Mencari mural di Kampong Glam |
-->
Selama ini merasa sudah sangat kenal dengan Singapura, but
turns out I know nothing about this country
**
Lokasi yang dekat dan penerbangan yang banyak membuat
Singapura menjadi lokasi tujuan wisata idaman. Terutama untuk short weekend
getaway, Singapura yang gampang dijangkau membuat kita kadang merasa sudah
sangat kenal dengan negara ini.
Pertama kali menginjakkan kaki di Singapura ketika ada
liputan konser. Jujur saja, enggak pernah menjadikan Singapura sebagai
destinasi utama untuk liburan. Biasanya, sih, disambi. Entah untuk kerja atau
keperluan lain.
Hal itulah yang membuatku enggak pernah merasa sebagai turis
yang sebenarnya ketika berada di Singapura.
Akhir tahun lalu, aku kembali ke Singapura. Bahkan, kali ini
pun disambi karena tujuanku yang sebenarnya yaitu untuk menonton konser U2.
Namun, ada beberapa hari kosong di Singapura sehingga memutuskan untuk play
like a tourist.
Namun, jujur saja aku enggak punya destinasi fix pengin ke
mana. Akhirnya, keisengan membuatku bertemu Monster Day Tour, yaitu walking
tour di Singapura. Pada dasarnya tur ini free dan siapa saja boleh join, tapi
kita bisa membayar tip untuk menghargai guide-nya.
Ide bagus pun muncul, yuk ikutan walking tour saja. Monster
Day Tours mengadakan walking tour setiap hari, di pagi dan sore hari, dengan
tiga rute. Kampong Glam, Chinatown, dan Little India.
Untuk jadwal lengkap dan rute yang akan dilewat bisa dicekdi websitenya.
Waktunya memungkinkan untuk ikut dua trip, Kampong Glam dan
Little India. Sedikit review hasil jalan kaki di dua kawasan tersebut.
Kampong Glam yang artsy dengan street art kece
Bareng Seeta ikutan walking tour di Kampong Glam |
Aku ikut tur Kampong Glam di pagi hari. Kalau mau ikut, bisa
datang ke Lavender Station yang menjadi titik bertemu. Pesertanya lumayan
banyak, sekitar 30 orang. Guide pagi itu namanya Collin. Gampang kok nyari
turnya, cari aja yang kumpul rame-rame di pintu stasiun dan guide yang pakai
baju ungu gonjreng.
Selama ini yang aku tahu soal Kampong Glam cuma Haji Lane
dan mural Instagramable yang banyak mengisi laman media sosial. Sepanjang pagi
itu, Colin mengajak berkeliling Kampong Glam.
Turns Glam itu sejenis pohon, bukan Glam as in glamor,
he-he.
Collin, tour guide pagi itu |
Serunya ikut walking tour begini, kita enggak hanya tahu
hidden gem dari orang local, tapi juga cerita di sana. Colin bercerita tentang
awal mula Kampong Glam dan proses penyulingan air di Singapura. Colin juga
bercerita soal sistem kepemilikan rumah. Saat itu aku dan Seeta berpendapat, ‘gila,
ya, lo diatur banget. Lima orang aja kumpul-kumpul udah dianggap riot.’ Dan juga,
‘liberal, sih, selama ini mikirnya, tapi kalau dilihat-lihat dari ceritanya
Colin, ada unsur komunisnya juga, ya.’
Begitulah, pagi itu sangat membuka mata soal sistem
kehidupan di Singapura yang sebenarnya. Niatnya pengin act like a tourist,
nyatanya malah menyelami kehidupan lokal.
Selesai cerita soal sistem kependudukan dan kepemilikan
rumah, Colin juga bercerita soal tempat wisata di sana. Kampong Glam memang identik
dengan mural dan street art. Satu lagi fakta yang membuat tercengang, yaitu
intervensi pemerintah terhadap ekspresi seni seseorang yang diwujudkan dalam
bentuk mural. Jadi, mesti ngajuin proposal dulu soal mural apa yang ingin
dibuat dan berapa lama mural itu boleh menghiasi dinding sebuah rumah,
sekalipun rumah itu adalah milik lo. Harus ada alasan jelas di balik setiap
mural, jadi enggak asal. Enggak heran kalau tahun ini ada mural A tapi tahun
depan belum tentu ada karena kontraknya sudah habis.
Menjelajah mural |
Juga ada cerita soal Arab Street dan Masjid Sultan. Ternyata
dulu daerah itu jadi ‘asrama haji’ tempat orang berkumpul sebelum naik kapal
menuju Mekah. Lucunya, Arab Street bebas alkohol untuk menghormati orang Islam
tapi di jalan seberangnya udah boleh. Gini, nih, toleransi yang sebenarnya.
Masjid Sultan |
Haji Lane |
Haji Lane |
Overall, perjalanan keliling Kampong Glam sangat
menyenangkan dan informatif. Colin sebagai guide sangat penuh persiapan dan
penjelasannya menarik. Aku memang sudah suka daerah sana sehingga sering nginap
di situ tiap kali ke Singapura, tapi walking tour ini membuatku semakin suka
daerah sini.
Parkview Square, tempat berakhirnya trip |
Keesokan harinya, aku ikut walking tour lagi karena enggak
ada rencana mau ke mana. Jadwal pagi itu adalah Little India. Sama seperti hari
sebelumnya, meeting point juga di stasiun MRT sehingga gampang mencari trip
ini. Lucunya, beberapa peserta trip kemarin di Kampong Glam juga ketemu di
sini. Beberapa bahkan ada yang ikut trip di Chinatown kemarin sore.
Trip kali ini dipandu oleh Baz. Baz bilang, umumnya
orang-orang pasti ikut ketiga tur yang diadakan Monster Day Tour.
Baz, guide pagi itu |
Kalau kemarin aku bareng Seeta, sekarang aku sendiri. Baik kemarin
atau hari ini, umumnya peserta trip kalau enggak bule ya Asia Timur. Cuma kita
aja yang melayu.
Sama seperti Colin, Baz juga seru banget ngejelasinnya. Lengkap
dan detail. Sepertinya, sih, setiap tour guide sudah terlatih karena mereka
juga punya sertifikat.
Kami mengawali perjalanan di daerah sekitar stasiun dan
menjelajah awal mula berdirinya Little India. Dulu dan sekarang, daerah ini
memang identik dengan lokasi gambling untuk lokal. Baz juga cerita soal seorang
pedagang yang membuat daerah Little India untuk para pekerjanya yang berasal
dari India. No wonder kalau Little India sangat mirip dengan India aslinya.
Lucunya, trip ini juga mengunjungi pasar. Iya, pasar
tradisional. Ketika bule-bule terkagum-kagum takjub pas masuk pasar padahal di
sana jualan ikan, ayam, dan sayuran, aku mah udah biasa, ya. Enggak jauh beda
sama pasar di Indonesia.
Pagi yang panas dan pengap, ditambah udara yang humid karena
lagi mendung membuat perasaan jadi enggak nyaman. Entahlah, berbeda dengan
Kampong Glam, sejak dulu kurang suka area ini sehingga walking tour ini
ternyata enggak membuat perasaanku berubah.
But, nevermind. At least dapat pengalaman yang berbeda.
Di trip kali ini enggak berkesempatan ikut rute Chinatown. Maybe
next time, kalau balik lagi ke Singapura.
XOXO,
iif
0 Comments:
Post a Comment