-->
Nyasar di Telok Blangah demi foto yang Instagramable |
Satu kata untuk trip ke Singapura kali ini: spontan.
Enggak ada itinerary yang jelas saat memutuskan untuk
keliling Singapore, sehingga semuanya diputuskan spontan begitu saja di pagi
hari. Dan, untuk pertama kalinya, mengunjungi daerah yang selama ini entah
kenapa enggak pernah dilirik, padahal menarik juga di sini.
Selesai ikut walking tour keliling Kampong Glam, selanjutnya
memutuskan untuk main ke Telok Blangah. Kurang random apa coba jalan-jalan ke
daerah nun jauh di sana itu.
Semua karena foto menarik di Instagram-nya @amrazing. Ketika
itu, gue bilang ke Lescha kalau mau foto di hamparan bougenville kayak Alex. Enggak
ada informasi lengkap soal keberadaan tempat itu, hanya beberapa petunjuk di
kolom komentar yang menyebut dua informasi: 1) Telok Blangah Hill Park, dan 2)
arah-arah Henderson Waves gitu, deh.
Berbekal informasi yang seadanya, jadilah menuju Telok Blangah.
Sehabis makan siang, gue dan Lescha mengambil bus menuju
Telok Blangah. Beruntung Singapura sistem transportasinya sangat gampang,
sehingga tinggal buka Google Maps aja, ke mana-mana aman, deh. Walaupun Telok
Blangah tempatnya nun jauh di sana, setidaknya ada bis yang mudah dicari meski
harus transit satu kali di Chinatown.
Out of topic, kalau di Singapore, kamu lebih suka naik MRT
atau bus? For me personally, sih, bus, ya. MRT lumayan capek naik turun tangga,
he-he. Selain itu, kalaiu naik bus bisa melihat pemandangan, apalagi kalau naik
bus tingkat. Duduk di atas paling depan dengan pemandangan tanpa batas adalah
koentji.
Back to Telok Blangah.
Waktu sampai, langsung menuju Telok Blangah Hill Park yang
ternyata cocok disebut hiking. Sama sekali enggak ada persiapan, jadi lumayan
ngos-ngosan. Apalagi Lescha, yang lagi kurang fit, he-he. Kalau gue, sih, ya
Ijen aja sanggup, masa gini doang enggak? He-he.
Jumawa as it finest.
Masalahnya, lagi gerimis, sehingga udara terasa pekat dan
jadinya semakin ngos-ngosan. Beruntung akhirnya kita sampai di plaza sebelum
kehabisan oksigen.
Namun, justru di sini masalah sebenarnya. Berdasarkan informasi
ala kadarnya di kolom komentar Alex, kami pun menuju ke arah Henderson Waves
yang ditunjuk oleh panah. Namun, tak ada apa-apa di sana. Mana sepi lagi, cuma
ada kami berdua doang. Sementara keberadaan si bougenville itu belum jelas di
mana hilalnya.
Tak dinyana, jalan yang tadi ditempuh ternyata jalur
melingkar yang kembali membawa kami ke … plaza. Dan, masih belum menemukan
keberadaan si bougenville. Yang bikin makin membingungkan, ketika maps di foto
diklik, arahnya malah menunjukkan yang sebaliknya.
Mana langit lagi kurang bersahabat, siap turun hujan kapan
saja.
Akhirnya, kami pun memutuskan untuk menuju arah sebaliknya
dari Henderson Waves dengan ketetapan hati, kalau enggak ketemu, kita pulang
aja.
Memang, ya, dasar dua orang enggak ada kerjaan,
hujan-hujanan pun tetap mencari itu si bougenville.
Ternyata keberuntungan masih berpihak pada kami. Tidak jauh
dari plaza, di sisi sebelah kanan, ada jalan setapak kecil. Dari jalan utama,
samar-samar melihat ungu-ungu. Dengan keyakinan yang mendadak muncul, kami pun
menapaki jalanan setapak itu dan begitu sampai di ujung, terhamparlah taman
bougenville yang tadi dicari-cari.
Kalau ada yang berminat mau ke sini, begitu sampai di Telok
Blangah Hill Park, langsung aja ikuti arah panah menuju Terrace Garden. Sebenarnya
kalau sebelumnya googling dulu, enggak bakal nyasar, sih, he-he. Namun, di
sinilah seninya, ya enggak?
Terrace Garden ini salah satu lokasi wedding favorit di
Singapura. Tempatnya berundak-undak dan dipenuhi bunga bougenville, dengan
latar gedung pencakar langit di belakang. Bakalan syahdu sih nikah pas sunset
di sini. Sayang, saat itu lagi mendung.
Walau awan hitam menggantung, itu tidak menyurutkan niat
kami untuk berfoto-foto. Dasar keduanya ambisius, itu taman serasa milik
sendiri. Kebetulan lagi kosong, karena sepertinya hanya kita berdua yang mau
hujan-hujanan ke sana.
Setidaknya, dapatlah ya foto kece yang Instagramable di
sini.
Mayan deg-degan ini naik biar bisa duduk di sini, he-he. |
Pakai foto lescha aja karena lupa foto di spot ini, he-he. |
Puas foto-foto, hujan akhirnya turun. Kami pun bergegas
turun dan berteduh di gazebo. Hujannya lumayan awet, dan dua makhluk ini pun
malah curhat-curhatan soal kerjaan di sini. Gila, ya, mesti jauh-jauh ke
Singapura dulu buat curhat.
Masalah nyasar belum berhenti sampai di situ. Ketika mencari
jalan pulang, maps menunjukkan kita harus ke halte ((lupa namanya)), dan
di tengah hujan kita pun menempuh perjalanan turun menuju halte itu. Namun,
mungkin itu halte hantu karena keberadaannya enggak ditemukan. Maps menunjukkan
ke arah kanan, dan sejauh mata memandang, di sisi kanan enggak ada trotoar. Enggak
lucu, kan, kejebak di tempat nun jauh di sana ini?
Akhirnya kami memutuskan untuk menuju ke arah kiri dengan
asumsi melihat jembatan penyebrangan. Pasti ada halte di bawah jembatan
penyebrangan. Beneran ada, sih, tapi bukan halte yang dimaksud di maps. Namun,
setidaknya kami bisa menaiki bis yang akan membawa ke daerah yang lebih
familiar. Akhirnya kami berhenti di Vivo City, setidaknya dari sini sudah tahu
jalan pulang, he-he.
Sejak dulu, selalu kepengin ke Books Actually. Simple, sih,
cuma pengin beli buku di vending machine. Namun, setiap kali ke Singapura,
belum kesampaian mau ke sana.
Akhirnya, di trip kali ini, saking gabut dan enggak ada
tujuannya, bisa juga ke Books Actually. Beruntung Lescha flight malam, dan
rumah temannya enggak begitu jauh dari Tiong Bahru sehingga siang menuju sore
ini kami pun menjelajah Tiong Bahru.
Turns out, Tiong Bahru menyenangkan. Tempatnya chill, dengan
banyak tempat makan dan café-café lucu di tengah pemukiman penduduk. Ya, chill
kayak Bandung gitu. Jadi menyesal belum pernah nongkrong di sini. Lescha pun
heran, kenapa anak-anak muda Singapura lebih suka nongkrong di Orchard yang
penuh hiruk pikuk sementara Tiong Bahru lebih chill.
First thing first, mari mengisi perut sambil santai nungguin
Lescha di café. Setelah jalan kaki mengelilingi area ini, pilihanku jatuh ke Flock
Café. Lumayan bisa ngadem setelah pagi itu dipanggang matahari di Little India.
Next, mari menuju tujuan sebenarnya: Books Actually. Toko buku
indie yang sangat famous di kalangan pecinta buku. Saranku sih, kalau ke sini
mending beli buku yang mereka terbitkan sendiri karena cuma ada di sana.
Memang, sih, harap-harap cemas memilihnya. Namun, kalau ketemu harta karun,
bakalan senang banget.
Buku yang ada di vending machine ini dijual satu harga
semua, cuma 10 dolar. Bukunya misterius karena dibungkus. Kita enggak tahu
bakal dapat buku apa. Jadi, jangan lupa berdoa dulu.
Beruntung gue dapetin buku yang beda dengan buku yang gue
beli di dalam.
Melihat Books Actually, jadi kepikiran impian lama, yaitu
pengin punya toko buku kecil seperti itu. Di bagian belakang ada ruang
pertemuan kecil. Waktu itu lagi ada poetry reading dan kita bisa ikut dengerin.
Seru banget.
Enggak jauh dari Books Actually, ada toko buku kecil lainnya
yang enggak kalah lucu. Namanya Books in the Woods. Gemas banget, parah. Ternyata
mereka khusus menjual buku anak-anak dan tweens, makanya super gemas kayak
gitu. Sayang, bagian dalamnya enggak boleh difoto. Namun, worth banget ke sini
kalau ke Singapura.
Ya, memang, sih, secara gue suka banget toko buku dan
favorit gue memang section buku anak-anak. Books in the Woods pun sukses jadi
penemuan terbaik di Singapore Trip kali ini.
Nah, mumpung sudah di Tiong Bahru, ya sekalian aja nyari
mural. Banyak mural lucu di sini. Tinggal Googling aja Tiong Bahru Mural Maps,
nanti bakal lihat ada peta di mana aja mural itu. Sebagian enggak ketemu, sih. Entah
karena muralnya udah enggak ada atau kami yang terlalu lelah mencari.
Nongkrong sore bareng bapak-bapak sambil main burung |
Namun, mural di sini super gemas. Enggak heran kalau banyak
yang foto-foto di area ini.
![]() |
Kalau dilihat dari peta ini ada banyak mural, cuma enggak ketemu semuanya. |
Puas foto-foto, akhirnya memutuskan untuk pulang. Lescha harus
mengejar flight malam, dan gue juga ada janji lain sama teman malam nanti. Suatu
hari nanti, mari kita chilling out di Tiong Bahru.
XOXO,
Iif