#MyBucketList 1. Ed Sheeran

1 comment
“Aku enggak pernah menyangka akan jadi terkenal karena dulu aku sangat jauh dari image seorang idola.” – Ed Sheeran.
Jadi, dalam rangka pengin menghidupkan kembali blog yang sudah lama hiatus, plus mengembalikan mood menulis seperti semula, gue jadi pengin berbagi something in my bucket list with #mybucketlist post. There are many things and dreams in my bucketlist that I want to achieve and I want to share it here to motivate me.
For the first post, I want to write about Ed Sheeran. Simply because I am falling in love with his song, especially Tenerife Sea, and he is one of my bucketlist.
So, here is the history.
Sudah lama sejak terakhir kali gue mengidolakan seseorang karena karyanya benar-benar menyentuh hati gue. Sampai gue berkenalan dengan Ed Sheeran dan Lego House. Lagu itu langsung masuk ke hati dan pikiran gue karena enak di kuping. Lalu gue mulai mengenal lagu-lagu Ed yang lain. Terhitung tiga tahunan sampai sekarang dan gue menasbihkan diri: I’m the massive fans of him.
He’s different with any other teen idol. Seperti yang Ed bilang di kalimat pembuka post ini, dia memang sangat jauh dari sosok idola, secara fisik. Rambut merah, chubby, mengalami masalah pendengaran, dan enggak terlalu cakep. Tapi ketika mendengar dia nyanyi, oh my God, gue sampai speechless. Hal pertama yang bikin gue makin respect sama dia adalah, cara Ed mengawali karier. From one gig to another gig. Enggak kayak idola kebanyakan sekarang yang memulai dari YouTube. Ed sendiri bilang, di salah satu interviewnya, kalau dia masih konvensional dalam hal karier.
Lalu gue makin jatuh cinta setelah membaca lirik-liriknya. Memang, sih, lagu-lagunya tuh curhat banget. Tapi liriknya enggak cheesy dan enggak kayak baca diari. Cara Ed mengolah kata itu keren banget. Cara Ed memilih kata-kata yang dia pakai itu bikin lagu curhat jadi enggak cheesy. Ini dia kekuatan Ed, di liriknya.
For example:
So I’ll take you to the beach/ and walk along the sand/ and I’ll make you a heart pendant/ with a pebble held in my hand/ and I’ll carve it like a necklace/ so the heart falls where your chest is/ and now a piece of me is a piece of the beach/ and it falls just where it needs to be/ and rests peacefully/ so you just need to breathe/ to feel my heart against yours now (Wake Me Up)
Atau ini
And all of the voices surrounding us here/ They just fade out when you take a breath/ just say the word and I will disappear/ into the wilderness (Tenerife Sea) à Lagu ini bikin gue googling Tenerife Sea,
Di salah satu artikel yang gue baca, disebutkan kalau para hopeless romantic pasti jatuh cinta dengan Ed Sheeran karena kepiawaiannya merangkai kata. Tipikal cowok romantis yang bisa bikin cewek meleleh.
And it’s true.
Tapi itu hanya satu alasan. Semakin gue mengenal Ed, semakin gue menemukan banyak alasan kenapa gue begitu mengidolakan dia. He’s such a smart person. Cowok smart memang gampang bikin gue meleleh, he-he. Dan, ini yang paling penting, dia punya kesukaan yang sama dengan gue dan hal itu bikin gue makin related aja sama dia. Dua contoh: The Lord of The Rings dan Game of Throne. Jadi, begitu tahu tahun 2013 lalu Ed nyanyiin soundtrack The Hobbit: Desolation of Smaug, gue excited banget. Ed dan Hobbit adalah paket kombo.
Dan setelahnya? All of The Stars from The Fault In Our Stars. Satu lagi paket kombo: Ed dan novel favoritku.
Lalu pertanyaannya, apa hubungan Ed dengan bucketlist?
Because I want, someday, I can meet him. And ask him about his inspiration. Gue pengin tahu apa yang dia lakukan setiap kali menulis, siapa penulis idolanya, buku-buku puisi yang dia baca. Siapa tahu jawabannya bisa memotivasi gue untuk terus menulis.

So, what about your bucketlist?

PS: Masih berharap tahun depan Ed ke Indonesia. Secara Singapur, Filipin, dan Malaysia udh confirm kan ya bakal konser di sana, hehe
SHARE:
1 Comments

Review #24 Beautiful Liar by Dyah Rinni

2 comments
Beautiful Liar
Dyah Rinni



Lunetta terbiasa tinggal bersama ayahnya sejak orangtuanya bercerai. Ayahnya ini penipu sehingga mereka harus tinggal berpindah-pindah. Entah untuk menghindari kejaran polisi, atau menghindar dari korban yang ditipu ayahnya. Lalu suatu ketika, Lunetta harus tinggal bersama ibunya karena posisi ayahnya yang berbahaya.
Lunetta enggak suka dengan ibunya sehingga dia memutuskan untuk mencari masalah agar bisa kembali ke ayahnya. Begitu juga ketika Lunetta sekolah di sekolah swasta elit yang seperti istana kerajaan Yunani. Dia pun memutuskan untuk jadi ‘penipu’ agar dikeluarkan dari sekolah dan kembali ke ayahnya. Tapi kehidupan normal yang diberikan ibunya lama-lama membuat dia betah. Begitu juga teman-temannya di sekolah. Termasuk cowok ngeselin yang sering jadi penghalang rencananya, Badai.
Jadi, Beautiful Liar ini salah satu pemenang lomba 7 Deadly Sins yang diadain GagasMedia tahun lalu.
Gue udah lama nunggu-nunggu novel ini. Alasannya simply karena pemenang lomba. Ketika lomba itu diadain, sempat kepikiran buat ikut. Tapi mundur karena susah dan enggak tahu mau nulis apa. Makanya gue penasaran sama hasil pemenangnya (Psst, salah satunya karya temen gue, mbak Yuska Vonita. Can’t hardly wait for her debut novel). Apalagi nama mbak Dyah Rinni yang udah mumpuni bangetlah.
Begitu tahu novel ini berlatar remaja, makin kagetlah gue. Gimana caranya bisa menulis novel SMA dengan tema serius begini?
Hasilnya? Gue speechless.
This novel is perfect. With capital P.
Tema yang diangkat unik banget. Bedalah dibanding novel-novel remaja umumnya. Untuk urusan tema, two thumbs up-lah buat mbak Dee. Cewek penipu yang dibentuk oleh keadaan. Alasan Lunetta melakukan tindakan tersebut sesuai dengan umurnya, yaitu kangen sama ayahnya dan merasa sulit beradaptasi dengan kehidupan baru yang ditawarkan ibunya.
Selain itu, unsur-unsur pendukung juga khas remaja banget. persahabatan dan cinta, juga masalah keluarga. Tapi semuanya mendukung tema utama novel ini yang mengangkat dosa greed.
Unsur-unsur lain juga patut diacungi dua jempol, seperti alur yang lancar bak jalan tol, chemistry antar tokoh yang kuat banget, bahkan tokoh minor sekalipun, dan bahasa yang enak dibaca. Emang sih ceritanya sinetron banget, tapi kalau sinetron kayak begini mah gue mau mantengin tv he-he.
Kekurangannya mungkin di editing. Eh itu banyak typo (as usual. We talk about GagasMedia, remember?) dan yang ganggu pas baca sih pengulangan kata. Maksudnya gue ngerti, salah satu buat dihapus tapi kayaknya skip jadi ya enggak sempat dihapus, deh. Contoh (lupa halaman berapa karena gue selesai baca udah lama banget): … saat ini ….. ….. …. Saat ini. nah, yang kayak begitu tuh sering kejadian.
Kalau kekurangan lumayan major sih ya penulis yang membiarkan tokoh Bella menghilang entah ke mana menjelang akhir. Padahal peran dia penting, lho. dan subkonflik Bella itu sering banget terjadi di kehidupan nyata.

Jadi, secara keseluruhan, aku puas dengan novel ini. sebuah pembuka yang manis. Dan cover yang kece. Kalau dijembrengin ketujuh seri ini cakep kali, ya. Dan gue menasbihkan mbak Dyah Rinni sebagai penulis novel young adult Indonesia nomor satu yang aku suka. Yihhaaa….
SHARE:
2 Comments

Happy Birthday To Me

Leave a Comment
Welcome To 25



Actually, this is a late post because my birthday was at August 30th.
Ada beberapa usia yang bikin orang-orang deg-degan ketika memasukinya. Bagi gue, ada empat tahapan usia. 17, 25, 30, dan 40. 17 karena katanya itulah titik awal kita menuju kedewasaan. Saatnya punya KTP dan itu sebuah bukti kalau kita udah gede. 25 menurut gue titik kedewasaan sebenarnya. Blame on quarter-life-crisis syndrome. 30 karena menurut gue saat itu kita sudah settle dan 40 saat untuk menetapkan, what’s next.
Dua di antaranya udah gue lewatin. Gue masih ingat waktu norak-noraknya memasuki usia 17. Sweet seventeen (yang setelah dilewatin enggak sweet-sweet banget). Gue punya KTP dan mencoba untuk dewasa. Hasilnya? Failed. Haha.
Sekarang gue memasuki masa norak kedua beberapa saat menjelang umur 25. Memasuki awal Agustus, gue bertanya-tanya, apa aja sih yang udah gue lakuin di 25 tahun kehidupan gue? Nothing special, I know it. Beberapa hari menjelang usia 25, gue freak out sendiri. Sudah sampai umur segini dan gue semakin minder karena enggak banyak hal yang bisa gue banggain. Jujur, perasaan minder itu sering menghampiri gue akhir-akhir ini dan semakin besar menjelang ulang tahun. When I look at my friends, semua pencapaian mereka, kehidupan mereka, akulah merasa hanya sebatas debu di pinggir lukisan saja *tsahhh*
Tapi gue sadar kalau selamanya minder enggak mengakibatkan apa-apa kan? Malah yang ada cuma bikin makin drop. So, I reread my wishlist and review it. Here are some my dreams-do-come-true moment.

Hidup Mandiri
Proudly to say, yess, gue bangga bisa bilang hidup mandiri. Mandiri di sini, gue menanggung kehidupan gue sendiri. *meski pas-pasan hehe. Salahin sifat boros gue yang makin parah*. Gue pernah ketemu teman yang mengasihani gue saat tahu bayar uang kos sendiri padahal dia udah kerja dan kosan dibayarin mama. Menurut gue, justru gue yang seharusnya mengasihani dia.
Back to the days that I was a kid, gue enggak pernah kepikiran bakal tinggal sendiri. Bagaimana mungkin gue bisa sendirian secara selama ini gue selalu tergantung kepada orang lain? Bahkan saat udah kuliah pun gue masih tergantung kepada kakak. Padahal, target gue adalah hidup mandiri setelah tamat SMA, he-he. Tapi ternyata, setelah dijalani, gue bisa. Yeaiii… happy for me.

Do Something I Love
Bagi gue, ini juga pencapaian terbesar. Bisa hidup dari apa yang gue suka. Setiap hari menjalani pekerjaan seperti ngelakuin hobi. Entah itu prime job gue ataupun side job. Gue pernah berpikir, kalau seandainya gue enggak bisa jadi penulis, apa lagi yang akan gue lakuin? Karena gue enggak punya bakat atau kemampuan di bidang lain. Jadi, gue beruntung banget bisa bekerja di bidang yang gue suka.
Gue bekerja sebagai reporter di salah satu majalah yang dulunya waktu gue masih remaja, gue baca majalah itu. Gue pernah bermimpi bekerja di Kompas and the gank semata karena bokap gue suka banget sama Kompas. Dan sekarang gue berada di dalamnya. Happy for me.
Jadi, gue bersyukur banget bisa mendapatkan pekerjaan ini karena gue enggak tahu gimana hidup gue kalau enggak jadi penulis.
And I am certified published writer now. Haha. Alhamdulillah udah dua novel gue terbit. Insya Allah akan menyusul novel berikutnya, aminnn…
Perjalanan gue mewujudkan impian ini bisa dibilang gampang-gampang susah. Gue enggak mengambil jalan kayak yang kebanyakan orang lain ambil. Gue gabung di klub yang isinya orang-orang dengan mimpi sama kayak gue, bikin proyek bareng, ketemu teman menulis duet yang oke dan klop, lalu dia mengajak gue nulis bareng dan mengirim novel itu ke penerbit. Karena sebelumnya I am a looser, cewek yang selalu mundur duluan dan enggak pernah ngirim tulisannya dengan alasan takut. Kalau enggak ada teman-teman ini, mungkin sampai sekarang gue masih dihantui perasaan takut itu.

Menang Lomba
Gue selalu iri dengan teman-teman yang punya banyak penghargaan di rumahnya. Menang lomba inilah. Itulah. Apalah. Sementara gue? Piala gue bisa dihitung dengan jari. I am not a straight A student. Gue bukan murid berjiwa seni yang sering ikut lomba. Gue juga enggak ahli di bidang olahraga. Jadi ya wajar kalau enggak ada penghargaan yang gue dapat. Sampai akhirnya gue menang lomba menulis novel. Mungkin kedengeran norak, tapi bagi cewek 25 tahun yang enggak pernah menang apa-apa, ini sebuah pencapaian besar. Haha.

So far dari hasil review, itu hal besar yang bikin gue senang. Sebagian wishlist masih berupa wish, menunggu untuk diwujudkan.
Setelah melewati ultah ke-25, gue merasa siap menunggu tahap ketiga. Usia ke-30. Gue berharap kehidupan gue lebih membaik, enggak minderan lagi, enggak sering takut-takut alias lebih berani, dan lebih produktif.
Once again. Happy belated birthday for me.
SHARE:
0 Comments

Review #23 Paris by Prisca Primasari

Leave a Comment
Paris
Prisca Primasari



Aline yang lagi bete karena gebetannya jadian dengan cewek lain, memutuskan untuk cuti dari pekerjaannya sebagai waitress di sebuah restoran Indonesia di Paris. Di perjalanan pulang, dia menemukan pecahan vas yang kelihatannya mahal. Hanya ada satu petunjuk, nama Aeolus sena. Setelah dicari, Aline menemukan email Sena. Mereka pun janjian ketemu, tengah malam, di penjara Place de la Bastille. Tapi, Sena malah membatalkan pertemuannya saat Aline sudah ada di sana selama dua kali berturut-turut. Karena penasaran, Aline mau bertemu Sena lagi, kali ini ditemani Kak Ezra, tetangganya sekaligus mahasiswa Indonesia di Paris. Ternyata, sosok Sena sangat nyentrik. Sebagai balasan, Sena berjanji akan mengabulkan permintaan Aline.
Oke, gue telat banget baca buku ini. Banget banget banget. Ini kan buku pertama di seri STPC dan sekarang aja seri STPC udah berakhir, he-he.
Ini buku STPC keempat yang gue nikmati (setelah London, Bangkok, dan Melbourne). Dan ini buku yang paling enggak bisa gue nikmatin. Padahal sebelumnya gue suka bukunya Prisca, terutama Eclairs. Menurut gue ceritanya terlalu mengada-ada. Memang sih awalnya gue penasaran dengan background Sena, tapi setelah tahu, gue ngelihat something missing di sana. Kenapa Sena baru bergerak sekarang setelah bertahun-tahun terkurung? Toh dulu dia bisa keluar buat kuliah, memang segitu enggak ada waktunya? Apa Sena bertindak sekarang karena cinta? Well, mungkin gue udah enggak se-hopeless romantic dulu kali ya jadi enggak merasa tersentuh dengan perjuangan cinta Sena, he-he.
Tapi, terlepas dari ceritanya yang kurang nendang, gaya menulis Prisca masih gue suka, seperti biasa. Lembut dan detail tapi enggak menye-menye. Dan detail tentang Paris juga pas, enggak lebay, dan enggak terlalu kaku. Pokoknya jauh dari kesan promosi tempat wisata deh.
Karakternya juga, meski gue kurang related sama Aline yang sooooo pesimis, menye-menye, dan kelam. Gue tertarik dengan karakter Sena yang nyentrik dan lucu. Oh, sayang aja Kak Ezra porsinya terlalu dikit dan pengakuan Kak Ezra menurut gue terlalu tiba-tiba.

Meski ini bukan buku Prisca favorit gue, dan bukan favorit gue juga di seri STPC, baca buku ini lumayan buat mengisi waktu. Bukunya juga tipis, semalam kelar (sebagai obat insomnia hehe). Ditunggu buku selanjutnya Prisca. Tapi jangan Paris lagi ya. Cukup dua buku aja yang di Paris, he-he. Tapi kalau Rusia lagi enggak apa-apa. Suka banget sama Eclairs soalnya, he-he.

SHARE:
0 Comments

Review #22 Melbourne by Winna Efendi

Leave a Comment
Melbourne
Winna Efendi





This is the story about the one that got away.
Max kembali ke Melbourne, kota yang dulu ditinggalkannya. Dia pun bertemu dengan Laura lewat sebuah siaran radio. Hal itu memutar kembali kenangan yang pernah dilewatinya bersama Laura di kota itu. Mereka kembali bersahabat.
Bisakan sepasang mantan kekasih bersahabat?
Setidaknya, itulah tema besar dari novel Melbourne karangan Winna Efendi ini.
Fix, telat banget gue baru baca novel ini sekarang, setelah hype STPC selesai. And I like this novel. Very very very like it. Kesan yang gue tangkap selama membaca novel ini tuh sendu, sesuai dengan gaya menulis Winna yang lembut dan unsur di dalam novel itu sendiri (perasaan yang sama yang gue rasain setelah membaca London karangan Windry Ramadhina).
I’m not a huge fans of Winna Efendi. Malah pengalaman pertama gue baca buku Winna, Ai, sama sekali enggak berbekas. I don’t like Ai. Baru di Remember When gue mulai suka sama Winna. Tapi di Melbourne ini, gue head over heels sama Winna. Gue serasa beneran dibawa ke sana oleh Winna, nongkrong tengah malam di Prudence atau keliling Melbourne dengan mobil.
I love Max and Laura. Kedua karakter ini memang gampang banget membuat siapa saja jatuh cinta kepadanya. Giant-real-size Teddy Bear aka Max yang selalu ada buat Laura, cewek yang dicintainya. Juga Laura, quirky girl yang lovable. Gue suka dengan Laura, enggak gengges meski miserable. Gue suka selera musiknya yang aneh tapi bikin dia makin berkarakter.
Dan gue suka sama suasana Melbourne yang ditampilkan Winna. Memang sih kota ini menarik banget sehingga cerita apapun pasti jadi menarik, he-he. Tapi gue suka tone cerita yang sesuai dengan keadaan kota itu. Beberapa tempat digambarkan pas, enggak terlalu mendetail sehingga enggak kayak baca buku panduan wisata.
Satu hal yang bikin gue iri adalah gaya menulis Winna. Dia bisa menulis dengan lembut tanpa menye-menye dan enggak lebay. Pengin sih suatu hari nanti menulis kayak gini.
Oh, kelebihan lainnya, profesi yang enggak pasaran. Two thumbs up buat riset Winna soal arsitek cahaya ini. Kece. Bikin gue jadi mikirin konser-konser yang pernah didatengin dan terpukau sama lighting. Mungkin, ada Max di sana *ngarep haha*
Kalau ada kekurangan, mungkin skip di satu hal aja. Winna menuliskan tentang lagu Someday We’ll Know yang dia dengar dinyanyiin oleh Mandy Moore di film A Moment To Remember. Kak, filmnya A Walk To Remember. A Moment To Remember mah film Korea yang syedih banget itu, he-he. *bener kan ya?* Skip di hal simpel tapi fatal sik (dan kenapa pula gue tumben-tumbenan bisa teliti haha)
Overall, gue puas sama novel ini. sukaaa banget. terutama lagu-lagunya, he-he.
SHARE:
0 Comments

Review #21 Heart Attack by CLara Canceriana

Leave a Comment
Heart Attack
Clara Canceriana





Heartbreakers, sebuah boiben yang sedang naik daun tiba-tiba ditinggalkan oleh leader sekaligus lead vocal mereka, Dima. Popster Entertainment langsung mencari pengganti Dima. Ketika menonton konser sebuah sekolah musik, Dedy, managing director Popster suka sama Axel dan menawarkan Axel untuk bergabung dengan Heartbreakers.
Axel yang pemalu, rendah diri, dan enggak tahu impiannya apa menerima tawaran itu semata karena kecengannya dia suka sama Heartbreakers. Axel pun pindah ke apartemen Heartbreakers dan beradaptasi dengan dunia baru yang enggak pernah dibayangkannya sebelumnya. Belum lagi sikap member lain, Sandro dan Leon, yang kurang bersahabat. Dan para anti-fans yang ingin dia mundur. Plus skandal-skandal lain, membuat Axel bertanya-tanya apa iya dia pantas ada di Heartbreakers?
And the rest is history.
Gue baca novel ini iseng aja, karena pengin baca novel ringan yang bisa langsung dikelarin semalam. Heart Attack adalah pilihan yang tepat. Novel ini ringan, ditujukan buat remaja delusional yang suka mengidolakan seseorang (baca: fangirl), dan konflik yang ada pun sudah sering diangkat. Meski gue bukan remaja lagi tapi masih delusional aka fangirl, gue rasa gue akan menikmati novel ini.
Sorry to say, but I’m not. Gue dulu suka sama tulisan Clara di Rain Affair, tapi kenapa gue enggak bisa nyambung dengan gaya menulis Clara di sini? Clara memakai kalimat pendek-pendek dan minim deksripsi. Bahkan deskripsi tokoh-tokohnya aja kurang jelas sampai-sampai gue mengira-ngira sendiri. Oke, mungkin nanti ada buku sendiri buat Leon dan Sandro, tapi gue enggak bisa mengira-ngira Axel ini gimana. Masalahnya, ketika baca novel ini, dengan posisi mereka di boiben itu, menggiring pikiran gue ke beberapa idol Korea (gue jelasin nanti).
Kedua, konflik yang diangkat itu-itu aja. Skandal dan masalah dengan pers dan fans, plus di antara anggota. Gue lebih suka jika Clara fokus membangun chemistry antara member Heartbreakers ini. Dan Kirana, apa-apaan tuh. Selain gue enggak nangkep chemistry antara Kirana-Axel, keberadaan dia yang tipikal cewek Korea (lemah-oh-so-miserable) bikin gue eneg haha *ini sih persoalan pribadi gue yang enggak pernah suka sama cewek kayak begini*.
Concern utama gue ketika baca novel ini adalah, gila, sense of Korea-nya berasa banget. Tanpa setting di sana dan memakai tokoh dari sana, cita rasa Korea kerasa banget di sini. Pertama, pemakaian konsep boiben ala-ala Korea. Kenapa sih enggak bikin boiben ala-ala Indonesia. Toh boiben Indonesia juga enggak kalah keren (for example: 5Romeo). Pembagian posisi seperti ada leader, ada lead vocal, lead rapper, sub rapper, penyebutan personil dengan sebutan member, dan tinggal bareng di apartemen. Dooh, itu kan Korea banget. Western boyband enggak kenal tuh yang kayak gitu. Masalahnya, di boiben Indo juga enggak ada. (Untung enggak bikin mereka tinggal di dorm, haha). Soalnya dari awal gue berharap ini cerita boiben rasa Indonesia. Coba deh Clara riset soal boiben Indonesia dan menggali kehidupan boiben Indonesia kayak gimana, mungkin bisa ngasih pengetahuan baru sama pembaca tentang industri musik Indonesia, khususnya boiben.
Dan juga, seperti yang dibilang di atas, deskripsi yang minim bikin gue mengawang-awang mikirin tokoh-tokoh ini kayak apa. Jika lo punya basic experience atau basic knowledge soal Korea, gampang banget lo mengasosiasiakan tokoh-tokoh ini sebagai siapa. Let’s say, Dima as Kris EXO. Why? Karena dia leader yang ninggalin boiben yang ngebesarin namanya (oke, mungkin ini karena timing yang pas aja antara kasus Kris dan ketika gue baca novel ini). Sandro as Suho EXO. Why? Karena dia leader yang sakit hati ditinggal (Meski Suho bukan leader pengganti, tapi kan dia teman baiknya Kris, hehe). Axel as Jonghyun SHINee. Why? Karena gue suka sama Jonghyun dan enggak ada deskripsi soal Axel jadi Jonghyun dengan gampangnya memenuhi otak gue dan bikin gue mikir Axel is Jonghyun. Simply because he is lead vocal, jago bikin lagu, anak mami, punya kakak cewek yang sayang sama dia, dan sikap kekanak-kanakannya. That’s so Jonghyun. Masalahnya, gue enggak pernah suka membaca dalam keadaan kayak gini. Gue pengin ketika membaca, tokoh di novel itu muncul sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai orang lain. *oke, ini masalah pribadi sih*. Makanya gue selalu suka dengan karakter yang kuat dan jelas, karena dia bisa muncul sebagai dirinya sendiri.
*sigh*
Tapi, salut untuk tim promosi dan pencetus ide serial ini. Karena pasarnya jelas dan promosinya sesuai pasar jadi hype deh ini serial. Mana lagunya beneran ada lagi (meski gue geuleuh baca liriknya, Ewww…) Gue sih berharap di novel-novel selanjutnya mengalami peningkatan dan bisa bikin pembaca mengenal Heartbreakers as in Heartbreakers. Bukan Heartbreakers as another boyband.
(Dan secara anaknya paling anti berhenti baca serial di tengah-tengah, gue masih menunggu buku selanjutnya).
Terutama cerita Dima.

Salam,
Fangirl yang gagal dibikin delusional oleh Heartbreakers tapi masih menunggu gebrakan mereka selanjutnya.
SHARE:
0 Comments

Review #20 Can You Keep a Secret? By Sophie Kinsella

Leave a Comment
Can You Keep a Secret?
Sophie Kinsella





Saking paniknya saat pesawat yang ditumpanginya mengalami turbulence, Emma Corrigan malah membeberkan semua rahasia yang selama ini dipendamnya kepada orang asing yang duduk di sebelahnya. Yang ada di benaknya adalah dia akan meninggal sehingga dia enggak akan bertemu si orang asing itu lagi.
But they met again. Besoknya, di kantor Emma. Ternyata si orang asing adalah bos besar, pemilik perusahaan tempatnya bekerja, an international multimillionaire, Jack Harper.
Emma pun panik karena sebagai bos, Jack tahu kalau dia mengubah nilai di CV. Emma pun memohon agar Jack enggak memecatnya. Jack setuju. Jack pun meminta Emma merahasiakan kalau mereka pernah bertemu sebelumnya di pesawat dari Glasgow.
For a story short, mereka pun dekat. Dengan Jack tahu semua hal tentang Emma. Sampai di suatu interview tv, Jack tanpa sengaja membeberkan semuanya. Demi kepentingan bisnis. Emma menjadi bahan olok-olok teman kantornya. Persahabatan puluhan tahun dengan Lissy terancam. Dia merasa dikhianati dan dimanfaatkan.
Oke, ini emang telat banget baru baca novel ini sekarang. Gue pun enggak bakalan tahu punya novel ini kalau enggak iseng beres-beres, he-he *iya, anaknya ignorance bingit*. Dan seperti biasa, Sophie Kinsella always got my heart.
Can you keep a secret? adalah tipikal chicklit biasa. Fun, witty, love and job and friendship and family. A nothing-special-girl kind of story tapi kebanyakan cewek mengalami hal ini. Seperti biasa, karakter heroine ciptaannya Sophie selalu menarik. Mungkin karena digambarkan sebagai cewek biasa jadi gampang related ke gue. Seolah-olah Emma ini ya cewek middle 20s umumnya yang ditemui sehari-hari.
Tapi beda halnya dengan sang hero. An international multimillionaire Jack Harper. As usual, too good to be true. Tapi yah namanya juga chicklit, tokoh tgtbt udah pasti ada. Tapi ada yang gue enggak ngerti dari si Jack ini. uUmurnya berapa ya? Enggak dibilangin. Let’s say dia pengusaha sukses, bisa 30 akhir atau 40 kan? Masalahnya, meski enggak dibilangin, penggambaran dari Emma aja enggak bisa membuat gue ngebayangin Jack ini kayak apa. Atau mungkin karena deskripsi dari Emma kebanyakan ya ngeces liat Jack, he-he. Oh satu lagi, alasan kenapa Jack deket banget dan seolah-olah kayak orang ikutan mati waktu Pete Laidler, rekan bisnisnya, meninggal juga enggak digali.
Untuk konflik sendiri, standar ya. Di beberapa poin gue gemes banget sama Emma yang enggak berani ngomong dan biarin orang-orang di sekitarnya menyetir dia. dooh! Apalagi pas lagi hadap-hadapan sama Jemima. Duh ya itu si Jemima pengin gue sumpel sambel mulutnya biar diam haha. Dan Emma ini baru bisa gerak atau memperjuangkan haknya demi kehidupan yang lebih baik setelah bertemu Jack. Putus dari Connor? Karena Jack. Melawan Kerry? Atas bantuan Jack. Untung buat karir enggak ada campur tangan Jack. Agak kesel sih sebenernya sama cewek kayak begini. Untung masih banyak hal menarik lainnya jadi enggak misuh-misuh pas baca, he-he.
Overall, I love this book. This is fun and light book. Dan yang makin bikin happy, gue nyelesaiinnya agak cepet, 3 malam saja. Yihaaa…
SHARE:
0 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig