Sail Away

1 comment
Malam itu, sayup-sayup lagu milik The Rasmus berjudul Sail Away berkumandang dari itunes di laptop saya. Mata ini sudah menunjukkan gelagat ingin terlelap saja. Badan ini juga sudah meronta kelelahan. Namun, atas nama pertemanan, saya bertahan.
Karena di sana, di belahan Eropa sana, seorang teman tengah menitipkan ceritanya kepada saya. Cerita yang telah dialaminya dua tahun silam. Lalu, siapa sangka jika ceritanya menggelitik daya imajinasi saya dan selama beberapa hari kemudian, saya tampah khusyuk di depan laptop, merangkai cerita yang terinspirasi dari kisahnya.
en Marcel, heel erg bedankt!

Amsterdam, 27 April 2007

Marcel, kekasihku,

Di suatu masa di hidupku, pernah kumendengar seorang penyair berkata:

"Terkadang kita harus menyakiti orang yang kita cintai untuk membuatnya bahagia."

Semula aku tidak menyetujui kalimat itu. Bagaimana mungkin cinta bisa berlaku kejam? Aku tak habis pikir, bagaimana seseorang bisa tega dan secara sadar menyakiti orang yang dicintainya atas nama mencari kebahagiaan?

Dan, di suatu hari di musim panas yang cerah, di tengah hamparan rumput di Giethoorn, kita menertawakan kalimat itu.

Hanya orang gila yang tega menyakiti orang yang dicintainya dengan alasan kebahagiaan. Kebahagiaan sejati adalah bersama selamanya, mengayuh perahu berdua atas dasar cinta. Itu katamu di sore itu.

Dan aku bergelung disampingmu, merasakan kehangatan yang terpancar dari tubuhmu, menghirup aroma yang menguar dari setiap jengkal kulitmu, meresapi kebersamaan kita, menyesap dalam-dalam tiap tetes cinta yang kau tiupkan melalui mata kelabumu. Aku melakukannya seolah tak akan ada lagi hari esok.

Karena kenyataannya, tak akan ada lagi hari esok untuk kita.

Dan ketika aku terpekur menulis surat ini, kusadari kebenaran yang diungkapkan penyair itu. Detik itu juga aku menyesal pernah menertawakannya.

Marcel, apapun yang terjadi esok, percayalah bahwa aku masih mencintaimu. Aku mencintaimu di setiap hela nafasku. Aku mencintaimu dengan tiap tetes darah yang mengalir di tubuhku. Aku mencintaimu di setiap detik waktu yang bergulir. Aku mencintaimu, seperti matahari mencintai siang dan seperti rembulan mencumbu malam. Jika esok terlintas dibenakmu dan kau mempertanyakan cintaku, yakinkan hatimu bahwa cinta itu masih ada.

Aku masih sama seperti gadis lugu yang bertemu denganmu sepuluh tahun lalu. Aku masih sama seperti gadis penuh cinta yang kau nikahi tiga tahun lalu.

Bedanya hanyalah, aku tidak lagi sekuat dulu. Genggaman tangan nasib melumpuhkanku. Dan tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menyerah.

Menyerah terhadapku.

Menyerah terhadapmu.

Menyerah terhadap… Kita!

Marcel, apapun yang terjadi esok, yakinkan hatimu bahwa ini semua kulakukan untukmu. Atas nama cinta kita. Aku menginginkan kebahagiaanmu, dan kusadari bukan akulah malaikat pembawa kebahagiaan untukmu. Tangan nasib hanya akan merenggutku kian jauh darimu hingga akhirnya aku tak lagi bisa melihatmu.

Mendengarmu.

Merasakanmu.

Menciummu.

Tapi sampai kehidupan lain membentang diantara kita, satu hal itu akan selalu ada. Aku akan selalu…

Mencintaimu.

Marcel, apapun yang terjadi esok, marahlah padaku saja. Kau ingin memakiku, menghinaku, melecehkanku, lakukan itu. Aku akan menerimanya karena dengan begitu, aku akan tenang melepaskanmu. Jangan menangis atau menyalahkan dirimu sendiri. Jangan pertanyakan alasanku. Kelak, ketika matahari tak lagi bersinar, kau akan tahu jawabannya.

Dan menjelang saat itu tiba, pergilah. Raihlah kebahagiaanmu. Yakinkan hatimu bahwa disuatu tempat di bumi ini, akan ada seseorang yang mencintaimu dan menjanjikan kebahagiaan nyata untukmu. Aku yakin itu, maka dari itu aku berani berharap kau pun merasakan hal yang sama.

Biarlah aku tenggelam sendiri disini, bersama air mata dan tangan nasib yang menyeretku perlahan-lahan. Biarlah aku meratapi kesendirianku. Biarlah aku hidup dengan mengenang hari-hari yang kita lewati bersama. Biarlah aku berdiam diri dengan menjaga cintaku.

Mungkin aku terdengar kejam, membuangmu begitu saja tanpa ada permasalahan apa-apa diantara kita. Harapku, kelak kan kau ketahui alasanku melakukan ini semua.

Aku ingin kau berbahagia Marcel, merasakan kebahagiaan nyata seutuhnya, bukan kebahagiaan semu seperti yang kutawarkan. Dan aku melakukannya semata karena aku mencintaimu.

Aku mencintaimu, untuk saat ini, saat aku menulis surat ini, dan aku mencintaimu untuk saat itu, saat kau membaca suratku. Meski lidahku tak lagi bisa mengucapkannya, percayalah, hatiku masih bisa menyuarakannya dengan lantang.

Maafkan aku terpaksa menyakitimu. Harapku, kelak kan kau maafkan aku, meski saat itu tiba, aku tak lagi bisa mendengarkannya.

Maafkan aku, Marcel.

Ingatlah selalu aku sebagai seorang perempuan yang sangat mencintaimu. Pergilah, aku rela. Pergilah, raihlah kebahagiaanmu. Karena dengan begitu, aku bisa menyerahkan diriku ke tangan nasib dengan perasaan damai dan ikhlas.

Aku yang mencintaimu, selalu

Paula Scmidt-Janssen

Ini hanya spoiler saja, semoga berkenan. Mengenai kelanjutannya, masih dalam tahap pembuatan. Doakan bisa diselesaikan dengan lancar ya *big hugs*
love,
iif
SHARE:
1 Comments

Gaudeamus Igitur

2 comments
02 September 2006
Lokasi: Batas antara fakultas Psikologi dan FISIP UI.
Suasana: wisuda kakak.
Pemeran: si adik, si kakak, mama, papa, ibu, mak tin, kak Diana.

Si adik: *menunjuk kampus FISIP* Tahun depan iif akan kuliah disana.
Lama berselang, tidak ada tanggapan. Namun, sepasang mata yang dinaungi sebuah kacamata minus tetap memandang ke dalam kampus FISIP dengan ekspresi penuh pengharapan.
Mama: *setelah terdiam* kalau saja kamu rajin belajar, tentu bisa masuk sana.
***

Di sebuah kota bernama Bukittinggi.
Alkisah dalam sebuah keluarga ada dua orang adik kakak, sama-sama perempuan. Meski bersaudara, keduanya sangatlah berbeda. Si kakak, dengan segala ketenangannya mampu memukau semua orang, pun dengan prestasinya. Sementara si adik cukup puas dengan gelar 'si tukang onar' disematkan di dadanya. Tak heran jika si kakak menjadi role model sementara si adik hanya bisa gigit jari setiap kali mendengar celotehan orang-orang, terlebih orang tua mereka, agar dia mencontoh si kakak dan menjadi seperti si kakak. Namun, omongan itu sia-sia karena dari hari ke hari, si adik berjalan kian jauh dari si kakak dan harapan orang tuanya. Sejak di bangku sekolah dasar dia sudah terkenal sebagai si tukang ribut, padahal lima tahun di atasnya, si kakak terkenal sebagai si pintar juara kelas.
Mengapa si adik berbuat demikian? Pemikiran masa kecilnya hanya terpusat pada satu kata, bersenang-senang. Apapun yang dilakukannya adalah untuk bersenang-senang. Dimana dia bisa tertawa, disanalah dia berada. Meski setiap tindakannya sering kali mendapat pertentangan.
Lalu suatu hari si adik berkata bahwa dia juga bisa seperti si kakak. Dia juga bisa membuat orang lain, terlebih orang tuanya, untuk berdecak bangga padanya. Namun, tak ada yang percaya. Lingkungannya telah mengenalnya sebagai si biang onar yang tentu saja sangat jauh dari kata membanggakan.
Oleh karena hidupnya hanya berkisar diantara kesenangan, maka si adik tak ambil pusing. Meski begitu, dalam hati dia tetap bertekad ingin mewujudkan kata-katanya itu.
Maka, di saat dia lulus SD, dia mendapat kalimat ini: Jangankan kelas unggulan, masuk SMP 1 aja nanti kamu sudah syukur bisa. *Berangkat dari fakta si kakak lulus sebagai peraih NEM tertinggi se-kotamadya dan masuk ke kelas unggulan SMP favorit*. Kalimat ini tidak mengada-ada, mengingat si adik selama enam tahun bersekolah mengalami penurunan rangking dari kelas 1 hingga kelas 6.
Lalu, apa yang terjadi? Dia memang tidak bisa menjadi lulusan terbaik se-Kotamadya, tapi dia termasuk salah satu lulusan terbaik di sekolahnya. Dan ya, dia berhasil masuk kelas unggulan.
Itulah stereotype pertama yang berhasil dipatahkannya.
Selama di SMP dia memang tidak tampil gemilang, tapi diantara teman-teman di lingkungan rumahnya, dialah yang terbaik. Di masa ini pulalah dia mulai mengenal passionnya dan tahu apa yang ingin ditujunya.
Menjelang SMA, dia semakin tahu apa yang diinginkannya. Dia masuk di SMA yang sama dengan si kakak, SMA terbaik di kota itu. Sekali lagi dia menjadi bahan tertawaan karena dia tidak berhasil mengukir prestasi seperti yang dilakukan kakaknya lima tahun lalu. Dia dikenal bukan karena kepintaran atau banyaknya piala yang berhasil disumbangkannya ke sekolah, melainkan karena segala tingkahnya yang membuat naik darah tantenya -guru terkiller di sekolah- dan membuat guru-gurunya menghela nafas. Teman-temannya juga demikian. Dia harus puas dengan sebutan si pembuat onar lagi.
Namun, lama-lama dia gerah. Sebutan bodoh, pembuat onar, tidak punya otak, malas, dan berbagai hinaan lainnya menggumpal hingga akhirnya membentuk sebuah kemarahan. Bertekad untuk merubah semua pandangan itu, dia mencoba peruntungan meminta formulir PMDK. Tentu semua mata akan membelalak jika dia berhasil. Seperti kakaknya, tentu saja. Jangankan formulir yang didapat, alih-alih dia kembali menjadi bahan tertawaan.
Gumpalan kemarahan itu berubah menjadi dendam tidak lama kemudian. Dan ketika kakaknya lulus dari Psikologi UI, si adik semakin mengokohkan keinginannya, keinginan yang membuatnya ditertawakan.
"Aku mau masuk komunikasi UI."
Teman 1: Nggak mungkin. Kamu kan kerjanya main-main doang.
Teman 2: Orang kayak kamu nggak mungkin masuk UI.
Teman 3: Di sekolah ini aja banyak yang jauh lebih pintar dari kamu.
Teman 4: Mimpi aja terus.
Dan teman-teman laiinya yang tertawa.
Guru 1: Kamu aja nggak pernah bikin PR, ulangan remedial terus, mana bisa masuk UI?
Guru 2: Belajar aja dulu. Syukur-syukur bisa lulus UAN.
Dan beberapa stereotype miring lainnya.
Namun, benarkah demikian adanya? Apakah diatidak akan sanggup mencapainya?
Ketakutan itu memang ada, tapi diatahu bahwa dengan semua usahanya, dia akan bisa mencapainya. Dia sudah tahu ke depannya ingin menjadi apa. Dia sudah menyusun daftar-daftar keinginannya. Dia sudah bisa melihat seperti apa dirinya sepuluh tahun mendatang.
Mereka boleh tertawa karena apa yang mereka lihat. Namun, untuk yang tidak mereka lihat? They have no idea about it.
Si adik memang terlihat urakan dengan selalu ketawa haha hihi kian kemari, terlihat menyepelekan sekolah dan hanya ingin bersenang-senang. Mereka tidak salah. Tapi, mereka tidak tahu satu hal tentang dia.
Dan temannya, Fhia, menjelaskan kepada mereka. "Dia memang terlihat main-main saja, tapi kalian nggak tahu kan kalau dia selalu belajar sampai pagi?"
Dan Dayu, teman sebangku yang setiap malam belajar bersama di rumahnya. "Dia cuma tampilannya aja yang kayak gitu."
Dan ketika lulus SMA, dia ditarik kakaknya ke suatu kota bernama Depok, mengikuti bimbingan belajar, jauh dari teman-temannya agar dia bisa berkonsentrasi. Mamanya menolak ide bimbel di Padang atau Bandung karena di kedua kota itu teman-temannya berserakan.
Dia pun mengangguk setuju. Tekadnya, dia harus berhasil mematahkan stereotype itu.
And tadaaaa, she got it.
Dia lulus Komunikasi UI.
Dia mencengangkan semua orang.
Dia membuat mamanya tak berkata apa-apa.
Dia membuat guru-gurunya menelan ludah dan angkat topi lalu kemudian balik memujinya setelah selama ini menganugrahinya dengan stereotype dan underestimate.
Dia membuat teman-temannya menganga lebar.
Teman 1: Kok dia bisa lulus? Rina yang selalu 3 besar kenapa tidak lulus? *setelah selama bimbel si teman sesumbar dia yakin lulus karena nilainya jauh lebih tinggi dari si adik*
Teman 2: Nggak adil. Adil yang ngajarin dia matematika selama SMA tapi Adil nggak lulus?
Dan mereka pun mengaitkan keberhasilan ini sebagai keberuntungan belaka. Mereka terlalu gengsi untuk menyadari kenyataan yang sebenarnya.
Lalu, lagu Selamat datang Pahlawan Muda menyambut kedatangannya di Kampus UI.
***

16 September 2011
Saat paduan suara mahasiswa baru mengalunkan lagu Gaudeamus Igitur, sepasang mata tampak berkaca-kaca. Dia teringat semua tertawaan dan ejekan yang diterimanya dulu. Pun ketika mamanya berkata "Ini kado terindah di ulang tahun mama." air matanya kian menaglir. Dan saat dia menerima sebuket bunga dari kakaknya, dia mendengar "I know you can do it, sist. Dari dulu aku tahu kamu selalu punya caramu sendiri. Kamu memiliki daftar keinginan yang jelas, itu membuatku iri. You know how to live, itu yang aku nggak punya. Di usiamu yang masih muda, kamu sudah tahu ingin jadi apa, sesuatu yang tidak kupunya hingga aku seusia sekarang. Jika kamu iri karena mama papa sering membangga-banggakanku dan memaksamu untuk jadi sepertiku, aku justru iri padamu. Kamu punya cara sendiri, tujuan sendiri, dan yakin pada dirimu sendiri. Aku ingin spontanitasmu, kerianganmu, kemampuanmu untuk selalu tertawa-tawa, dan sikap impulsifmu. Hidupmu jauh lebih hidup daripada hidupku. Dan yang paling kusyukuri, kamu tidak mengikuti perkataan semua orang untuk menjadi sepertiku."

Lalu, sepasang mata itu mengalirkan air mata kian deras. Khayalannya pun mengembara ke suatu hari di masa lalu di mana di masa itu dia tidak berlagak cuek, alih-alih tertawa di hadapan semua orang.
Dia tertawa karena berhasil meraih semua impiannya.
Dia tertawa karena berhasil mematahkan semua stereotype dari orang yang selalu underestimate terhadapnya.

Dan, si adik itu adalah saya.


Love, iif
SHARE:
2 Comments

Sebuah Frasa Dari Antologi Rasa

2 comments
I'm back. Do you miss me?

Pfiuhhh, inilah postingan pertama saya setelah lebih kurang sebulan tidak menuliskan apa-apa di 'rumah' ini. Dan, sebagai sapaan pembuka, saya ingin membicarakan sebuah buku yang sukses membuat saya jungkir balik setengah hidup.

Antologi Rasa by Ika Natassa.

Bukan. Saya ada disini bukan untuk mengomentari atau mencoba peruntungan dengan melakukan review -percayalah, sudah banyak orang, dan tentunya lebih berpengalaman dari saya yang mengomentari novel ini-. Saya disini untuk menyapa Anda semua dengan sebuah frasa yang membuat saya tidak bisa menghela nafas.
Frasa ini bukanlah kalimat didalam cerita, melainkan terdapat di ucapan terima kasih. Meski begitu, kekuatan kalimat ini sangatlah luar biasa -setidaknya untuk saya. Karena kalimat inilah saya bisa mengais-ngais semangat saya yang sempat terkikis akibat kepercayaan diri yang mendadak hilang dan emosi yang tidak menentu.
Beginilah bunyi kalimatnya:

"And now I am going to leave with you with a short paragraph that my best friend text me on a new year's eve a couple of years ago and I hope this will lead you to do something that will change your live forever, like it did mine:

"As we grow up, we learn that even the one person that wasn't supposed to ever let us down, probably will. You'll have your heart broken and you'll break other's heart. You'll fight with your best friends and maybe even fall in love with them, and you'll cry because time is flying by."

So take lots picture, laugh a lot, forgive freely, and love like you've never been hurt. Life comes with no guarantees, no time outs. no second chances. You just have to live to the fullest, tell someone what they mean to you, speak out, dance in the pouring rain, hold someone's hand, comfort a friend in need, fall asleep watching the sun come up, stay up late, and smile until your face hurts. Don't be afraid to take chances or fall in love and most of all, LIVE IN THE MOMENT because every second you spend angry or upset is a second of happiness you can never get back."

So people around there, pahamilah makna frasa ini. Semoga kamu, Anda, kalian semua juga bisa merasakan perubahan seperti yang telah Ika Natassa -dan saya- rasakan.

Sebelum saya pergi, mari bersama-sama kita mengucapkan mantra ini: "I HAVE TO LIVE TO THE FULLEST!!!"

love,
iif
SHARE:
2 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig