Day 3, tema dari Haykal
Hal yang paling berani yang dilakukan tahun ini? Hmm… bagi
sebagian orang mungkin skalanya besar, seperti liburan seratus hari non-stop,
beli rumah, menikah, dan hal lain dalam skala grande. Namanya juga paling
berani, kata ‘paling’ tentunya merujuk ke suatu hal yang sifatnya sangat
tinggi.
Pembuka macam apa ini?
Oke, ketika menerima tema ini, ada dua hal langsung terlintas di
benak saya.
(Plis,
jangan bosan ya mendengar cerita soal hal ini. Enggak apa-apa dianggap norak,
karena ini pengalaman paling tak terlupakan bagi saya.)
Dan
hal ini juga berlanjut ke hal lain yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya,
solo trip.
I love Ed Sheeran,
sejak dia masih jadi little-secret
dan sebelum Thinking Out Loud
membuatnya mainstream. Di tahun 2015
lalu, Ed mampir ke beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia,
Singapura, dan Filipina. Teganya dia melintasi Indonesia, hiks. Di tahun itu,
label musiknya Ed membawa beberapa wartawan dari Indonesia, salah satunya
majalah tetangga berjarak tiga lantai dari majalah tempat saya bekerja dulu.
Pada
saat itu, saya hanya bisa menahan hati karena tidak bisa menonton Ed. Tentunya berharap
dia akan kembali lagi ke Asia.
Harapannya
saya terwujud karena di 2017, Ed seharusnya mampir ke Jakarta. Seharusnya,
karena dia kecelakaan saat naik sepeda sehingga konsernya terpaksa batal.
Lalu,
di awal tahun, saya pun galau untuk ke Manila atau tidak. Saya pun membuat
perjudian lagi, yaitu jika saya berhasil mendapatkan tiket Ed Sheeran, maka
saya akan ke Manila.
Ternyata
Tuhan masih mengizinkan saya bertemu Ed Sheeran. Akhirnya, saya pun berhasil
menonton konsernya, di Manila.
Tidak
jarang saya mendapat komentar menyudutkan seperti, ‘ngapain sih buang-buang
duit nonton konser ke luar negeri?’ atau ‘gaya banget sih nonton konser jauh-jauh’
atau ‘gue enggak ngerti sama lo, nonton konser jauh-jauh, ketemu langsung juga
enggak, mending dengerin CD aja’ dan sebagainya.
Let me tell you this,
bagi saya ini bukan sekadar menonton konser. Melainkan melakukan sesuatu yang
membuat bahagia. Ya, memang harus keluar uang dalam jumlah lumayan, tapi
perasaan bahagia yang saya rasakan, dan perasaan itu bertahan hingga
berminggu-minggu kemudian, itu tidak bisa dihitung dengan materi apa pun.
Setiap
orang pasti memiliki satu cita-cita yang ketika berhasil mencapainya, itu akan
mendatangkan kebahagiaan. Benar? Terlebih jika cita-cita tersebut berhasil
dicapai atas usaha sendiri. Rasa puasnya terasa double karena saat itu, kita juga merayakan keberhasilan yang
diraih. Meskipun sebagian orang menggolongkan cita-cita tersebut sebagai ‘oh-so-cheesy’.
Saya tidak akan pernah mengerti dengan orang yang mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk sekali makan. Saya juga tidak akan pernah mengerti dengan orang yang membeli sepatu sekian juta hanya untuk diinjak. Saya tidak akan pernah mengerti dengan orang yang merogoh kocek sekian juta untuk menginap satu malam di suatu hotel di kotanya.
Saya
tidak akan pernah mengerti karena hal itu tidak membuat saya bahagia. Tapi, hal
tersebut membuat mereka bahagia.
Sama
halnya dengan mereka yang tidak akan pernah mengerti mengapa saya mau mengeluarkan
sekian ratus ribu membeli CD musisi favorit. Atau kenapa saya begitu
tergila-gila sama seorang musisi bahkan sekalipun itu seleb Korea yang banyak
dipandang sebelah mata? Atau kenapa saya mengoleksi buku yang sama tapi berbeda
cover? Atau menonton konser ke luar negeri? Karena hal tersebut belum tentu
membuat mereka bahagia.
Namun,
itu membuat saya bahagia. Rasa bahagia itu bertambah karena saya mewujudkannya
dengan keringat sendiri.
Hal
ini membuat saya berpesan pada diri sendiri, if you don’t understand and it’s hard for you to try to understand, you
better keep silent. Daripada berkomentar karena seringkali, dalam
berkomentar kita memakai sudut pandang sendiri, berdasarkan pengalaman dan
pemikiran sendiri tanpa menempatkan diri di posisi orang yang kita komentari.
Duh,
jadi ke mana-mana.
Intinya,
saya tidak menyesal sudah mengejar Ed Sheeran ke Manila. Bukan hanya membuat
saya bahagia, tapi juga memberikan saya kesempatan untuk melakukan hal yang
selama ini tidak pernah terpikirkan, yaitu pergi sendirian.
Kedua, resign.
Saya pernah menulis soal keputusan untuk resign dan kegalauan yang saya alami di tulisan ini.
Resign
bukan sekadar berhenti bekerja di suatu tempat. Bagi saya, resign itu sebuah titik balik. Di titik itu, saya dilemparkan untuk
kembali ke awal dan memulai semuanya dari titik nol.
Sangat
menakutkan, bukan? Karena itulah saya merasa enggan untuk pergi karena tidak
ingin mengalami hal tersebut dan pada akhirnya terjebak di tempat yang sangat
teramat nyaman.
Namun
hidup terus berlanjut. Berbagai realita yang terpapar di depan mata membuat
saya mau tidak mau harus mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu yang
selama ini saya takuti. Saya memutuskan untuk pergi.
Tidak
mudah keluar dari tempat yang sangat saya kenali, dan juga mengenali saya,
untuk kemudian menyeburkan diri ke dalam kolam baru yang sama sekali tidak saya
kenali. Kembali saya dihantui oleh berbagai pertanyaan yang membuat saya rasanya
ingin menarik kembali keputusan yang sudah diambil.
Namun,
di depan cermin saya bertanya, ‘do you
want to be a loser again?’
Jawabannya,
tidak. Karena itu, saya memberanikan diri dan menguatkan hati untuk keluar dari
tempat yang selama ini membesarkan saya.
Langkah
pertama memang terasa berat. Saya pun meraba-raba selama beberapa saat. But in the end of the day, I said to myself,
‘you’re doing a good job. You’ll be fine.’ Kalimat itu akhirnya menjadi
mantra hingga tanpa disadari, saya menikmati kehidupan yang baru.
Selain
itu, hal ini bukan hanya sekadar pindah atau berganti pekerjaan. Ini memengaruhi
hidup secara keseluruhan. Bukan hanya kantor saja yang baru, tapi saya harus memulai
banyak hal baru dalam hidup.
Scary, isn’t it? But it’s fun. Ha-ha.
“Buat
gue, itu membeli motor gede seharga rumah. Awalnya kirain bakal nyesel abis
itu, tapi ternyata enggak. It was love at
first sight,” Haykal, yang memberikan pertanyaan ini.
“Gue
melakukan hal yang tepat di waktu yang tepat dan bersama orang yang tepat
karena gue resign di saat dua kali mendapat kesempatan untuk mengabdi di
pelosok dan di-notice oleh nasabah prioritas meskipun atasan anggap gue enggak
ada. Setelah resign, yang katanya rezeki bakalan seret, Alhamdulillah tetap
ngalir, bukan cuma buat gue, tapi juga usaha kuliner keluarga gue. Lingkaran pertemanan
juga membantu men-support usaha itu. Selain itu, banyak terjadi hal yang enggak
gue harapkan sebelumnya, seperti mendapat kesempatan naik helikopter karena menang
kuis yang dapat infonya dari teman, dapat nonton premier, produk gue di-endorse
sampai ke luar negeri, jaringan pertemanan yang makin luas sehingga gue ngerasa
waktu gue lebih bermanfaat. Gue ngerasa decision itu adalah yang paling tepat,”
Rey, yang pindah kerja dari salah satu bank ternama ke perusahaan start up and it makes him happy.
And you, what is the most jaw dropping
things that you do this year?
0 Comments:
Post a Comment