![]() |
Ekspresi lega karena bisa liburan |
Sebagai salah
satu daerah wisata andalan Indonesia, pesona Dieng sudah lama menyentuh
keinginan saya. Namun sayangnya, itu hanya sebatas keinginan. Selain dua
masalah klise yang seringkali menghambat traveling—uang
dan waktu—saya juga dibuat ragu oleh hawa Dieng yang terkenal sangat dingin. Sebagai
seseorang yang alergi dingin dan sangat norak pas dingin, mengunjungi daerah
dengan suhu tidak masuk akal tentunya bukan pilihan yang tepat.
Adalah suatu
hari di bulan Agustus, ketika saya sedang bekerja dan dihadapkan pada artikel
berisi foto-foto Dieng di saat titik beku. Embun yang membeku menjadi es di
atas dedaunan, itu sangat cantik.
Seakan berjodoh,
salah satu influencer yang saya follow merekomendasikan sebuah tur yang
membuka open trip. Dengan harga yang
murah, hanya membutuhkan waktu di akhir pekan saja, kenapa tidak mencoba untuk
ke Dieng? Toh, perkara dingin bisa diatasi dengan mengonsumsi obat sebelum
berangkat?
Maggie, Lembayung, Zolla, Me. Jangan tanyakan kenapa posenya begitu, mungkin sedang belajar buat fotosyut. |
Akhirnya, di
tanggal 21 September kemarin, saya pun berangkat ke Dieng bersama Maggie, Zola,
dan Lembayung.
Perjalanan belasan jam yang bikin pegel
Untuk perjalanan
kali ini, saya mengikuti open trip. Karena
itu, ada banyak rombongan yang ikut dalam trip
ini. Perjalanan dimulai di Jumat malam menggunakan bis dengan perkiraan pagi
menjelang siang sudah sampai di Dieng. Namun ternyata ada macet akibat perbaikan
jalan sehingga jadwal pun molor dari yang diperkirakan.
Ini pertama
kalinya saya naik bis jauh menuju Jawa. Kalau Sumatra, sih, enggak usah
ditanya, he-he. Tentunya, perjalanan panjang dengan bis di malam hari tidak
lengkap tanpa segelas teh manis hangat di tempat peristirahatan sementara dan
Pop Mie yang aromanya menyeruak di dalam bis.
Terlepas dari
tubuh pegal dan pantat tepos karena duduk lama dan bergerak ke sana ke mari
mencari posisi nyaman untuk tidur, saya cukup menikmati perjalanan panjang ini.
Pun ketika sudah keluar tol, jalanan lurus dengan sawah-sawah, rumah penduduk,
pasar, warung-warung, dan kesederhanaan yang tersedia di kiri kanan membuat
saya serasa masuk ke dunia berbeda.
“Kayaknya cuma
Jakarta aja, yah, yang beda. Even Bandung pun kayak gini, enggak sesak kayak
Jakarta. Sederhana. Di sini ngingetin sama kampung gue,” kata saya pagi itu
kepada Zola.
Yup, jalanan lurus dengan pemukiman dan
warga yang memulai kesibukan di pagi itu mengingatkan saya pada perjalanan
dengan bis sedang antar kota dalam provinsi di Sumatra Barat.
Ada satu masa
saya tiba-tiba terbayang tengah di perjalanan menuju Lubuk Basung menemani mama
menghadiri pesta pernikahan. Lalu, beralih ke masa saya kecil ketika berada di
bis berdua dengan papa menuju Duri.
Sepanjang perjalanan,
efek nostalgia itu begitu terasa.
Selamat datang di Dieng yang dingin
“Kok, bisa, sih, kena alergi dingin? Bukannya kampungmu dingin?”
Yez, saya sering mendapat pertanyaan
bernada heran dari orang-orang perkara alergi dingin yang saya rasakan. Delapan
belas tahun tinggal di Bukittinggi yang super dingin membuat tubuh saya
beradaptasi dan alergi itu pun terpendam entah di mana. Namun, alergi itu akhirnya
ketahuan ketika saya pindah ke Jakarta dan terbiasa dengan daerah panas,
sehingga ketika kembali ke Bukittinggi, langsung muncul bentol merah di sekujur
tubuh.
Meskipun sudah
dibekali dengan obat, saat di Dieng bentol itu tetap muncul satu dua, meski
tidak mengganggu.
Begitu menginjakkan
kaki turun dari bis, rasa dingin itu langsung menyerbu. Sisi positifnya, kapan
lagi bisa gaya dengan jaket andalan ini, kan?
“Persiapan
dingin Middle Earth, ya?” komentar salah satu teman saya.
Iyezzz…. Tentu saja. Demi Middle Earth,
kurela berlatih melawan dingin, he-he.
Kawah Sikidang yang cantik meski bau
Ya, hujan. Cakep,
ya?
Sudahlah dingin,
ditambah hujan, bisa kebayang betapa menggigilnya saat itu?
Beruntung hujannya
tidak lama sehingga sisa hari itu bisa diisi dengan mengunjungi lokasi wisata. Tujuan
pertama adalah Kawah Sikidang.
Menurut penjelasan
guide, Sikidang berasal dari kata Si
dan Kijang. Artinya, kawah ini seperti Kijang, lompat-lompat dan berpindah
tempat. Salahkan daya imajinasi saya yang kadang suka kelewatan, sehingga
benar-benar memikirkan bagaimana kawah itu melompat?
Karena kawah
ini masih aktif, sehingga aroma belerang sangat terasa. Berada di sini tidak
boleh lama-lama, cukup 45 menit saja karena bisa membahayakan kesehatan.
Terlepas dari
itu, saya rasa orang-orang juga bakal semaput, sih, mencium bau belerang yang
aduhai ini dalam waktu lama.
Beberapa hari
sebelum berangkat, saya mengikuti perbincangan di Instagram mbak Maryssa
@poeticpicture soal wisata selfie,
yaitu menjamurnya spot selfie berupa
tulisan, love-love-an gaje, dan atraksi yang kadang enggak nyambung dengan
tempat wisata. Niatnya mempercantik, tapi sayangnya spot selfie ini malah mengganggu.
“Alam itu
sudah cantik, seharusnya dia dibiarkan begitu saja,” kata mbak Maryssa.
Ketika berada
di Kawah Sikidang, saya semakin menyetujui concern
mbak Maryssa. Tulisan di mana-mana, icon
love entah apalah, bahkan ornamen gorilla yang enggak nyambung sama Kawah
Sikidang ada di mana-mana. Sejujurnya, spot
selfie itu memang merusak.
Karena pada
dasarnya, alam itu sudah cantik tanpa perlu sentuhan apa-apa.
Tapi…
maafkanku menelan ludah sendiri, karena entah kenapa sofa tua buluk kotor yang
enggak ada hubungannya dengan kawah ini malah menarik mataku, he-he.
![]() |
Kutak mengerti apa maksud kehadiran sofa tua buluk kotor ini, tapi sempat terenyuh melihatnya. A lil bit romantic, isn't it? Jangan tanya maksudnya, he-he. |
Hal random
lainnya, entah kenapa saat berada di Kawah Sikidang mengingatkan saya pada Innisfree
dan Jeju Volcanic andalannya. Jangan tanyakan alasannya, he-he.
Selepas dari
Kawah Sikidang, perjalanan dilanjutkan ke Candi Arjuna. Rombongan kami sampai
di sana bertepatan dengan adzan Maghrib. Di perjalanan dari parkiran menuju
lokasi candi, saya takjub dengan bulan besar dan terang benderang yang perlahan
mulai muncul.
Sebagai seseorang
yang jarang menyaksikan bulan pertama muncul, pengalaman itu terasa begitu
magis.
Jika ada yang
disayangkan, itu adalah mengunjungi Candi Arjuna saat malam. Sehingga, kurang
bisa memerhatikan detail di candi karena keterbatasan cahaya. Saya pun tidak
lama-lama berada di sana dan memutuskan untuk keluar duluan karena…
Lapar, he-he.
Oh, untung ada
kentang dengan bumbu micin yang menggugah selera. Sebagai penghasil kentang,
tentu saja bisa dengan mudah menemukan kentang di sini. Dan… kentangnya manis. Enak.
Ditambah bumbu micin jadi makin enak, he-he.
Selanjutnya,
perjalanan malam ini ditutup dengan semangkuk Mie Ongklok. Plus, persiapan untuk ke Bukit Sikunir keesokan harinya.
Cerita di
Bukit Sikunir dan Batu Ratapan Angin menyusul di postingan kedua.
Ciao…
XOXO, iif
tulisan yang luar biasa bisa membuat aku yang cuma baca seakan bisa merasakannya....
ReplyDeleteمن اخطر الاشياء التى توجها ربات المنازل هى الحشرات
ReplyDeleteلاكن من شركة دهب كلين لاتعانى من اى حشرات
شركة مكافحة حشرات بالاحساء
داخل المنزل لان يديها اباده فوريه وبدون مغادرة المنزل اتص
perde modelleri
ReplyDeletesms onay
Turkcell mobil ödeme bozdurma
nft nasıl alınır
ankara evden eve nakliyat
trafik sigortasi
DEDEKTÖR
web sitesi kurma
Aşk kitapları
pendik toshiba klima servisi
ReplyDeletetuzla lg klima servisi
tuzla alarko carrier klima servisi
tuzla daikin klima servisi
çekmeköy toshiba klima servisi
ataşehir toshiba klima servisi
çekmeköy beko klima servisi
ataşehir beko klima servisi
kartal toshiba klima servisi
Good content. You write beautiful things.
ReplyDeletevbet
hacklink
sportsbet
hacklink
sportsbet
korsan taksi
mrbahis
vbet
taksi
kadıköy
ReplyDeleteserdivan
çatalca
tunceli
fethiye
KMO2AB
güngören
ReplyDeleteeskişehir
esenyurt
trabzon
kadıköy
NE8KXG
niğde
ReplyDeleteedirne
giresun
şırnak
mersin
QZOY08
salt likit
ReplyDeletesalt likit
dr mood likit
big boss likit
dl likit
dark likit
WFK1