[book review] Getting Over Garrett Delaney by Abby McDonald

1 comment
Getting Over Garrett Delaney
Abby McDonald


(Kovernya manis banget ya. Sukak)

Sejak pertama kali bertemu garrett Delaney dua tahun lalu, Sadie merasa kalau they meant to be. Mereka adalah pasangan yang sempurna, sesempurna Reth dan Scarlett, Elizabeth dan Darcy, Romeo dan Juliet, dan pasangan-pasangan lain yang terkenal di dunia literatur.
But now, it’s time to Garrett Delaney and Sadie Elizabeth Allen.
Selama dua tahun ini Sadie terus mengabaikan cewek-cewek yang dipacari Garrett, karena dia yakin, suatu saat nanti Garrett akan menyadari perasaannya dan betapa sempurnanya mereka berdua. Karena mereka memang sama satu sama lain. Suka membaca dan memiliki penulis favorit. Suka menonton film yang sama. Bahkan punya gaya tas yang sama. Semuanya sama.
Namun, ketika Sadie yakin Garrett mulai menyadari perasaannya, mereka harus terpisah. Garrett mengikuti kamp menulis dan Sadie aggal mengikuti kamp itu. Akhirnya dia bekerja jadi barista di kafe di kota kecil mereka, Totally Wired.
Ketika terpisah itu, Sadie mendapat kabar yang menyakitkan. Garrett jatuh cinta lagi. Kali ini sama cewek yang dia rasa mirip banget sama Sadie.
Mirip. Tapi bukan Sadie.
Saat itu Sadie merasa sudah seharusnya dia melupakan Garrett. Dibantu teman-temannya, dan 12 langkah dari self help book milik ibunya, Sadie berusaha untuk Getting Over Garrett Delaney.
First tought: I love this book. Say thanks to Mbak Yuska yang ngirimin ebook buku ini tanpa diminta. Kalau enggak bersih-bersih email, mungkin sampai sekarang enggak sadar kalau mbak Yuska ngirimin buku ini. Sejak pertama tahu, gue sudah suka sama premisnya yang lain daripada yang lain.
Kali ini, tentang cewek yang berusaha menghapus rasa sukanya dari cowok yang selama dua tahun ini jadi sahabat baiknya.
So far, ini buku friendzone terbaik yang pernah gue baca.
Gue suka Sadie. Kepolosan dan optimisnya, juga sisi romantis yang sekuat apapun disembunyikannya, selalu menonjol keluar. Gue suka gemes dengan Garrett yang enggak jelas dan enggak peka. Gue suka Totally Wired. LuAnn yang lucu, Aiko yang suka banget menggambar, Dominique yang dingin tapi baik, juga Josh yang goofy. Plus Kayla yang tipikal popular girl tapi ternyata enggak sedangkal pendapat Garrett selama ini. Kehadiran mereka saat membantu misi Getting Over ini lucu banget.
Soal Garrett, dia memang enggak sering muncul. Banyaknya dari cerita Sadie aja. Tapi dari sana gue sudah bisa memutuskan enggak akan suka sama dia. Gue setuju sama Kayla. He’s such a jerk. Cowok yang merasa paling mengerti seni dan sastra dan snobbish. Menganggap buku romance sampah yang dengan bangga menyebut diri mereka bagian dari literatur. Menganggap teenage movie itu cuma buang-buang waktu. Baginya, karya sastra terbaik itu cuma Dostoyevski dkk. Cih, tipikal snobbish yang kalau ketemu langsung di dunia nyata bakalan gue bejek-bejek saking enggak sukanya sama tipikal yang kayak gini.
About conflict. Memang, sih, ceritanya ditujukan untuk young adult, tapi permasalahan yang dihadirkan related ke semua umur. Ketika memutuskan untuk berhenti mencintai Garrett, Sadie sadar kalau selama dua tahun ini dia terpusat sama apa yang dipikirkan dan diputuskan Garrett. Dia berhenti abca buku romance karena menurut Garrett itu sampah. Enggak nonton teen movie karena bagi Garrett enggak pantas mereka yang ‘bernilai tinggi’ nonton film begituan. Enggak dandan karena bagi Garrett cewek dandan itu palsu dan shallow. Bahkan, membeli tas selempang yang sama dengan Garrett.
Sadie merasa dirinya selama ini seperti itu. Sama dengan Garrett. Tapi akhirnya dia menyadari kalau dia berusaha untuk selalu sama dengan Garrett. Karena dnegan begitu, mereka akan sangat sempurna sebagai pasangan.
Lalu ketika Sadie memutuskan untuk berhenti mengikuti ala Garrett, dia enggak tahu seperti apa dirinya yang sebenarnya. Insert all of her friends, yang siap membantu Sadie mencoba banyak hal baru dalam hidupnya sekaligus mencari tahu, siapa dia sebenarnya.
Ada satu pertanyaan yang menggelitik Sadie yang cocok banget buat direnungin. Bagaimana jika setelah ini dia jatuh cinta lagi lalu melakukan hal yang sama, berusaha untuk terlihat sama dengan cowok itu? Enggak bisakah kita tetap mencintai dan dicintai dengan menjadi diri sendiri?
Karena tanpa disadari, di dunia nyata, sedikit banyak selalu ada kompromi yang dilakukan untuk terlihat sama dengan orang yang kita cintai. Simply like, love his favorite music. Atau nongkrong di tempat dia biasa nongkrong. Kompromi yang tanpa sengaja dilakukan atas nama cinta. Bahkan, seringkali enggak disadari kalau kita sudah berkompromi.
Is it right or wrong?
I don’t know. Enggak bisa di-judge ini salah atau benar. Karena idealnya, setiap orang pasti pengin tetap jadi dirinya sendiri. Cuma kalau berkaca ke Sadie, dia, sih, udah kelewatan banget berubahnya. Gue rasa, selagi masih bisa ditolerir, enggak ada salahnya untuk kompromi.
Back to this book. I love the ending. Realistis. Ending yang gue harapkan sejak awal.
Setelah baca buku ini, gue tertarik untuk baca buku Abby McDonald yang lain karena dari judulnya lucu-lucu. Dan, gue rasa buku ini bisa dibaca semua umur, sekaligus berkaca juga, sudah sejauh mana kompromi yang kita lakukan selama ini demi orang yang dicintai?
Is it worthed or not?

So, I love Getting Over Garrett Delaney. Thank you Sadie Elizabeth Allen and Abby McDonald.
SHARE:
1 Comments

[Indonesia Romance Reading Challenge] #45 Swiss: Little Snow In Zurich by Alvi Syahrin

Leave a Comment
Swiss: Little Snow In Zurich
Alvi Syahrin



Setelah ibunya meninggal, Yasmine diajak pindah ke Swiss oleh ayahnya dan tinggal di sana. Yasmine punya satu tempat favorit, sebuah dermaga di pinggir danau Zurich. Dia biasa datang ke sana sepulang sekolah, sekadar untuk memotret atau melemparkan sandwich ke tengah danau untuk dimakan angsa. Di dermaga itu pulalah dia bertemu Rakel, anak laki-laki dengan senyum jail yang enggak pernah kehabisan bahan untuk menggoda Yasmine. Termasuk memotret Yasmine dengan zoom yang berlebihan.
Suatu ketika, Rakel yang pada dasarnya sudah iseng memutuskan untuk masuk ke kelas Yasmine, padahal mereka beda sekolah. Yasmine memperkenalkan Rakel kepada kedua sahabatnya di sekolah, Dylan dan Elena. Dylan dan Elena terlihat kaget waktu bertemu Rakel, tapi Rakel hanya bilang mereka teman lama. Yasmine enggak percaya dan yakin ada sesuatu di antara mereka.
Lalu, ketika Rakel mengajak Yasmine melakukan Agenda Musim Dingin, Dylan dan Elena merasa harus menyelamatkan Yasmine dari Rakel. Karena Rakel masih hidup di masa lalunya, masa lalu yang enggak diketahui Yasmine.
Alright.
Ini STPC Bukune pertama yang gue baca dan STPC ketiga secara keseluruhan *my bad*. Sejak awal, gue udah tertarik dengan novel ini karena setting yang enggak biasa, yaitu Swiss. Tapi gue sempat mundur karena belum kenal tulisan Alvi sebelumnya. Untunglah ketika hadiah menang lomba dari Bukune datang, gue dapat tiga STPC Bukune, salah satunya ini. Awal membaca, gue enggak menaroh ekspektasi apa-apa, hanya sekadar pengin senang-senang aja.
But I found this book is mooooooore interesting. Surprisingly, I love this book so much. Gue enggak tahu apa faktor utama yang membuat gue menyukai buku ini. Entah setting Swiss yang cantik banget, ceritanya yang remaja banget dengan konflik berlapis, atau cara Alvi membawakannya? Entahlah. Intinya adalah gue suka banget sama buku ini. Dan, bikin gue kangen belajar Bahasa Jerman lagi. Untung Bahasa Jerman yang diselipin di buku ini masih gue mengerti tanpa harus lihat terjemahan jadi enggak ada yang mengganggu keasyikan gue baca buku ini.
Gue pengin mengacungkan dua jempol atas riset luar biasa yang dilakukan Alvi. Juga kepiawaiannya menyelipkan detail lokasi tanpa membuat pembaca—khususnya gue—jadi kayak baca brosur wisata. Dan keputusan tepat membuat setting di musim dingin karena cerita yang sendu jadi semakin sendu dengan latar musim ini. Dan detail kecil terkait Swiss yang memperkaya cerita membuat cerita ini jadi makin hidup. Gue enggak tahu lagi harus berkomentar apa soal setting dan cerita. Two thumbs up.
Tokoh-tokohnya pun lovable. Gue memang jarang bisa suka sama cewek menye-menye dan lebih suka cewek nyablak yang terkesna kuat. But somehow, gue suka kepolosan yang ditampilkan Yasmine. Enggak gengges, Alhamdulillah, haha. Gue juga suka Rakel. Oh no, I have a crush on him, he-he-he. Gue suka Rakel yang dibalik sikap jail dan to the point-nya ternyata menyimpan masa lalu yang sedih. Elena dan Dylan pun gue suka. Dan, gue berharap Dylan akan menemukan cintanya yang sebenarnya. Plis Alvi, bikin dong side storytentang Dylan, he-he-he.
Gue suka gaya menulis Alvi. Jangan harap ada romantisme berlebihan di sini karena sepanjang buku yang ditulis Alvi adalah kisah keseharian yang sederhana, apa adanya, minus gombalan super romantis tapi justru terlihat sangat manis. Gue serasa baca buku terjemahan, which is, semakin memperkuat unsure luar negerinya. I like it.
Ada beberapa bagian yang membuat gue menangis, terutama surat Kelly.
Gue suka endingnya. Mungkin gue akan ilfil kalau ending Rakel dan Yasmine sempat bertemu karena itu akan terkesan mengada-ada. Untunglah enggak, ha-ha-ha.
Tapi, gue juga punya sedikit keluhan. Selain typo yang yaudahlah ya, di luar kuasa Alvi juga. Buku ini terlalu minim dialog. Gue kurang menikmati proses jatuh cinta Yasmine karena lebih banyak disampaikan lewat narasi. Gue berharap ada tambahan interaksi dan dialog antara Yasmine dan Rakel sehingga proses jatuh cintanya lebih terasa.
Tempo juga kurang terjaga dengan baik. Bagian awal terasa cepat banget lalu memelan di pertengahan dan akhir kembali cepat. Malah seperempat akhir ini tempo terasa sangat sangat sangat cepat. Untungnya sih masih bisa dinikmati.
Overall, gue suka buku ini. mungkin gue sedikit mempertimbangkan untuk baca Dilema, he-he-he. Good luck, Alvi (dan karena buku ini gue baru tahu kalau Alvi itu cowok. Kirain cewek, haha).
Dan, sepanjang membaca, gue ngebayangin Rakel itu kayak Douglas Booth, he-he-he.

SHARE:
0 Comments

[Gagas Debut] Meet The Editor of Unfriend You

Leave a Comment
Meet The Editor: Unfriend You
Jia Effendie



Oke setelah membahas isi buku Unfriend You (cek review untuk ngedapetin buku gratis) dan ngobrol bareng Dyah Rinni untuk tahu proses kreatifnya, sekarang kita ngobrol sama editor buku ini, Jia Effendie, yang sebelumnya juga pernah ngobrol-ngobrol waktu ngebahas buku Beauty Sleep karya Amanda Inez.
.

1. Kekuatan apa sih yang membuat Gagas Media menerbitkan buku Unfriend You ini?
Unfriend You adalah companion book untuk buku nonfiksi “Cool in School” karya Aprishi Allita bersama buku Versus (Robin Wijaya) yang akan segera terbit. Ketiganya buku tentang perundungan atau bullying. Jadi, soal tema memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Dan Dyah Rinni yang menyambut tantangan itu dengan menuliskannya.
2. Unfriend You mengangkat tema bullying, which is tema itu termasuk ‘seksi’ untuk dibicarain saat ini karena banyak ditemukan kasus bullying di sekolah. Menurut mbak Jia, apakah ada kaitan antara mengangkat tema cerita yang ‘seksi’ ini dengan kemungkinan diterbitkan? Karena tema ini tentunya sedang diomongin sekarang.
Karena Unfriend You adalah novel yang ide temanya datang dari penerbit, pertanyaan “kaitan mengangkat tema bullying dengan kemungkinan diterbitkan” jadi enggak relevan.
Namun, jika memang ada penulis yang mengirim naskah ke GagasMedia dengan tema ini, tentu saja kami akan mempertimbangkannya -- dengan catatan, naskahnya memang baik.
3. Neruda said there’s nothing new under the sun. Ini juga yang membuat banyak penulis baru sering hilang semangat melanjutkan tulisannya karena takut dianggap mirip dengan buku yang sudah ada. Apakah ada tip agar penulis baru enggak mengangkat hal yang sama meski temanya mirip?
Cari sudut pandang lain. Tulis dari angle yang tidak terpikirkan.
Woody Allen, misalnya. Dalam Midnight in Paris, dia melihat Paris berbeda dari pandangan orang kebanyakan. Orang-orang akan langsung berpikir kalau Paris adalah kota romantis, tempat menara Eiffel, dll. Namun, Woody Allen melihat kalau Paris paling indah ketika hujan dan pada tahun 1920-an.
Atau Neil Gaiman dalam novel Neverwhere. Dia menulis dunia bawah tanah London alih-alih London yang “normal”.
4. Mumpung sudah menuju akhir tahun, Mbak Jia bisa memprediksikan enggak tema apa yang akan digandrungi tahun depan? Dan genre buku apa saja yang akan banyak bermunculan tahun depan?
Sebentar, saya cari bola kristal saya dulu, ya :D
5. Proses revisinya berlangsung lama enggak? Apa ada hal yang sebelumnya ada di buku tapi menurut mbak jia harus dicut?

Prosesnya nggak terlalu lama, kok. Paling revisi minor aja, memperbaiki beberapa bagian yang kurang masuk akal.

Allright, thanks Jia for your time and answers. Yang mau kenalan lebih jauh sama Jia Effendie, bisa colek-colek dia di sini.

Nama: Jia Effendie
Pekerjaan: Editor GagasMedia
Alamat email: jiaeffendie@gmail.com
Alamat blog: http://jiaeffendie.com
Alamat Twitter: @JiaEffendie
SHARE:
0 Comments

[Gagas Debut] Meet The Writer of Unfriend You, Dyah Rinni

Leave a Comment
Meet The Writer: Dyah Rinni



Oke, setelah baca review Unfriend You ini, rasanya enggak lengkap kalau enggak sekalian ngobrol sama penulisnya. Thank you Dyah udah ngasih kesempatan buat ngobrol tentang buku ini, proses penulisan, sampai diskusi soal bullying segala. So, keep reading dan moga bermanfaat, ya. Jangan lupa ikut giveaway juga di postingan review itu.



Sejak kapan, sih, kamu suka nulis? Apakah kamu langsung nulis novel atau bertahap, seperti cerpen dulu, terus novella, dan novel?
Aku sebenarnya nggak akan sadar kalau aku suka nulis kalau bukan karena guru SD-ku. Waktu itu, aku kelas 5 SD dan disuruh ikut lomba mengarang. Padahal, aku pengin ikut lomba gambar. Setelah selesai lomba, guruku memuji bahwa tulisanku lebih bagus dari tulisan anak kelas 6 SD. Anak kecil, gitu lho, mendapat pujian seperti itu dari gurunya. Dari situ, aku bersemangat banget untuk terus menulis, sampai sekarang.

Pada awalnya, aku menulis cerpen. Itu kulakukan sampai kuliah. Waktu itu berbeda dengan sekarang di mana anak SD sudah mendapatkan peluang untuk menulis novel. Jadi, tulisan-tulisan itu ya paling jauh hanya muncul di majalah. Itu pun hanya kadang-kadang. Baru setelah lulus kuliah, aku memberanikan diri menulis novel.

Bisa diceritain enggak ide Unfriend You ini dari mana? Plus, proses kreatif kamu ketika menulis novel ini.
Ide Unfriend You datang ketika suatu hari aku main ke Redaksi Gagas Media. Dari hasil obrolanku dengan editor Gagas, Christian Simamora, akhirnya muncul ide tentang membuat novel yang mengangkat tema bullying di kalangan remaja perempuan. Jadi ide Unfriend You, bukan murni berasal dari aku. Dari situ, aku mulai riset kecil-kecilan mengenai bullying, mulai dari membaca buku psikologi tentang bullying dan kekerasan di sekolah sampai novel yang pernah mengangkat tentang bullying.

Kenapa kamu mengangkat isu bullying? Memang, sih, sekarang bullying sedang hangat-hangatnya. Apa kamu memanfaatkan momen ini atau ada alasan personal lain? Termasuk alasan kenapa kamu memilih sudut pandang penonton?
Bullying menarik untuk diangkat karena sebenarnya bullying ini penting, tapi nggak dianggap penting atau serius.  Seringkali remaja menganggap bahwa mengatai temannya adalah hal yang biasa. Begitu juga dengan orang tua dan guru, menganggap bullying membantu anak supaya lebih tegar di masa depan.  Masalahnya, nggak semua orang sama. Efek bullying bisa beragam, mulai dari nggak percaya diri, stres, depresi atau bahkan dalam kasus yang ekstrim, bunuh diri.

Alasan kenapa aku mengangkat sudut pandang penonton adalah dari sudut penonton, aku bisa melihat dinamika hubungan pelaku dan korban (duh bahasanya berat ya ^_^) dengan lebih jelas dan objektif. Nggak berat sebelah, gitu. Dan itu yang ingin aku sampaikan ke pembaca, bahwa kita harus melihat bullying sebagai satu masalah yang utuh, bukan sekadar siapa yang salah dan siapa yang benar. Semua orang (guru, sekolah, orang tua, teman) juga punya peranan kok di dalam bullying.  Kitanya aja yang kadang-kadang nggak sadar.

Apakah ada hidden message di balik alasan kamu mengangkat isu bullying ini? He-he-he.
Hidden message kaya' apa? Kaya' balas dendam sama seseorang, gitu? Hehe, enggak kok. ^_^ Aku memang pernah dibully, tapi itu udah lama banget dan aku nyaris nggak ingat sampai kemudian aku menulis Unfriend You.

Pesan yang aku ingin sampaikan sih sederhana aja, perlakukan teman kamu secara setara, seperti kamu ingin diperlakukan. Kalau semua orang saling menghormati, nggak merasa lebih tinggi atau lebih baik dari yang lain, kita bisa menghentikan bullying.

Cara kamu menulis itu remaja banget dan aku bisa menangkap feel Egan. Riset yang kamu lakukan apa aja, sih?
Riset yang aku lakukan sederhana aja, kok. Banyak membaca, mulai dari novel remaja yang aku anggap bagus sampai buku-buku psikologi tentang remaja. Aku juga dibantu editor Gagas Media yang memberikanku skripsi tentang bullying di  SMA. Kebetulan adikku adalah guru SMA. Jadi aku banyak konsultasi dengan dia bagaimana respon guru terhadap kasus bullying atau bagaimana hubungan sosial di SMA.

Apa kamu pernah bersinggungan langsung dengan bullying sebelumnya?
Iya, aku pernah dibully waktu SMP. Masalahnya sih ya apa lagi kalau bukan karena kakak kelas yang cute itu. ^_^ Pelakunya teman dekat aku sendiri, ramai-ramai menghakimi aku. Dengan kata-kata sih, nggak sampai  separah di Unfriend You. Tetapi bukan berarti novel ini semacam balas dendam, ya karena sebenarnya aku juga sudah lupa kejadian ini sampai kemudian aku menulis tentang bullying.

Menurut kamu sejauh mana sih pentingnya seorang penulis mengikuti tema yang sedang hangat dibicarakan? Dan apakah kesempatan untuk diterbitkan lebih besar ketimbang mengambil ide lain?
Penulis yang mengangkat tema yang sedang hot tentu akan lebih cepat menarik perhatian, baik pembaca maupun penerbit. Peluang di penerbitan tentu juga akan lebih besar karena bagaimana juga penerbitan adalah bisnis. Namun buatku, apapun yang ditulis seorang novelis haruslah menarik. Pada akhirnya yang tahan lama di hati pembaca adalah cerita yang bagus, bukan cerita yang dibuat berdasarkan tema yang sedang tren atau tidak tren.

Menurut kamu, ada tips dalam memilih PoV yang tepat enggak dalam menuliskan suatu cerita? Karena, kan, enggak semua cerita cocok dengan poV satu atau tiga atau bahkan dua.
Betul banget. Untuk memilih POV (Poin of View), kita harus memahami kebutuhan cerita itu sendiri. Cerita-cerita yang berhubungan dengan konflik batin, akan lebih menarik jika diungkapkan dengan sudut pandang orang pertama (aku). Dengan demikian, pembaca bisa larut dalam pergolakan batin si tokoh itu sendiri. Tetapi untuk cerita yang melibatkan banyak aksi atau tantangannya berasal dari luar, sudut pandang orang ketiga mungkin lebih menarik. Karena itu, cerita-cerita thriller,misteri dan lain-lain terasa lebih seru ketika diungkapkan dalam sudut pandang orang ketiga.

Sebenarnya, Unfriend You bisa dibuat dengan POV orang pertama, yaitu Katrissa. Tetapi, aku ingin pembaca bisa membaca bullying secara utuh, nggak cuma perasaan Katrissa saja. Selain itu, ada beberapa adegan yang lebih hidup ketika diungkapkan dari sudut pandang Langit, Aura ataupun Priska, meskipun porsi Katrissa jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan karakter lainnya.

Proses revisinya sendiri lama enggak? Apakah ada bagian yang kamu pengin banget ada tapi editor malah nyaranin untuk dicut?
Proses revisinya nggak terlalu makan banyak waktu. Jia Effendie, editorku, hanya memberikan sedikit catatan yang menurutku memang diperlukan untuk kebaikan naskah. Unfriend You hanya sekali direvisi dan kemudian langsung di-lay out. Memang ada adegan yang dipotong, tetapi bukan adegan yang aku suka banget. Sebaliknya, dari awal adegan itu membuat aku bimbang, antara antara mau dimasukkan atau dibuang saja. Akhirnya setelah aku bicara dengan  mbak Jia, kami sepakat membuang adegan itu. Mungkin karena itu semua penulis butuh editor karena penulis selalu membutuhkan mata kedua untuk menilai karyanya.

Sedang ada progress dalam menulis novel selanjutnya?
Awal tahun depan, Insya Allah, akan terbit novel remajaku dari penerbit Gagas Media. Aku kasih bocoran sedikit,  tentang kehidupan anak seorang penipu. Saat ini, aku sedang merancang novel romance, tapi masih dalam tahap awal banget.

Kamu suka bikin target enggak harus menyelesaikan sebuah novel dalam waktu berapa lama? menurut kamu, target waktu itu penting enggak?
Aku selalu punya target menyelesaikan novel. Rata-rata waktu yang aku butuhkan adalah 2 bulan, lengkap dengan risetnya. Unfriend You mampu aku selesaikan dalam waktu 45 hari, rekor tersendiri buatku. Aku rasa semua orang yang serius ingin jadi penulis, harus menetapkan target, entah dalam bentuk waktu (1 tahun, 3 bulan dan lain-lain) atau dalam bentuk target halaman (1 halaman per hari misalnya). Hidup aja punya batasan waktu, kok. Kenapa nggak kita terapkan hal yang serupa untuk novel? Tanpa ada target, percaya deh novel itu hanya akan selesai kapan-kapan.

Dari skala 1-10, kamu menilai novel debutmu ini di angka berapa? Alasannya?
Unfriend You mewakili banyak hal yang ingin aku raih dalam sebuah novel:  deretan karakter yang menarik,  plot yang cepat dan nggak mudah ditebak, dan juga isu dan pesan yang dalam. Aku juga bersenang-senang dalam membuatnya, sesuatu yang nggak aku duga karena tipe ceritanya yang lumayan 'berat'. Kalau aku harus ngasih nilai buat novelku sendiri, aku ngasih nilai 8.

Kalau boleh berandai-andai, kamu mau enggak menulis cerita di luar comfort zone kamu (dari segi PoV atau tema)? Jika iya, kamu mau bikin yang kayak apa?
Aku ingin banget bisa membuat Historical Fiction, Fantasy dan juga Science Fiction. Aku pernah menulis fantasi, tapi hasilnya nggak keruan. >.< Akan menarik kalau suatu saat aku bisa membuat cerita yang menggabungkan unsur sejarah Indonesia, mungkin semacam alternative history, dengan unsur steampunk. 

Untuk karakter, selama menulis ini kamu punya character chart enggak? Atau tokoh yang kamu bayangkan mewakili Katrissa, Aura, Milani, Priska, jonas, Langit? Dan, untuk gambaran sekolah sendiri, Egan itu yang ada di bayangan kamu selama menulis sekolah apa?
Sebelum menulis, aku membuat character bible. Isinya hanya sifat-sifat tokoh itu secara sekilas, apa yang dia suka dan tidak suka, apa tujuan hidupnya dan juga beberapa catatan tentang latar belakang kehidupannya.  Biasanya character bible-ku nggak terlalu panjang, kecuali tokoh utamanya.

Kebanyakan karakter di Unfriend You nggak berdasarkan tokoh tertentu. Jadi, aku nggak memikirkan siapa-siapa ketika membuat Katrissa dan lain-lain. Satu-satunya karakter yang berdasarkan tokoh tertentu adalah Langit. Fisiknya aku gambarkan seperti member boyband Korea B1A4, CNU.  Karena itu rasanya ajaib banget, begitu Unfriend You selesai, eh B1A4 datang ke Indonesia. Rasanya seperti dikasih hadiah, apalagi aku dapat tiket secara gratis. Eh malah curcol. ^_^

Soal sekolah, sebenarnya aku membayangkan SMP-ku dulu. Tetapi SMP-ku kan hanya SMP biasa, jauh dari Eglantine High. Jadi, aku bayangkan sendiri versi mewahnya lengkap dengan kantin dan perpustakaannya. Biasanya aku mengumpulkan foto kantin atau bangunan sekolah lainnya, jadi itu mempermudah gambaran aku dalam menulis.

Oke, Dyah. Itu aja pertanyaan dariku. Terakhir, kamu boleh ninggalin pesan atau mungkin promo buku or anything untuk pembaca blogku?
Orang banyak mengira bahwa untuk menjadi penulis, dia harus berbakat. Menurutku enggak. Semua orang bisa menjadi penulis. Menulis nggak butuh bakat, yang dibutuhkan hanya rajin dan sabar. Rajin berarti rajin menulis, rajin membaca, rajin memperbaiki kekurangan kita dan  memperhatikan kelebihan kita. Sabar artinya terus bertahan meskipun naskah kita dikritik atau ditolak penerbit. Dan untuk terus sabar, kita harus menulis dengan penuh gairah. Karena pada akhirnya, kalau kita nggak mencapai yang kita inginkan, setidaknya kita punya karya yang bisa kita banggakan.


Nama: Diah Utami Puspitarini
Tempat Tanggal Lahir: Jakarta, 19 April 1979
Karya yang pernah dipublish: Serial Detektif Imai 1-4 (2011-2013), Marginalia (2013), Unfriend You (2013)
Pekerjaan: Penulis
Penulis Favorit: Stephen King, Neil Gaiman,  Michael Crichton
Alamat blog: http://deetopia.blogspot.com
Alamat Facebook:deetopia
Alamat Twitter:@deetopia
Notes: Twitter dan FB-ku emang buat konsumsi publik, kok. Aku akan senang kalau ada pembaca yang mengontak aku via fb atau twitter. ^_^
SHARE:
0 Comments

[Gagas Debut] #IRRC #44 Unfriend You by Dyah Rinni

40 comments
Unfriend You
Dyah Rinni






Katrissa terjebak dalam persahabatan yang awalnya manis bareng Aura dan Milani yang akhirnya berakhir bahaya. Apalagi sejak kemunculan Priska, murid baru yang langsung berhasil masuk ke clique itu. Dan, diam-diam akrab dengan Jonas, pacar Aura. Aura yang enggak terima pun mulai mem-bully Priska. Begitu juga dengan semua murid di Eglantine High yang terpengaruh oleh Aura. Hingga akhirnya Priska enggak berani datang ke sekolah dan melakukan percobaan bunuh diri.
Di lain pihak, Langit, cowok geek anggota klub komputer di sekolah, membujuk Katrissa untuk menghentikan tindakan Aura. Soalnya, Langit berpikir Katrissa akan lebih mudah menghentikannya karena dia juga ada di clique itu. Katrissa sebenarnya mau, tapi dia takut. Ketika akhirnya dia berani, semua sudah terlambat.
Dan, Katrissa pun menjadi Priska selanjutnya.
Bullying menjadi tema utama buku Unfriend You ini. Sebuah tema yang sangat ‘seksi’ sekarang, terutama di kalangan remaja karena isu bullying ini sering banget ditemukan. Ini pertama kalinya gue baca buku full tentang bullying dan speechless. Apalagi ketika baca gue juga sedang ngerjain edisi say no to bullying di majalah gue, jadi efek kombonya dapet banget.
Selama baca ini, mau enggak mau gue ingat semua bahan artikel yang gue baca dan juga hasil wawancara gue tentang bullying ini. Dan, gue merasa kalau buku ini realistis banget.
Oke, dari segi buku dulu, ya.
I love this book. Really really really love this book. Gue suka Dyah mengangkat cerita dari segi penonton, sesuatu yang jarang disorot padahal penonton inilah yang jumlahnya paling banyak dan punya potensi untuk melawan tindakan bullying. Tapi seperti Katrissa, mereka memilih diam karena takut. Ini real banget. Banyak anak SMA yang gue wawancara bilang kalau alasan mereka enggak mau menolong adalah karena takut akan jadi korban selanjutnya.
Hal kedua yang gue suka adalah penggambaran sekolahnya. Eglantine High atau Egan itu jelas banget visualisasinya di otak gue. Two thumbs up buat Dyah Rinni dan kemampuan deskripsinya yang oke banget.
Gaya menulisnya juga keren banget. Engaging. Yang ada gue susah lepas dari buku ini. Meski memakai PoV 3, fokus cerita terjaga di Katrissa. Kalaupun pengin menggambarkan tokoh lain, kamera tetap berada di Katrissa. Oh, hanya sekali aja kecele. Pas, bagian Priska. Tapi, tetap saja dihubung-hubungkan dengan Katrissa. Me likey.
Tokoh. Yup, ini dia kekuatan cerita ini. Dyah enggak bikin tokoh yang too good to be true. Selalu ada alasan di balik setiap tindakannya. Katrissa yang senang banget dengan ajakan berteman oleh Aura ditunjang oleh masa lalunya yang enggak punya teman. Priska yang senang dapat teman juga karena keadaan keluarganya. Langit yang selalu mendorong Katrissa untuk speak up juga karena ada pengalaman bully. Milani yang akhirnya ember pun ada alasannya, meski simpel, cetek, dan Milani banget, he-he-he. Bahkan tindakan Aura. Selain sebab, setiap tokoh juga mendapat akibat dari tindakan mereka.
Gue suka bab akhir, penjelasan alasan di balik sikap Aura. Cuma sayang banget. Terlalu sedikit. Kalau boleh dibilang, gue paling suka Aura. Karakternya complicated banget. Gue sampai berkaca-kaca waktu Katrissa menemukan alasan di balik ajakan berteman oleh Aura. Aura ini tipikal mean girl yang enggak bisa lo benci. So, Dyah Riini, I owe you to make a side story about Aura, he-he-he.
Tapi, kesempurnaan buku ini ternoda oleh sebuah kesalahan kecil. Kecil banget, malah. Sebenarnya enggak ngaruh juga, sih. Salahin aja otak gue yang terlalu fokus sama cerita ini sampai kesalahan sekecil itu kelihatan. Jadi, di bagian tengah, waktu Aura menjemput Katrissa demi membicarakan ‘pelajaran’ untuk Priska, dibilang rumah Aura dan Katrissa jauh banget sampai-sampai Aura harus memutar arah karena menjemput Katrissa. Tapi bab akhir dibilang rumah mereka dekat. Saking dekatnya Katrissa tinggal naik sepeda aja. he-he-he.
Konfliknya sendiri juara banget. Gue juga suka Dyah memasukkan unsur shoplifted di sini. Baru kali ini gue baca novel lokal bawa isu ini. Kebetulan aja gue lagi baca My Life Next Door juga dan salah satu subkonfliknya adalah shoplifted ini. Jadi, gue salut sama pilihan subkonflik ini.
Ending. Gue puas, kok. Dramanya gue rasa sudah cukup. Tindakan bully-nya juga pas jahatnya.
Oke, sekarang tentang bullying sendiri.
Teman gue yang udah baca buku ini punya complain, kenapa Langit enggak ngadu sendiri aja, sih? Kenapa maksa Katrissa buat buka mulut dan nolong Priska? Kalau baca buku ini, let’s say, minggu lalu, mungkin gue akan berpemikiran sama. Tapi, beberapa hari lalu gue baru aja interview psikolog tentang bully ini dan salah satu ucapan dia adalah, “sebagai teman cukup membujuk korban agar mau speak up dan temani dia ketika speak up. Jangan kita yang jadi tukang ngadu. Yang ada hanya akan membuat korban makin rendah diri. Dengan membiarkan dia speak up sendiri, dan ditemani, itu akan membuat dia sadar ada yang percaya padanya dan tentunya membangkitkan lagi rasa percaya dirinya.” So, gue setuju dengan tindakan Langit.
Gue rasa, buku ini baiknya dibaca oleh semua remaja sekarang, juga guru. Malah, guru harus banget baca. Kenapa? Pertama, biar remaja ini makin punya rasa empati dan enggak hanya menyelamatkan diri sendiri dengan diam dan nontonin aja. Sekarang, rasa empati di kalangan remaja tuh dikit banget. Sayang aja, sih. Kedua, guru seringkali menganggap enteng masalah ini. Mungkin mereka enggak bermaksud, sih, tapi mereka bertindak selama ada bukti. Sedang bukti sendiri jarang ada karena penonton yang hanya diam. So, butuh kerjasama antara penonton dan guru ini. That’s why I love Ms. Lana.
Oh satu lagi yang bikin gue suka sama buku ini adalah adanya tempat yang berada di luar jangkauan pengawasan guru. Di setiap sekolah tempat ini selalu ada dan sering jadi lokasi pem-bully-an. Biar makin banyak sekolah yang sadar dan meningkatkan pengawasan sampai ke ‘sudut terjauh’ ini atau sekalian saja menghilangkannya.
Intinya, I love this book. Enggak hanya untuk remaja, dewasa pun harus baca buku ini. banget.
Thank you Dyah Rinni and Gagas Media for this awesome book.

GIVEAWAY
Oke, gue punya satu eksemplar buku ini. Buat yang mau, enggak usah ribet-ribet, cukup jawab aja pertanyaan gue di kolom komentar. Jangan lupa tinggalin nama, email, dan akun Twitter  ya.
 "What would you do if you see your friend got bullied?"
Jawabannya yang simpel aja, dan yang penting realistis, ya, he-he-he. Jawabannya ditunggu sampai tanggal 19 November 2013 dan pengumumannya tanggal 20 November 2013.
Good luck.
 
SHARE:
40 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig