam 7 kurang. Aku, sih, sampai sana jam 7.30. Sudah ramai, tapi antre tidak begitu panjang.

Selamat datang di Hogsmeade

Mobil keluarga Weasley yang muncul di buku kedua



Begitu masuk, aku langsung menuju Hogwarts, tempat semua impian dan keinginan yang terpendam bertahun-tahun.

Berhubung masih pagi, jadi bisa langsung masuk. Saat melihat Hogsmeade, rasanya aku kembali menjadi anak sepuluh tahun yang mendapat izin untuk liburan ke Hogsmeade. Tempat pertama yang aku tuju adalah tokonya Ollivander. Meski Garrick Ollivander berbahasa Jepang dan aku tak mengerti, rasanya masih amaze ada di dalam tokonya.









Enaknya datang pagi, jadi enggak perlu antre lama. Sebelum keliling Hogsmeade, aku memasuki kastilnya untuk menjajal Forbidden Journey. I know it’s just 3D act, tapi rasanya sangat real. Yang membuatku sadar itu bukan nyata adalah Harry dkk ngomong dalam bahasa Jepang, he-he. Saat Dementor datang, aku sampai bergidik ngeri, tapi begitu ada naga, aku tersenyum bahagia. Untung enggak ada Basilisk atau Nagini.

Mandatory picture di sini tentu saja kastil Hogwarts dan bayangannya di air danaau. Kalau mau dapat foto yang pas, coba ambil dair belakang Three Broomsticks. Aku mengisi makan siang di sana, dengan pemandangan danau, dan bisa mendapatkan foto yang sangat magical ini.



Selanjutnya, saatnya berkeliling Hogsmeade. Jangan lupa meminum Butterbeer. Kita bisa membeli di gelas plastik, atau gelas seperti ini, sekaligus sebagai kenang-kenangan.




Aku tidak mencoba semua permainan di USJ, terutama rollercoaster. Jujur, jantungku tidak cukup kuat untuk menangani semua kengerian itu.










Butuh waktu seharian untuk menikmati keseruan di USJ. Lagipula, setelah semua kesibukan, sehari kembali menjadi anak-anak itu sebuah reward yang berharga.

Osaka Castle dan Mengenang Perjuangan Conan Edogawa


The magnificent Osaka Castle


Hari ketiga, aku menuju Osaka Station untuk menyimpan koper sebelum melanjutkan perjalanan menuju Osaka Castle. Kastil super megah yang juga menjadi icon Osaka. Namun, bagi penggemar Detective Conan, kastil ini juga menumbuhkan rasa nostalgia.

Lumayan butuh waktu untuk berjalan kaki menuju Osaka Castle dari stasiun Osakajokoen. Namun, suasana yang tenang dan pemandangan yang cantik membuat lupa akan rasa letih. Kastil ini terletak di ketinggian, dan ada sungai di sekelilingnya. Juga taman. Sayang, aku tidak sempat masuk ke tamannya.

Otemon Gate, gerbang masuk ke Osaka Castle


Oh ya, buat yang ingin masuk ke Osaka Castle, aku saranin untuk naik lift sampai puncak, baru turun lewat tangga. Lumayan, delapan lantai. Nah, waktu itu antrean lift lumayan panjang, dan di depanku ada kakek nenek yang semangat untuk naik tangga. Aku pun terpacu. Meski akhirnya ngos-ngosan begitu sampai di atas, dan harus mikirin nurunin tangga delapan lantai lagi.



Di observation deck di puncak, kita bisa melihat kota Osaka dari ketinggian. Berikut beberapa foto dari puncak Osaka Castle:







Petualangan di Osaka berakhir, karena siang ini, aku menuju Kobe. Ikuti petualangan di Kobe di tulisan selanjutnya.

SHARE:
3 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig