Catatan Perjalanan Dieng #1: Hawa Dingin Menggigit dan Aroma Belerang di Kawah Sikidang

9 comments

Ekspresi lega karena bisa liburan

Sebagai salah satu daerah wisata andalan Indonesia, pesona Dieng sudah lama menyentuh keinginan saya. Namun sayangnya, itu hanya sebatas keinginan. Selain dua masalah klise yang seringkali menghambat traveling—uang dan waktu—saya juga dibuat ragu oleh hawa Dieng yang terkenal sangat dingin. Sebagai seseorang yang alergi dingin dan sangat norak pas dingin, mengunjungi daerah dengan suhu tidak masuk akal tentunya bukan pilihan yang tepat.
Adalah suatu hari di bulan Agustus, ketika saya sedang bekerja dan dihadapkan pada artikel berisi foto-foto Dieng di saat titik beku. Embun yang membeku menjadi es di atas dedaunan, itu sangat cantik.
Seakan berjodoh, salah satu influencer yang saya follow merekomendasikan sebuah tur yang membuka open trip. Dengan harga yang murah, hanya membutuhkan waktu di akhir pekan saja, kenapa tidak mencoba untuk ke Dieng? Toh, perkara dingin bisa diatasi dengan mengonsumsi obat sebelum berangkat?

Maggie, Lembayung, Zolla, Me. Jangan tanyakan kenapa posenya begitu, mungkin sedang belajar buat fotosyut.


Akhirnya, di tanggal 21 September kemarin, saya pun berangkat ke Dieng bersama Maggie, Zola, dan Lembayung.

Perjalanan belasan jam yang bikin pegel



Untuk perjalanan kali ini, saya mengikuti open trip. Karena itu, ada banyak rombongan yang ikut dalam trip ini. Perjalanan dimulai di Jumat malam menggunakan bis dengan perkiraan pagi menjelang siang sudah sampai di Dieng. Namun ternyata ada macet akibat perbaikan jalan sehingga jadwal pun molor dari yang diperkirakan.
Ini pertama kalinya saya naik bis jauh menuju Jawa. Kalau Sumatra, sih, enggak usah ditanya, he-he. Tentunya, perjalanan panjang dengan bis di malam hari tidak lengkap tanpa segelas teh manis hangat di tempat peristirahatan sementara dan Pop Mie yang aromanya menyeruak di dalam bis.
Terlepas dari tubuh pegal dan pantat tepos karena duduk lama dan bergerak ke sana ke mari mencari posisi nyaman untuk tidur, saya cukup menikmati perjalanan panjang ini. Pun ketika sudah keluar tol, jalanan lurus dengan sawah-sawah, rumah penduduk, pasar, warung-warung, dan kesederhanaan yang tersedia di kiri kanan membuat saya serasa masuk ke dunia berbeda.
“Kayaknya cuma Jakarta aja, yah, yang beda. Even Bandung pun kayak gini, enggak sesak kayak Jakarta. Sederhana. Di sini ngingetin sama kampung gue,” kata saya pagi itu kepada Zola.
Yup, jalanan lurus dengan pemukiman dan warga yang memulai kesibukan di pagi itu mengingatkan saya pada perjalanan dengan bis sedang antar kota dalam provinsi di Sumatra Barat.
Ada satu masa saya tiba-tiba terbayang tengah di perjalanan menuju Lubuk Basung menemani mama menghadiri pesta pernikahan. Lalu, beralih ke masa saya kecil ketika berada di bis berdua dengan papa menuju Duri.
Sepanjang perjalanan, efek nostalgia itu begitu terasa.

Selamat datang di Dieng yang dingin




“Kok, bisa, sih, kena alergi dingin? Bukannya kampungmu dingin?”
Yez, saya sering mendapat pertanyaan bernada heran dari orang-orang perkara alergi dingin yang saya rasakan. Delapan belas tahun tinggal di Bukittinggi yang super dingin membuat tubuh saya beradaptasi dan alergi itu pun terpendam entah di mana. Namun, alergi itu akhirnya ketahuan ketika saya pindah ke Jakarta dan terbiasa dengan daerah panas, sehingga ketika kembali ke Bukittinggi, langsung muncul bentol merah di sekujur tubuh.
Meskipun sudah dibekali dengan obat, saat di Dieng bentol itu tetap muncul satu dua, meski tidak mengganggu.
Begitu menginjakkan kaki turun dari bis, rasa dingin itu langsung menyerbu. Sisi positifnya, kapan lagi bisa gaya dengan jaket andalan ini, kan?

Kapan lagi bisa pakai coat ini? Hitung-hitung belajar dinginnya Middle Earth
“Persiapan dingin Middle Earth, ya?” komentar salah satu teman saya.
Iyezzz…. Tentu saja. Demi Middle Earth, kurela berlatih melawan dingin, he-he.

Kawah Sikidang yang cantik meski bau
Ya, hujan. Cakep, ya?
Sudahlah dingin, ditambah hujan, bisa kebayang betapa menggigilnya saat itu?
Beruntung hujannya tidak lama sehingga sisa hari itu bisa diisi dengan mengunjungi lokasi wisata. Tujuan pertama adalah Kawah Sikidang.
Menurut penjelasan guide, Sikidang berasal dari kata Si dan Kijang. Artinya, kawah ini seperti Kijang, lompat-lompat dan berpindah tempat. Salahkan daya imajinasi saya yang kadang suka kelewatan, sehingga benar-benar memikirkan bagaimana kawah itu melompat?

Kawah berasap dengan aroma belerang nan aduhai

Karena kawah ini masih aktif, sehingga aroma belerang sangat terasa. Berada di sini tidak boleh lama-lama, cukup 45 menit saja karena bisa membahayakan kesehatan.
Terlepas dari itu, saya rasa orang-orang juga bakal semaput, sih, mencium bau belerang yang aduhai ini dalam waktu lama.
Beberapa hari sebelum berangkat, saya mengikuti perbincangan di Instagram mbak Maryssa @poeticpicture soal wisata selfie, yaitu menjamurnya spot selfie berupa tulisan, love-love-an gaje, dan atraksi yang kadang enggak nyambung dengan tempat wisata. Niatnya mempercantik, tapi sayangnya spot selfie ini malah mengganggu.
“Alam itu sudah cantik, seharusnya dia dibiarkan begitu saja,” kata mbak Maryssa.

Panda dan Gorila di atas gunung, kusudah tak mengerti lagi maksudnya apa. Cantik kagak, ganggu iya!

Ketika berada di Kawah Sikidang, saya semakin menyetujui concern mbak Maryssa. Tulisan di mana-mana, icon love entah apalah, bahkan ornamen gorilla yang enggak nyambung sama Kawah Sikidang ada di mana-mana. Sejujurnya, spot selfie itu memang merusak.
Karena pada dasarnya, alam itu sudah cantik tanpa perlu sentuhan apa-apa.

Alam itu sudah cantik apa adanya

Tapi… maafkanku menelan ludah sendiri, karena entah kenapa sofa tua buluk kotor yang enggak ada hubungannya dengan kawah ini malah menarik mataku, he-he.

Kutak mengerti apa maksud kehadiran sofa tua buluk kotor ini, tapi sempat terenyuh melihatnya. A lil bit romantic, isn't it? Jangan tanya maksudnya, he-he.


Candi Arjuna di kala gelap


Candi Arjuna di kala gelap

Selepas dari Kawah Sikidang, perjalanan dilanjutkan ke Candi Arjuna. Rombongan kami sampai di sana bertepatan dengan adzan Maghrib. Di perjalanan dari parkiran menuju lokasi candi, saya takjub dengan bulan besar dan terang benderang yang perlahan mulai muncul.
Sebagai seseorang yang jarang menyaksikan bulan pertama muncul, pengalaman itu terasa begitu magis.

Bulan dan langit senja menyatu membentuk lukisan yang sangat cantik.

Jika ada yang disayangkan, itu adalah mengunjungi Candi Arjuna saat malam. Sehingga, kurang bisa memerhatikan detail di candi karena keterbatasan cahaya. Saya pun tidak lama-lama berada di sana dan memutuskan untuk keluar duluan karena…

Lapar, he-he.

Oh, untung ada kentang dengan bumbu micin yang menggugah selera. Sebagai penghasil kentang, tentu saja bisa dengan mudah menemukan kentang di sini. Dan… kentangnya manis. Enak. Ditambah bumbu micin jadi makin enak, he-he.

Selanjutnya, perjalanan malam ini ditutup dengan semangkuk Mie Ongklok. Plus, persiapan untuk ke Bukit Sikunir keesokan harinya.

Cerita di Bukit Sikunir dan Batu Ratapan Angin menyusul di postingan kedua.

Ciao…
XOXO, iif

SHARE:
9 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig