Bersama teman-teman, termasuk teman baru bertemu di trip ini. |
Tubuh lelah
dan cuaca super dingin tentunya sebuah perpaduan sempurna untuk
bermalas-malasan di atas Kasur. Namun pagi itu, sekitar jam 2 malam, suasana homestay tempat kami menginap sudah
heboh sehingga akhirnya ikut terbangun.
Yup, menurut rencana, pagi ini adalah
jadwalnya mendaki Bukit Sikunir. Oleh karena itu, kami harus berangkat
pagi-pagi sekali. Sebagai anak malam yang sehari-harinya jam dua itu baru mau
akan tidur, bangun jam segitu tentunya menjadi tantangan tersendiri. Ditambah dengan
cuaca dingin menggigit, butuh usaha keras sampai akhirnya mau menginjakkan kaki
keluar rumah.
Lagipula, masa
iya jauh-jauh ke Dieng cuma buat tidur?
Bukit Sikunir yang cukup menantang bagi si
pemula
![]() |
Pemandangan dari atas. Cantik! |
Bukittinggi,
kota tempat saya lahir dan tumbuh dijuluki Tri Arga alias tiga gunung karena
kota itu dikelilingi oleh tiga buah gunung. Tidak mengherankan jika banyak
akhirnya yang menjadi anak gunung. Menghabiskan malam 17 Agustus di Gunung
Marapi atau Gunung Singgalang seakan sudah jadi hal biasa bagi warga sana.
Namun, hal
tersebut tidak menjadikan saya sebagai anak gunung. Ketika SMA, salah satu
tugas olahraga adalah hiking ke Puncak Lawang. Saya dan teman-teman hanya jalan
kaki dari sekolah, Ngarai Sianok, dan sampai di bawah Puncak Lawang. Sisanya? Naik
mobil, he-he.
Begitulah kisah
saya dan gunung yang nol besar.
Di dalam hati
sebenarnya ada keinginan untuk naik gunung. Penasaran aja, seindah apa
pemandangan di atas sana? Namun niat itu kian menjauh setelah saya tahu saya
tidak tahan dingin.
Pada akhirnya,
Bukit Sikunir menjadi pengalaman pertama saya. Orang lain mungkin akan meledek
dan berkata cemen, tapi bagi saya ini sebuah pembuktian diri. Sekaligus mengecek
satu lagi bucketlist berisi hal yang
harus saya lakukan selagi bisa.
“Kenapa enggak
ke Prau?”
“Ya, Sikunir
aja dulu. Enggak usah ambisius.”
Hal pertama yang saya lakukan begitu sampai di atas adalah patting my own shoulder. You did a great job! |
Sejujurnya,
saya sangat deg-degan, bisa enggak, ya? Di tengah perjalanan, Angga, guide kami, berkata untuk sampai di pos
satu aja. Toh di sana pemandangan sunrise
juga sudah bagus, kok. Beberapa anggota rombongan berhenti di pos satu.
“Gue lanjut,
mbak.” Ucapan Zolla membuat saya memikirkan ulang keputusan untuk berhenti di
pos satu.
Pada akhirnya,
saya lanjut ke pos dua.
![]() |
Sunrise dan mereka yang mengejar sunrise. |
Perjalanan menuju
pos satu bagus, sih. Bebatuan tangga, tapi justru malah bikin capek. Ditambah udara
yang makin dingin, membuat saya semakin ngos-ngosan. Dingin, tapi juga gerah
karena mendaki, sehingga jadi serba salah mau buka jaket atau enggak.
Sementara menuju
pos dua medannya berubah. Jalanan tanah menanjak dan lebih sempit. Lebih menantang,
pastinya. Namun, saya justru lebih enjoy
di perjalanan menuju pos dua ini ketimbang sebelumnya.
Menjelang
puncak, ada kejadian lucu. Saya tengah berpegangan ke tali yang dibentangkan di
jalanan sebagai bantuan. Di ujung tali, saya memegang sesuatu yang saya pikir
batu tempat tali itu diikat. Saat itu masih gelap, dan saya hanya melihat
sebuah bongkahan. Tapi, bongkahan itu bersuara.
Ternyata, itu
bukan batu saudara-saudara, melainkan kepala orang yang sedang duduk beristirahat
dan dia menutupi kepalanya dengan sarung.
Ya, maaf. Enggak
kelihatan, he-he.
Di puncak,
harus menunggu beberapa menit menjelang matahari muncul. Sebagai seseorang yang
sehari-harinya hanya bertemu matahari tinggi di tengah hari bolong, saya lupa
kapan terakhir kali melihat sunrise. Hmm…
sepertinya waktu liburan ke Yogya Agustus tahun lalu, he-he.
Something magical! |
Momen matahari
terbit itu memang magical. Matahari terbit
bukan hanya sekadar dimulainya hari baru, tapi juga saatnya meraih target baru
dan ini saat yang tepat untuk berbahagia karena harapan baru sudah muncul.
Saya mungkin
sudah menangis terharu di Bukit Sikunir pagi itu, tapi urung karena melihat
pasangan dengan gamis dan jas sedang foto prewedding
sekitar beberapa puluh meter dari tempat saya menyaksikan sunrise. Are you kidding me? Boleh aja, sih, tapi mbok ya jangan weekend juga gitu. Kan, malah julid
jadinya, he-he.
Menghabiskan pagi di Bukit Sikunir sukses menjadi salah satu momen menakjubkan yang saya rasakan.
Selanjutnya,
perjalanan menuju Batu Ratapan Angin. Katanya, sih, enggak seberat Sikunir. Mungkin,
akumulasi lelah ke Sikunir dan kurang tidur sehingga menuju Batu Ratapan Angin
ini terasa jauh lebih berat. Ditambah tangga semua, jadi rasanya ingin menyerah
saja.
Untung kusudah
terlatih untuk pantang menyerah bersama D’Masiv sehingga tetap memaksakan diri
untuk melanjutkan perjalanan.
Begitu sampai
di Batu Ratapan Angin, rasanya ingin meratap. Ada dua alasan, pertama karena
perjalanan ke sana bikin lelah, dan kedua karena pemandangan yang sangat
cantik. Saking cantiknya kuingin menangis.
Untung saja di
Telaga Warna enggak ada love-lovean atau gorila entah apa nangkring di sana. Masih
alami, sangat cantik.
Cuma ada
ayunan ini yang masih bisa nyambunglah ya sama keadaan alam. Namun… kenapa di
ayunan seperti ini saja kusudah merasa gamang???
![]() |
Si gampang gamang. Yang lain bisa foto tsantik di sini, kita mah malah ketakutan, he-he. |
Menelusuri jejak sejarah Dieng
Sayang sekali
saya tidak bertemu anak gimbal saat ke Dieng. Mungkin tahun depan harus kembali
lagi.
Perjalanan siang
itu ditutup dengan menonton film dokumenter tentang Dieng. Kesan pertama,
filmnya jadul banget ya. Serasa nonton Kelompencapir di TVRI dulu, he-he. Namun,
berada di dalam teater setelah memforsir tenaga sepanjang pagi membuat mata
susah banget untuk dibuka.
Kantuk seketika
langsung hilang begitu terdengar bunyi ledakan di film. Yup, itu letusan kawah Sinila tahun 1979, ketika warga berusaha
menyelamatkan diri saat gempa tapi malah menyongsong maut akibat racun CO2 dana
kibatnya ratusan orang meninggal di jalanan. Dokumentasi itu cukup membuat saya
ternganga. Setelahnya, saya bertanya pada guide
lokal kami apakah memungkinkan untuk mengunjungi makam warga yang tewas di tragedi
tersebut?
Sepertinya
saya akan lebih menyukai wisata sejarah ketimbang naik gunung.
Perjalanan ini
mengajarkan saya bahwa alam itu cantik dan tugas utama kita adalah untuk
menjaganya. Tidak perlu ada love-lovean atau papan selfie bertuliskan nama tempat. Karena apa yang sudah disediakan
oleh alam itu enggak ada tandingannya, sih.
Kedua,
ternyata saya bukan anak gunung meski tidak bisa memungkiri kalau pemandangan
di atas sana memang sangat magical. Untuk
mencoba, ini tentu jadi pengalaman yang mengesankan.
Ketiga, begitu
sampai di Jakarta, kaki dan otak kembali terasa gatal. Ke mana kita setelah ini?
XOXO,
Iif
NB: Saya ikut open trip yang diadakan oleh
@vekesyentours. Sejauh ini, saya suka, mungkin akan repeat order (bahasanya haha)
lagi untuk destinasi berikutnya. Go check
their Instagram account and book your trip.
tulisan yang menyenangkan untuk di baca, aku baru tau tentang blog kakak, aku juga pengen bisa kayak kakak bisa nulis dengan bagus dan juga traveling....
ReplyDelete