Cerita Dari Secangkir Kopi
Ifnur Hikmah
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Asap
yang sejak tadi mengepul dari cangkir kopi di atas meja di hadapanku ini sudah
lenyap. Aku yakin kopi itu sudah dingin. Namun, aku masih bertopang dagu di
sini. Melihat layar laptop yang masih menampakkan halaman kosong.
Dan
John Mayer sudah menyanyikan beberapa lagu.
Dari
jendela di depanku, aku bisa melihat semua kejadian di luar coffee shop ini. Motor yang terparkir
rapi. Tukang parkir yang mengibaskan topi lusuhnya, berusaha mengusir panas
yang luar biasa menyengat siang ini. Sepasang bule paruh baya yang berjalan
pelan sambil berpegangan tangan. Remaja cewek yang tengah merajuk di depan seorang
cowok—mungkin pacarnya. Seorang cewek memakai high heels yang kesulitan memegang payung dan beberapa buku
sekaligus. Ibu-ibu dengan plastik belanjaan. Musisi jalanan dengan kaos putih
dan jins belel.
Ada
banyak cerita terjadi di luar sana.
Ada
banyak cerita bermain di benakku.
Kuteguk
cangkir berisi kopi hitam pekat itu. Sudah dingin. Tapi aromanya masih tercium
tajam.
Kopi
dingin sudah menjadi temanku menunggu.
**
Apa
yang terjadi sebelum secangkir kopi hangat berubah menjadi dingin?
“Kopi
Aceh Gayo.”
Aku
mengangkat kepala dari layar laptop yang selama beberapa jam terakhir memenuhi
pandanganku. Mataku sedikit menyipit menyambut cahaya matahari sore yang
menyala terang dari jendela lebar di belakangnya.
“Kapan
kamu datang?”
“Ck
ah…” Dia mendecakkan lidah, seraya meletakkan secangkir kopi hangat ke
genggamanku. Aromanya kuat dan wangi. Menusuk tapi juga menenangkan.
Kudekatkan
hidung ke atas cangkir dan menghirup aromanya dalam-dalam.
Aku
tidak terlalu menyukai kopi—juga bukan penggemar berat kopi. Kopi yang aku tahu
hanyalah kopi sachet yang suka
diseduh papa dulu sore-sore sepulang kerja atau kopi Starbucks yang suka
kupesan kalau lagi bertemu Val, editorku.
Namun
dia? Dia berbeda. Penggila kopi yang isi otaknya hanya dua, kopi dan kerja.
Karena dia, aku jadi ikut mencicipi banyak kopi. Termasuk ini. Kopi Aceh Gayo.
Favoritnya. Alasan sentimental karena almarhumah ibunya berasal dari Aceh
seringkali diungkapkannya setiap kali datang membawakan kopi ini untukku.
“Baru,
sih,” ujarnya seraya duduk di depanku, dengan secangkir kopi yang sama.
Aku
ikut meneguk kopi itu. Aromanya yang pahit tapi terasa gurih mengaliri
kerongkonganku.
“Bagaimana
Aceh?”
“Seperti
biasa. Aku hanya mampir sebentar, ketemu Papa, trus ke Jakarta karena deadline.”
Aku
mengangguk. Pahit kopi di lidahku mungkin enggak sama seperti pahit yang
kurasakan di dalam hati.
Pergi
dan datang begitu saja. Aku pernah menyebutnya begitu. Tidak pernah menetap di
suatu tempat dalam jangka waktu lama. Alasan klasik atas nama pekerjaan selalu
diungkapkanya, membuatku kesal dan mengutuk diri sendiri karena tahu aku tidak
bisa berbuat apa-apa untuk membuatnya bertahan.
Aku
menatap kopi di hadapanku. Sebelum kopi ini dingin, aku yakin, dia akan pergi
lagi.
“Rash,
aku pergi dulu, ya. Si bos nunggu, ada editan yang bermasalah katanya.”
Aku
tersenyum tipis tapi meringis dalam hati. Kopi di hadapanku masih mengepulkan
asap, tapi dia sudah pergi.
Selalu
seperti itu.
**
Penantian.
Itu yang terjadi ketika kopi yang tadinya panas mulai kehilangan kehangatannya.
“Bagus,
katamu kamu mau pulang minggu ini. Buktinya?” Telepon malang ini jadi
pelampiasan amarahku.
Sementara
seseorang yang mengusik emosiku hanya tertawa, di seberang sana.
“Minggu
depan. Aku janji bakalan pulang minggu depan.”
Kali
ini cangkir putih berisi kopi hitam yang sejak tadi kuanggurkan menjadi sasaran
kekesalanku. Aku meneguk kopi itu, membuat mataku langsung menyala lebar begitu
cairan pahit itu mengaliri kerongkonganku.
“Kamu
tahu…” Aku berusaha berkata setelah menelan kopi itu. “Aku udah enggak percaya
padamu lagi. Minggu depan katamu? Sampai kamu muncul di depan pintu rumahku,
aku enggak akan pernah percaya.”
Sekali
lagi, dia hanya tertawa.
“Rashi,
aku kangen kamu.”
Meski
aku masih ingin menyemburkan omelan, ucapan itu membuat hatiku berdebar. Tanpa
bisa dicegah, sebaris senyum menghias bibirku.
Tanganku
terulur meraih cangkir kopi yang hampir habis. Perlahan, aku meneguk kopi itu. Kali
ini dia tidak datang. Aku tidak perlu menunggu kopi ini hingga dingin untuk
melihat kepergiannya.
**
Kesabaran.
Itu yang terjadi ketika secangkir kopi tidak lagi mengalirkan kehangatan.
“Sama
kayak kopi. Kalau dibiarin gitu aja, enggak disentuh, lama-lama juga jadi
dingin. Hati lo itu persis kopi yang dicuekin abis dipesan.” Val berkata tajam.
Aku
hanya menyunggingkan senyum tipis, tapi dalam hati membenarkan ucapan Val.
“Kapan
terakhir dia enggak terburu-buru? Kapan terakhir kali lo ngabisin waktu berdua
sama dia tanpa terganggu panggilan bosnya atau jadwal penerbangan yang harus
dia kejar? Gue yakin lo pasti udah lupa, saking lamanya.” Val masih terus
mencecarku.
Hubunganku
dengan dia memang tidak seperti hubungan pasangan kekasih lainnya. Tidak ada
cerita bersama dalam waktu lama, aku yang sekadar bermanja di pelukannya, atau
dia yang menemaniku saat merasakan sakit perut setiap bulan ketika haid. Tidak
ada dia yang punya banyak waktu untuk mendengarkan aku menuturkan soal cerita
yang tengah kutulis, atau menghiburku ketika otakku mampet dan enggak mampu
menghasilkan kata-kata.
Tidak
ada cerita manis.
Awalnya
hubungan ini terasa menantang. Seperti kopi hangat yang disuguhkan di sore hari
di tengah hujan lebat. Menantang untuk diteguk karena bisa mengalirkan
kehangatan. Dia seperti itu, hadir ketika aku dilanda bosan dan diajak
bertualang mengikuti pekerjaannya yang enggak kenal waktu. Naik turun gunung
demi sebuah tayangan selama 30 menit di televisi, mengunjungi pantai demi
pantai demi tayangan sebanyak satu episode, memasuki perkampungan yang tidak
pernah kukenal demi sebuah video untuk stasiun televisi tempat dia bekerja.
Awalnya
itu semua menyenangkan.
Namun,
lama-lama jadi melelahkan.
Aku
tidak bisa mengikutinya terus menerus. Hingga akhirnya aku menyerah dan memilih
untuk menunggu dia datang. Namun menunggu juga menjadi sesuatu yang melelahkan.
Kopi
di depanku sudah kehilangan asapnya. Sama seperti hatiku yang sudah kehilangan
kepercayaan untuk melanjutkan hubungan dengan dia.
**
Kehilangan.
Ketika akhirnya kopi sudah menjadi dingin dan aku harus merasa kehilangan.
“Bali
Kintamani. Rasanya enggak sepahit Kopi Aceh. Tapi bikin segar banget.” Sebaris
senyum menyudahi ucapannya.
Aku
menatap cangkir putih berisi cairan hitam pekat di atas meja dengan tatapan
kosong. Asap masih mengepul dari sana. Namun tidak ada lagi kehangatan di
hatiku.
Kali
ini, aku tidak perlu menunggu kopi itu hingga dingin sebelum melihat dia pergi,
karena di tegukan pertama, aku sudah menatap punggungnya yang menjauh.
Begitu
pintu menutup, aku membanting cangkir kopi itu ke lantai. Cairan itu
menggenangi lantai putih di hadapanku. Aku jatuh berlutut, dengan bahu
berguncang akibat isak tangisku yang tidak bisa dibendung.
Mataku
meradang ketika melihat kopi yang tergenang di lantai. Detik ini kuputuskan
untuk membenci kopi.
Aku
membenci dia.
**
Merelakan.
Secangkir kopi dingin menjadi saksi usahaku dalam merelakan kepergiannya.
Aku
tidak lagi meminta dia untuk kembali. Aku tidak lagi bertanya dia di mana. Aku
masih peduli, dalam hati aku masih mengingat dia, meski lidahku mengatakan
sebaliknya. Namun, aku tidak pernah meminta dia kembali.
Dan
dia tidak pernah kembali.
Aku
meneguk kopi dingin yang sejak tadi menemaniku. Rasa pahit mengaliri
kerongkonganku, bersatu dengan rasa pahit di hatiku.
Perlahan,
jariku bergerak di atas keyboard.
Menuliskan sebuah cerita.
Tahukah kamu arti sebuah rasa
pahit? Bukan, pahit bukan ketika kamu meneguk secangkir kopi karena setelahnya,
tubuhmu akan terasa hangat. Ini rasa pahit yang sebenarnya.
Aku akan menceritakan rasanya.
Pertama-tama, siapkan secangkir
kopi di dekatmu. Sebelum kopi itu dingin, aku akan menceritakannya.
Semua berawal dari seorang
perempuan dan laki-laki yang saling jatuh cinta.