(Caution: this post will
be very long and contain my curhat securhat-curhatnya. Not about Chester, but
about my life)
Pagi
itu, saya terbangun sekitar pukul lima. Seperti biasa, saya langsung meraih handphone yang tergeletak di lantai di
dekat kasur. Dengan mata masih setengah terbuka, dengan nyawa setengahnya masih
berada di alam mimpi saya menyalakan handphone
dan membaca pesan yang masuk semalaman.
Salah
satunya membuka mata saya. Tidak, tepatnya membuat saya terbelalak.
Isinya
begini.
“If, Chester meninggal. Bunuh diri.”
Sekilas
isi pesan ini seolah membicarakan seseorang yang dekat dengan saya. Lalu, saya berpikir kira-kira Chester siapa yang dimaksud, dan hasilnya nihil. Mungkin
karena masih pagi dan saya belum 100% sadar.
Saya
pun membalas. Dan terjadilah percakapan ini.
“Who?”
“Chester Bennington. Vokalis Linkin Park.”
Oke,
ini tidak mungkin.
Saya
masih denial, sampai saya masuk ke
salah satu grup WhatsApp dan mendapatkan berita yang sama. Saya pun masih denial.
Akhirnya, ketika membuka Google Trend, website yang selalu saya buka setiap
buka demi pekerjaan, nama Chester Bennington bertengger di posisi pertama. Dengan
tangan gemetar, saya mengklik nama itu dan langsung menuju ke media besar luar
negeri dengan headline yang nyaris
sama.
Chester Bennington died at
41.
Otomatis
saya langsung 100% sadar. Namun dalam hati saya masih denial. Meskipun timeline
Twitter, Instagram, dan Path semuanya membicarakan kabar ini, dalam hati saya
masih berharap ini hoax.
But sometimes reality
suck. Now, reality took away someone who I look up to while I was growing up.
Our music hero, he’s no
longer here.
He’s Everyone’s Hero
I may not be their avid
fans. I’m just a casual listener. But there’s a part in my heart for them,
especially while I was growing up or when I was at my lowest point. I scream
about life through Chester’s voice.
Saya
pertama kali mengenal Linkin Park ketika kakak sepupu memutar lagu In The End. Lalu, di MTV (yup, saat itu
MTV sedang berjaya dan literally being
music television) lagu mereka sering diputar. Dengan Bahasa Inggris yang
terbata-bata, saya mencoba memahami makna lagu itu.
Saya
mungkin enggak begitu memahami apa yang mereka sampaikan. Namun saya bisa
menangkap kesan anger and vulnerable
di dalam lagu-lagu mereka. Chester is
crying for help or shouting his anger about life. Later I know that mereka
memang menyuarakan isi hati banyak orang dalam lagu tersebut.
Including me. Sebagai seseorang yang
tidak terbiasa dan tidak berani untuk speak
up dan lebih sering memendam perasaan sendiri, saya merasa diwakili oleh
mereka. Apa yang ingin saya sampaikan tapi sayangnya hanya bisa menggema dalam
benak, akhirnya terwakilkan dalam lagu mereka.
I shout with him. I scream
with him. I cry with him.
Dan
bukan saya saja. Banyak orang yang menjalani masa remaja di early 2000 merasa kalau lagu-lagu ini
mewakili apa yang mereka rasakan.
Bertahun berlalu, mereka terus melahirkan lagu. Masih
sama, masih mengandung anger and
vulnerable. Sampai
akhirnya beberapa bulan lalu mereka merilis album One More Light. Banyak yang kecewa dengan perubahan musik mereka. Saya
pun mempertanyakan hal yang sama, menginginkan mereka yang dulu karena saya
ingin berteriak bersama Chester lagi.
Namun
satu hal yang tidak berubah. Anger and
vulnerable.
Juga,
lagu mereka yang mewakili perasaan saya. Di saat saya tidak tahu harus berkata
apa sementara ada banyak hal memenuhi benak, saya berteriak bersama Heavy dan Nobody Can Save Me.
Dan
juga, membuat saya tersenyum bersama One
More Light
My Top 10 Linkin Park’s
Song
Ada
masanya Chester Bersama Linkin Park menjadi panutan, the cool squad all over the world. Berbekal MTV dan radio, saya
tumbuh bersama lagu mereka.
And to celebrate the life
of Chester Bennington, this is my top 10 Linkin Park’s song who saves me
through the year.
(Butuh
pertimbangan panjang untuk menentukan sepuluh lagu ini karena kalau
dipikir-pikir tentu saja jumlahnya lebih dari 10. Every song from them has their own story and I can relate to them in so
many ways)
In the End
Meski
dirilis tahun 2000, lagu ini baru memberikan pengaruhnya di hidup saya 2-3
tahun kemudian, tepatnya ketika saya duduk di bangku SMP. Saya berada di kelas
unggulan, dengan murid super pintar (mungkin bukan hanya di sekolah tapi di
seluruh kota karena SMP saya juga sekolah unggulan).
Di
usia belasan awal, saya sudah berhadapan dengan teman-teman yang kompetitif and maybe a lil bit ambitious (I realize it
years later). Di saat itu, saya merasa tertinggal. I’m not that clever dan saya merasa salah tempat. Ditambah dengan
ekspektasi orangtua yang yakin saya bisa mendapat ranking tinggi. Ketika saya
membawa rapor dengan ranking standar, saya merasa sudah mengecewakan mereka.
I tried but I failed. Sempat saya menyalahkan
diri sendiri, berkata saya bodoh, melakukan hal curang for the sake of I got high ranking. But in the end? Later I know that
it doesn’t matter. Mendapat ranking rendah, it doesn’t matter. Enggak bisa paham Fisika? Well, it doesn’t matter.
Meski
saat itu, hal tersebut sangat matter.
Namun
di titik terendah dan di saat saya capek belajar, saya akan melempar buku
pelajaran lalu mengambil novel dan menyanyikan lagu ini. Believe that in the end it doesn’t matter.
Crawling
Dengan
Bahasa Inggris terbata-bata, saya mencoba memahami lagu ini. And I found the song of my life. Insecure,
don’t have a confidence, merasa diri selalu kurang dalam hal apa pun, dan
ketika melihat teman-teman yang pede dan yakin dengan dirinya, saya merasa
kalau I’m nothing.
Lalu
lagu ini menemani saya mencari tahu siapa diri saya sebenarnya. Berkali-kali
saya request lagu ini ke radio, karena ingin berteriak bersama Chester
sekaligus bertanya siapa diri saya sebenarnya? What I want in my life? What I want to achieve? What’s the meaning of
life? Beribu pertanyaan yang memenuhi benak sembari berbaring menatap
langit-langit kamar.
Somewhere I Belong
Sejak
kecil, saya sering merasa lost. Merasa
tidak diterima. Merasa tidak nyaman saat bersama orang lain. Saya cukup
kesulitan menemukan orang-orang yang benar-benar paham isi pikiran saya tanpa
nge-judge or side eyeing me.
Saya
sekolah di SD yang cukup jauh dari rumah, terpisah dengan teman-teman di
lingkungan tempat tinggal sehingga ketika akhirnya saya bermain bareng, saya
tidak bisa nyambung. Hal ini terus berlanjut ke jenjang endidikan berikutnya, juga lingkup pergaulan selanjutnya. Saya sering merasa lost dan tidak nyambung dengan lingkungan, bahkan hingga sekarang. Karena itu, sejak dulu saya mendambakan petualangan sehingga saya benar-benar menemukan tempat yang cocok.
Awalnya
saya memaksakan diri untuk fit in tapi
lama-lama saya merasa capek. Pada akhirnya, saya mencoba ‘keluar’ dan mencari
mereka yang bisa membuat saya nyaman dan benar-benar paham dengan saya, dan
saya juga memahami mereka. Termasuk keluar dari kampung halaman yang membuat saya merasa tercekik dan mencoba mencari tempat lain yang lebih cocok.
Bagaimana
kalau saya tidak menemukan mereka? Well, I
still have myself.
In Between
Have you ever pretended to
be someone else because you think this is the only way people would accept you?
Well, I did.
Ketika
mencoba untuk fit in, saya menjadi
pribadi lain. Pribadi yang sesuai dengan yang diinginkan orang lain. They see me as a chill, cool, and outgoing
girl. But deep in my heart I know that’s not me.
Pretending to be someone
else is suck.
Berada di tengah-tengah alias in between
juga suck. Beruntung saya sudah
melewati hal ini dan sama sekali tidak ingin kembali ke masa-masa itu.
Numb
Lagu
ini kurang lebih menggambarkan hubungan saya dan kakak. She’s so perfect, at least in my eyes. I was look up into her, I adore
her, and yeah I wanna be like her. She’s smart, pretty, feminine, everybody’s
sweetheart. Saya bertekad ingin menjadi seperti dia, dan salah satu hal
gila adalah mengikuti jejak sekolah dia. Saya harus masuk UI, apapun yang
terjadi. Karena jika saya tidak masuk UI, maka saya kalah dan saya tidak suka
kalah dari dia.
This is a battle that I face
alone. Lama-lama
saya capek sendiri. Berperang tanpa lawan dan tanpa tujuan.
Namun
dulu, saya benar-benar mencoba segala cara untuk memenuhi ekspektasi
orang-orang kalau saya bisa seperti kakak. Ekspektasi yang bikin capek dan
serba salah.
Perang
ini berakhir bertahun-tahun kemudian, ketika di suatu hari si kakak berkata. “I want to be like you, reckless and
impulsive. Because I feel tired to live like this.”
At that time I realize
that her life is not always like a cotton candy. She has her own struggle, just
like me.
In the end, I said to
myself that I want to be more like me and be less like her. It takes time until
I can accept myself, but it’s okay.
Faint
Frasa
‘I won’t be ignore’ benar-benar
mengena di hati. Siapa, sih, yang suka diabaikan? Namun sayangnya seringkali
kita merasa diabaikan. Dalam kasus saya adalah apa yang saya inginkan dianggap
remeh dan saya dipandang sebelah mata. Berkali-kali saya mendengar orang
mengejek impian saya dan mengabaikan kenyataan kalau saya mampu meraih impian
itu.
Akhirnya?
Saya pernah mempertanyakan kemampuan diri saya.
Bertahun
berlalu, sampai sekarang, lagu ini masih menjadi jeritan hati saya.
Leave Out All the Rest
Salah
satu ketakutan terbesar saya adalah kematian (I will write about this in my next post). Sejak dulu saya sering
bermimpi soal kematian, termasuk kematian saya sendiri. Setelah terbangun saya
selalu bertanya-tanya, what will happen
when I’m no longer here?
Dua
lagu yang selalu mengingatkan saya akan ketakutan ini adalah The Spirit Carries On by Dream Theatre
dan Leave Out All the Rest by Linkin
Park.
Ketakutan
ini yang akhirnya membuat saya untuk mencoba living in the moment and doing my best karena saya ingin meninggalkan
sebuah kenangan manis.
My December
Berbeda
dengan kisah di balik lagu yang lain, khusus My December simply because I like December. No, I love it. Saya pernah
protes kepada mama kenapa enggak dilahirkan di Desember? Jika ada kehidupan
selanjutnya, saya sangat ingin lahir di Desember.
Desember
itu sebuah akhir, sekaligus jembatan ke sebuah awal yang baru. Meninggalkan dan
menyambut hidup baru. Kontradiktif, dan sebagai penyuka hal-hal yang kontras,
saya pun jatuh cinta pada Desember.
Waiting for the End
Selain
kematian, ketakutan terbesar saya lainnya adalah salah memilih dan akhirnya
menciptakan chaos. Hal ini terjadi
beberapa kali. Skalanya berbeda-beda tapi selalu berhasil membuat saya freak out. Jika berada di situasi ini, Waiting for the End adalah jawabannya.
Chaos itu akan selalu ada. Enggak
selamanya kita selalu mengambil keputusan yang salah. Bagi saya, ini adalah
salah satu proses pendewasaan yang harus dijalani. Yaitu, ketimbang menunggu
badai ini reda, saya harus mencari cara untuk menempuh badai tersebut sampai
akhirnya badai itu berlalu.
Again, it’s not easy. Never
be easy.
Nobody Can Save Me
Ini
salah satu lagu di album terbaru Linkin Park yang sangat cocok dengan keadaan
saya. Sekitar dua bulan lalu saya berada di titik gamang. Saya dihadapkan pada
keharusan untuk memilih, apapun nantinya yang saya pilih akan membuat hidup
saya berubah. And it’s not easy. It never
be easy. Because it’s life and life never be easy, right?
Saya
bukan seseorang yang bisa ngobrol heart
to heart dengan mama. Namun saat itu saya bercerita banyak. Mungkin di sepanjang
hidup saya, itulah masanya saya bicara dari dalam hati bersama mama. Saya menyampaikan
semua keraguan yang saya rasakan. Tidak mudah memang karena akhirnya kami
kembali bersitegang, seperti biasa.
Namun
ada satu perkataan mama yang melekat di benak saya. “In the end, nobody can save you. You only have yourself. Not me, not
your father, not your sister. So you have to think before you make a decision.”
Keesokan
harinya, di tengah perjalanan ke kantor, lagu ini mengalun begitu saja dari
Spotify yang saya atur dalam mode shuffle.
Perkataan mama malam sebelumnya kembali terngiang.
In the end, I only have
myself and only me can save myself.
Special
Mention: One More Light
Lagu
ini paling berbeda di album yang berjudul sama. Paling enggak kekinianlah,
sederhananya. Lagu ini juga menjadi lagu favorit saya di album ini. Chester selalu
emosional ketika menyanyikannya, mungkin bikin dia ingat Chris Cornell.
The thing is, lagu ini berisi
pengharapan.
“If they say, who cares if
one more light goes out, in the sky of million stars, it flickers, flickers.
Who cares when someone’s
time runs out if a moment is all we are, or quicker, quicker.
Who cares if one more
light goes out. Well I do.”
One more light goes out
and the light named Chester Bennington. He may not be here anymore but his
legacy will still remain. At least for me, because his song makes my teenage
life feel less shitty. When he’s crying for help, he helped me to know who I am.
When he’s asking for help, he saves my life. When he’s shouting his anger, I scream
with him and he makes me found courage to speak up.
XOXO,
iif