*Ekspresi mikirin jawaban buat pertanyaan yang sama selama bertahun-tahun
dan akan tetap sama bertahun kemudian*
-->
Day 9, tema dari Fajar
Tinggal enam
belas hari menuju usia ke-29 tahun, tahun terakhir melewati usia 20-an sebelum
memasuki kepala tiga. Dulu, saya takut ketika akan berulang tahun ke-20. Rasanya
begitu menyeramkan. Angka 20 rasanya terlalu besar untuk dihadapi. Namun ternyata,
saya berhasil melewatinya hingga saat ini.
Tidak mudah
memang. Ups and downs itu selalu ada.
Saya mengawali usia 20-an dengan semangat menggebu, dengan beribu keinginan
bermain di pikiran dan semangat pantang menyerah untuk mendapatkannya. Namun,
berbagai realita demi realita mulai menghadang. Saya pun mulai merasakan
pahitnya kehidupan ketika realita tidaklah sesuai dengan ekspektasi. Saya mulai
dipaksa berpikir dewasa, ketika harus mengambil keputusan untuk mengikuti kata
hati atau berdamai dengan realita. Saya juga merasakan kehilangan, jatuh cinta,
kehilangan, dan jatuh cinta lagi.
Hidup itu
sangat berwarna, benar?
Menginjak tahun
terakhir berusia 20-an, saya kembali merasa sama seperti sepuluh tahun lalu. Takut
sekaligus excited karena akan
menginjak usia 30. Di mata saya dulu, 30 itu kesannya tua banget
#sorrynotsorry. Namun ketika melihat lingkungan sekitar, dengan teman-teman
yang sudah lebih dulu menginjak usia 30-an, ternyata tidak sama dengan apa yang
saya pikirkan dulu, he-he.
Ketika menerima
tema ini, saya tergelak. Pertanyaan paling umum ditanyakan di usia akhir 20-an.
Tentu sudah bisa menebaknya, bukan?
Untuk perempuan
single, apa lagi, sih, yang sering
ditanyakan ketimbang ‘kapan nikah?’ Sampai-sampai saya hanya bisa rolling eyes menertawakan dalam hati
ketidakkreatifan orang-orang yang selalu mempertanyakan hal yang sama dari
tahun ke tahun.
Lucunya, hari
ini saya membaca berita soal Raline Shah yang sudah bosan ditanya pertanyaan
yang sama. “Pertanyaan seperti itu sebenarnya bikin sakit hati,” ungkap Raline.
Dia juga menekankan kalau setiap individu memiliki target pribadi, dan kadang
masyarakat terlalu memaksakan hal yang dianggap common, meski kadang bertentangan dengan keputusan yang diambil
setiap individu.
Raline berkelakar,
“Target saya adalah membuat kamu mempertanyakan hal yang sama tahun depan, juga
tahun depannya lagi.”
Saya setuju
dengan Raline karena pertanyaan ini sangat pribadi, terlebih seringkali si
pihak yang bertanya menunjukkan sikap judgemental
yang seolah-olah menilai rendah pihak yang ditanya. Ditambah, biasanya pihak
yang bertanya tidaklah terlalu dekat, karena sosok yang dekat tidak akan
bertanya. Toh, mereka sudah tahu, kan, keputusan kita?
*Ilustrasi kursi kosong di stasiun,
menunjukkan bahwa hidup itu adalah sebuah perjalanan tanpa henti*
Dibanding teman-teman
lain yang juga single di usia
penghujung 20-an, bisa dibilang saya tidak terlalu sering mendapat pertanyaan
ini. Bahkan di saat lebaran yang katanya jadi momok paling mengerikan, saya
hanya mengalami momen ini dua kali.
Pertama,
ketika berkunjung ke saudara papa yang kalau dilihat dari asal usul darah
tidaklah terlalu dekat, tapi sejak kecil keluarga saling berkunjung. Kalimat beliau
adalah, “Duh, jangan sampai udah 30 kamu belum nikah. Udahlah, enggak usah
pilih-pilih, yang penting seakidah dan dia kerja.”
Saya cuma rolling eyes mendengar pernyataan itu
dan lanjut makan.
Ketimbang menjawab
dan pasti nyelekit sehingga menimbulkan masalah baru. Meski dalam hati saya
menertawakan nasihatnya yang menurut saya sudah tidak sangat relevan. Come on, nyari suami tapi enggak
pilih-pilih, yang benar saja. Itu, kan, investasi jangka panjang, tentu saja
harus dipikirkan matang-matang.
Yang penting
seakidah dan dia kerja? Bukannya saya sombong atau sok kaya atau sok punya gaya
hidup mahal, tapi hidup itu memang mahal. Terbiasa memberikan yang terbaik
untuk diri sendiri, tentunya saya juga ingin memberikan yang terbaik untuk
keluarga. Karena itu, asal kerja saja jelas tidak mungkin, kan? Saya melihat
sendiri bagaimana rumah tangga yang setiap hari selalu membahas masalah
finansial, dan itu sangat menyebalkan. Tentu saja, saya tidak ingin terjebak
dalam hal yang sama.
Momen kedua
datang dari kakak sepupu saya. Sudah hampir tengah malam dan saya sedang
asyik-asyiknya menikmati air kawa daun hangat di malam yang dingin. Dia cuma
menyinggung sambil lalu, jadi saya pun menjawab sambil lalu meski serius.
I told her my target. Saya memberitahu
dia apa yang ingin saya raih di tahun ini, juga tahun depan.
Komentarnya? “Main-main
terus.”
Jawaban saya? “Tentu
saja. Apa gunanya kerja kalau enggak dinikmati?”
Egois? I don’t think so. Tidak peduli berada di
umur berapa, setiap individu berhak memanjakan dirinya sendiri. Kita kerja
keras Senin sampai Jumat, kadang lebih, kenapa tidak dinikmati? Kebetulan, baru
beberapa tahun terakhir inilah saya bisa menikmatinya.
Tanggapan mama?
“Biarin ajalah dia mau ngapain dulu.” Ya, meski di kesempatan lain mama
berkata, “Suka-suka dialah, enggak ngerti dia maunya apa.” Ya, meski mama
bersikap pasif-agresif, tapi untungnya tidak mendesak, sampai-sampai
menyodorkan laki-laki entah siapa buat dinikahi hanya karena ‘masa iya umur
segini belum nikah?’ (well, it happened
ya di lingkungan saya. Jauh lebih baik kamu menikah ketimbang melanjutkan
sekolah).
*Ilustrasi kaki yang menunjukkan kesiapan diri untuk melangkah ke kehidupan selanjutnya,
apa pun jenis kehidupan yang dipilih*
Simpelnya seperti
ini: pernikahan itu hal yang paling pribadi. Kapan dan dengan siapa kamu menikah,
itu tidak bisa diputuskan sama untuk semua orang. Ada yang sudah siap lahir
batin dan finansial di umur 25, dan silakan menikah. Namun, ada juga yang
memiliki target lain untuk dicapai sehingga menikah ada di prioritas ke sekian,
ya silakan. Jadi ketimbang bertanya ‘kapan nikah?’ yang memang kadang nyakitin,
kenapa tidak ganti pertanyaannya menjadi ‘apa targetmu sekarang?’ Setidaknya,
kita bisa berdiskusi panjang soal hal ini.
“When will you get married? I don’t usually
answer tho because it’s definitely not in the near future. Tapi, umumnya
laki-laki di minang menikah di usia yang relatif muda, misal 25-an. Walaupun sebenarnya
enggak ada pakem kapan laki-laki harus menikah, tapi karena kebanyakan menikah
di usia segitu, seakan itu jadi tolok ukur. Padahal, kan, enggak begitu ya. Sering
orang-orang yang nanya suka lupa bahwa ada banyak pertimbangan atau alasan
mengapa seseorang belum (atau tidak) menikah. Bisa ekonomi, bisa pendidikan,
dan lainnya.” Fajar, yang juga menginjak usia akhir 20-an, dan sering mendapat
pertanyaan ini.
For you, what is the most common question in
your late 20-s?