Payung Ungu Amela

5 comments
Payung Ungu Amela
(Oleh: Ifnur Hikmah)



Amela melempar payung berwarna pink bergambar Hello Kitty pemberian ibunya. Wajahnya ditekuk, mengakibatkan pipi tembemnya tambah menggembung.

Laras, ibu Amela, hanya bisa menghela nafas panjang. Ini payung ketiga yang ditolak Amela, putri semata wayangnya.

“Sayang…”

Amela bahkan menepis tangan ibunya yang hendak membelai lembut rambutnya. Dia menggeser posisi duduknya hingga membelakangi ibunya.

“Sayang, besok kamu pakai payung baru ini ya. Payung lama kamu sudah rusak. Mama nggak mau kamu sakit karena kehujanan.” Mata Laras tertuju ke sebuah payung berwarna ungu yang tergeletak di teras depan.

Payung itu sudah rusak, sudah tidak layak pakai. Warna ungunya pun bahkan sudah tertutup noda kehitaman. Beberapa ruas sudah tidak berfungsi sehingga siapapun yang memakainya akan kehujanan.

Namun Amela tetap bersikeras menggunakan payung itu, meskipun akibatnya dia masih harus terguyur hujan.

***

Payung keempat. Bergambar tokoh games kesukaan Amela, Angry Bird. Berwarna merah.

Namun, untuk yang keempat kalinya pula Amela menolak. Dia bahkan melempar jauh-jauh payung itu hingga terdampar di taman bunga kecil yang ada di depan rumahnya.

“Amel nggak mau payung baru,” jeritnya.

Tanpa mempedulikan ibunya yang terus membujuknya dengan payung baru, Amela berangkat ke sekolah. Tidak lupa dia menenteng payung ungu lusuh miliknya.

***

Jakarta kembali diguyur hujan siang ini. Laras rela melewatkan jam makan siangnya demi menjemput putri kesayangannya di sekolah.

Laras berdiri di depan kelas Amela, menunggu jam belajar usai. Di tangannya ada dua payung. Payung berukuran besar berwarna coklat dengan motif kembang miliknya dan payung Angry Bird yang tadi pagi menjadi sasaran amukan Amela.

Kring…

Satu per satu murid berhamburan keluar kelas. Beberapa diantara mereka langsung menuju ke orang tua atau baby sitter yang menunggu mereka dengan payung d tangan. Laras mendongak, mencari-cari keberadaan Amela di tengah-tengah keriuhan itu.

“Mama kamu nggak beliin kamu payung baru?”

Sebuah suara menyentak Laras. Dia berbalik dan melihat tiga orang murid berseragam putih merah masih duduk di dalam kelas. Salah satunya adalah Amela. Laras pun segera menghampiri putrinya.

Dilihatnya Amela mengangguk sambil mencoba memperbaiki payung ungu lusuhnya yang sudah rusak.

“Kenapa masih pakai payung jelek ini?”

Amela mendongak. Dari jarak dua meter, Laras bisa melihat sorot kemarahan di mata Amela. sorot yang selalu dilontarkannya jika ada yang menyinggung payungnya.

Laras menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. Sampai kapan kamu bersikap seperti ini, Amel?

“Ini payung dari papaku.”

Kalimat singkat itu menghantam dinding hati Laras. Air matanya bahkan jatuh tanpa dibendung.

“Ini hadiah dari papa di hari ulang tahunku. Aku akan terus makai payung ini sampai papa pulang.”

Tapi papamu tidak akan pulang, nak. Dia telah meninggalkan kita. Mungkin butuh waktu lama agar kamu bisa mengerti arti cinta dan betapa menyakitkannya sebuah perselingkuhan, nak. Mungkin akan butuh waktu lama sampai kamu berhenti membenci mama karena telah membuatmu terpisah dari papamu, bathin Laras.

Laras menghapus air matanya ketika Amela sampai di hadapannya.

“Kita pulang nak,” ujarnya seraya menyerahkan payung bergambar Angry Bird.

Namun Amela hanya melenggang di hadapannya dengan payung ungu lusuhnya.


SHARE:
5 Comments

Alasan

Leave a Comment
Alasan
Oleh: Ifnur Hikmah
(Another Carissa + Mike Story)



Immigrant, 23.10

Segelas orange juice tergeletak di atas meja. Orange juice, Carissa? Jika bisa sudah kutoyor kepalaku sendiri. Betapa hinanya meminum orange juice di dalam club dan aku sadar akan hal itu. Namun aku tidak butuh alkohol untuk membuatku teler.

Toh aku telah teler bahkan sebelum setetes alkohol menyentuh lidahku.

Semuanya karena seorang pria yang tengah berada di Bandung sana. Pria yang menggetarkan hatiku dan memaksa setengah isi otakku memikirkan dia. Memikirkan hubungan kita.

Semuanya memang masih begitu cepat. Dua minggu yang diawali dua hari petualangan singkat di Gili Trawangan. Ketertarikan fisik yang kemudian ikut menyeret hatiku untuk berperan di dalamnya.

Aku tidak tahu yang kurasakan ini apa. Jatuh cinta kepada Michael? Sosok itu memang bisa membuat siapa saja jatuh cinta, tapi sosok itu juga bisa membuat setiap perempuan berpikir seribu kali untuk jatuh cinta karena ada kekecewaan mengintip di baliknya.

Bahkan perempuan sepertiku pun masih berpikir sekian kali.

Meski fisikku selalu bereaksi setiap kali berada di dekatnya.

Makna cinta telah kabur diantara kami. Petualangan demi petualangan telah membuat cinta menjadi sesuatu yang tidak lagi kami mengerti. Ah, kembali aku menggeneralisir.

Michael memang berkata dia mencintaiku, tapi aku yakin, cinta tidak akan tumbuh di waktu sedini ini.

Dan ketika rindu menggayuti tubuh dan hatiku, kembali aku mempertanyakan keyakinanku barusan.

“Turun yuk.” Jean menghampiriku, untuk yang kesekian kalinya.

Dan untuk yang kesekian kalinya aku menggeleng.

“Kenapa?”

“Udah bukan umur gue lagi, Jean, seru-seruan kayak kalian.” Itu alasan yang menjadi senjata utamaku malam ini.

Jean menatapku seolah-olah aku ini alien. “Tumben ngomong begitu.”

Aku hanya tersenyum tipis. Bahkan kepada Jean, sahabatku satu-satunya, aku merahasiakan kegundahanku.

“Udah sana. Senang-senang, mumpung gue traktir.”

Alih-alih mengikuti ucapanku, Jean malah duduk di sebelahku. “Ada masalah dengan Michael?” tembaknya.

Aku menggeleng.

“Terus?”

Bukan Jean namanya jika tidak cerewet seperti ini. “Gue dan Mike baik-baik aja.” Kembali terbayang sketsa wajahku yang ditinggalkan Mike tadi pagi. Ah, aku kangen dia. Ingin rasanya meneleponnya tapi baru beberapa menit yang lalu dia berkata sudah bertolak dari Bandung menuju Jakarta.

“Are you falling in love with him?”

“Eh?”

Jean terkekeh. “Gue belum pernah lihat lo kayak gini.”

“Lo ngomong apaan sih?”

Jean menatapku dengan tatapan menggoda. “C, I know you very well dan gue tahu kalau lo udah bingung gini itu artinya lo sudah tertarik sama orang lain. In this case, that man.”

“Apaan sih? Gue nggak ngerti.”

“Tapi kali ini beda.” Jean makin menceracau nggak jelas. “Biasanya lo masih bisa menguasai diri, tapi kali ini nggak. Cowok ini, si Mike ini, well gue nggak tahu apa yang udah dia lakuin sampai-sampai lo jadi selinglung ini.”

“What are you talking about, Jean?”

“Your feeling,” jawab Jean cepat, “mulai dari di Bali, kedekatan lo berdua, liburan singkat ke Gili, dia yang tiba-tiba suka muncul di butik, itu yang bikin lo bingung. Lo nggak pernah menghendaki kehadiran dia, tapi sejak dia hadir, lo menikmatinya.”

Aku terdiam, tidak lagi berpura-pura tidak mengerti arah pembicaraan Jean.

“Lo tahu apa yang paling banyak di dunia ini?”

Aku menggeleng.

“Alasan. Dan lo selalu punya banyak alasan untuk mengingkari kata hati lo dalam segala hal, termasuk kata hati lo yang bilang kalau lo tertarik kepada Michael dan you falling in love with him.”

“Bukan gitu, Jean…” Aku berusaha membantah, tapi aku tidak tahu harus membantah dengan kalimat apa.

Jean berdiri. “Gue aja capek ya, C, dengerin lo beralasan terus. Memangnya lo nggak pernah capek nyari-nyari alasan?”

Sehabis berkata begitu, Jean meninggalkanku yang terbengong seorang diri.

Capek? Entahlah, Jean. Probably.

Immigrant, 01.00

“Kamu pulang aja ya, sayang.”

Kudengar Michael menghela nafas berat di seberang sana.

“Kamu nggak usah ke apartemenku. Kayaknya aku masih lama di Immigrant dan kamu udah capek bukan? Jadi lebih baik kamu pulang ke apartemenmu aja.”

“Are you okay, hon?”

“I’m okay.” Bohong. Jawaban yang sebenarnya adalah aku tidak baik-baik saja, hon. Club ini ramai tapi aku merasa sepi. Terpojok sendiri dengan kekalutan pikiranku. Terlebih, omongan Jean yang menusuk membuatku kian bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku meneleponmu dengan tujuan suaramu bisa menenangkanku. Namun aku salah perhitungan, karena yang terjadi aku malah kian merindukanmu.

Padahal yang kubutuhkan hanyalah waktu untuk berdiam seorang diri agar bisa berpikir.

Sial. Who am I? Aku bukanlah Carissa yang bisa dengan mudahnya diombang ambing perasaan, tetapi malam ini, yang ada di sini adalah Carissa yang tidak tahu harus berbuat apa karena terlarut dalam perasaan.

Shit. Bring back the real Carissa, please?

“Aku kangen kamu.” Refleks kalimat itu meluncur dari bibirku.

“Aku juga kangen kamu.”

Buru-buru kuputuskan sambungan telepon sebelum lepas kendali dan merengek di telepon menyuruh Michael menghampiriku.

Jean’s Car, 02.15

“Gue jadi nginap di apartemen lo ya. Kita anterin Mayang dulu, baru ke tempat lo. Muter sih, tapi ya gimana lagi.”

Aku hanya mengangguk ringan menanggapi ucapan Jean.

Mataku teralih ke jalanan di luar. Jakarta yang masih saja berdetak meski hari telah berganti.

Aku tersentak saat mataku menatap Setiabudi Residence di sisi kananku. Ada seseorang di sana, seseorang yang memenuhi pikiranku sejak tadi.

“Kita ke Setiabudi Residence.”

“Hah?”

“Drop me there.”

“What?”

“Udah, lakuin aja apa yang gue bilang.”

Setiap kata-kataku tidak pernah bisa mendapat pembantahan dari Jean. Tanpa bertanya, dia membelokkan mobil masuk ke kompleks apartemen itu. Dan tanpa memberi jawaban pula, aku langsung turun dan berlari.

Berlari menuju seseorang yang bisa menenangkanku.

Setiabudi Residence, 02.37

Wondering where I am now? Berdiri di depan pintu apartemen Michael, menunggu sosok itu datang membukakan pintu setelah beberapa teleponku tidak diangkat. Mungkin dia sudah tertidur kelelahan akibat perjalanan Jakarta – Bandung.

Salahku juga datang dini hari begini.

Dan salahku juga tadi berpura-pura menolak kehadiran Michael dan memintanya datang esok, karena sekarang malah aku yang diburu rindu.

Aku tidak punya alasan apa-apa untuk tindakanku ini. Impulsif.

Kembali kuketuk pintu itu.

Dan jika Michael tidak membukakan pintu untukku, mungkin aku akan berdiam di sini sampai pagi karena aku tidak punya alasan untuk pergi.

Satu-satunya alasan yang kupunya ada di balik puntu ini. Alasan yang memaku kakiku di sini.

Pintu menjeblak terbuka. Sesosok tubuh dengan cat berlepotan di tangan dan kaos yang dikenakannya berdiri di hadapanku.

Refleks aku menghambur ke pelukannya. Kudekap tubuh itu erat, melampiaskan kerinduanku.

“Aku kangen kamu,” bisikku lirih.

Jean benar. Aku selalu punya alasan untuk apapun, termasuk untuk mengingkari kata hatiku.

Lama-lama, aku juga capek terus berdalih dengan berbagai alasan.


PS: Another Carissa + Mike Story. Balasan buat Rindu-nya @adit_adit. Dikutip dari twit @CPurnadiredja. Follow her if you want to know her daily life yang memang kadang nggak penting-penting amat juga, ;p

Carissa Story:
Drama
The Show Must Go On
Kopi
Love or Lust
Cemburu
Kamu Pukul Enam Pagiku

Baca juga yang versi @adit_adit
Perpisahan
Rindu
SHARE:
0 Comments

Will: Road To Istanbul

4 comments
Will, Always follow your dream


I’m a Gunner but I love this movie so much.

You don’t have to be a Liverpudlian to enjoy this movie.

It’s not about football, but it’s about love, journey, friendship, dreams, and faith.

Will, sebuah film berlatar belakang salah satu klub bola raksasa di Inggris, Liverpool, dan final Champions League 2005 di Istanbul.

Film diawali dengan seorang anak kecil bernama Will -11 yo- yang begitu menggilai Liverpool *terbukti dari poster dan segala tetek bengek Liverpool yang ada di sekitar tempat tidurnya*. Bagi Will, Liverpool bukan sekedar klub sepak bola, tapi itu perantara antara dia dan ayahnya yang sudah tiga tahun pergi (karena tidak sanggup mengatasi rasa sakit karena istrinya –ibu Will- meninggal) meninggalkannya di panti asuhan. Will punya satu buku sketch berisi gambar-gambar ayahnya saat sedang menonton Liverpool.

Lalu, suatu hari, ayahnya kembali.dan ingin mengajak Will untuk tinggal bersama. Mereka pun bercerita tentang sepak bola dan Liverpool. Surprise, ayah Will memberikan dua tiket final Liga Champions di Turki. Will senang setengah mati *Ya iyalah. Siapa yang nggak senang coba*.

Namun, mimpi Will harus kandas karena sang ayah meninggal dunia dan pihak sekolah tidak mengizinkannya pergi karena tidak ada yang menemani. Berbekal bantuan dua temannya, si nakal Richie dan si kutu buku Simon, Will kabur.

Menumpang sebuah truk secara diam-diam, Will sampai di Prancis dan bertemu Alek Zukic. Alek inilah yang kemudian mewujudkan mimpinya hingga Wll bisa berlari di dalam Ataturk Olympic Stadion, Turki, berjalan bersama Kenny Dalglish, pelatih Liverpool dan pemain idola ayahnya, bertemu Jamie Carragher, idola Will di mana selama perjalanan Will mengenakan jersey Carragher, terpana saat Steven Gerrard berbicara dengannya dan saat Will bisa mewujudkan impiannya: melihat tim kebanggaannya bertanding dan menyanyikan lagu kebangsaan You’ll Never Walk Alone bersama jutaan Liverpudlian di seluruh dunia.

You don’t have to love football to enjoy this movie.

Siap-siap tissue karena dari awal sampai akhir film ini benar-benar menguras air mata.

Well, ini agak subjektif sih. Mungkin buat lo yang nggak punya keterikatan emosi dengan salah satu klub bola, film ini cuma sekedar hiburan biasa. Tapi, jika lo berada di posisi Will, emosi lo akan benar-benar dipermainkan.

Everybody knows that I am a Gunner. Meski bermusim-musim tanpa gelar, I am always love them.

Mengikuti cerita Will bikin gue jadi semakin bertekad bahwa someday, I’ll fly to London and see my favorite club, Arsenal. Gue harus naik haji ke Emirates Stadium.

Namun, kalau melihat sisi lain dari film ini, yang bikin emosi gue makin diaduk-aduk adalah hubungan ayah-anak. Kalau gue suka Arsenal murni karena dorongan hati sendiri, maka gue menyukai Inter Milan because of my father.

Sejak usia enam tahun, gue udah akrab dengan bola. Menemani bokap nonton bola itu bukan hal asing lagi sejak gue masih TK. Selain sepeda, bola satu-satunya bentuk keterikatan gue dan bokap. Inilah pemersatu kita. Namun sayangnya, menjelang remaja hingga dewasa, momen-momen nonton bola bareng menjadi kian langka.

Gue ingat pertama kali nonton bola live Persija vs Semen Padang waktu kelas enam SD. Magic. Emosi di dalam stadion bener-bener luar baisa.

Dan sejak usia 6 tahun itu pula gue tahu dan akhirnya ikut-ikutan suka Inter Milan. *meski akibatnya sekarang sering dihina karena Inter kalah terus*.

Lalu, disaat terdengar kabar tanggal 24-26 Mei I Nerazzurri akan bertandang ke Jakarta, wajar kan kalau gue histeris banget? But, after I saw Will, gue jadi kepikiran satu hal.

I should see this game with my dad.

It’s not only my dream, but also his dream.

And see this game together is our dream.

17 tahun waktu yang gue tunggu-tunggu untuk pertandingan besar ini. Kali ini, gue bisa nyaksiin tim kesayangan gue dengan mata gue langsung, bukan layar 21 inchi yang kadang banyak semut karena sinyal yang kurang kuat di Bukittinggi sana.

Dulu, gue nangis kejer waktu nonton semi final AFF di GBK dan dari tempat duduk gue, gue bisa melihat Widodo C Putro. Saat itu juga gue nelepon papa dan bilang “Pa, percaya nggak kalau didepan Iif sekarang ada Widodo?” Saat itu papa cuma bilang “beruntung kamu nak.” Tapi gue akan lebih beruntung lagi kalau waktu itu, gue dan papa bisa sama-sama melihat Widodo.

Dan setelah nonton Will, gue semakin ingin nonton Inter Milan bareng Papa. Meksi untuk itu gue harus nerbangin papa dari Padang ke Jakarta. Gue nggak peduli harus hidup ala rakyat jelata karena ngalihin gaji ke tiket pesawat. Itu nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan gue saat nyaksiin Inter Milan langsung dengan mata kepala sendiri bareng bokap.

I have a dream and I’ll fight for it, just like Will did.

Gue memang nggak bisa ngajak papa nonton langsung di Milan, tapi untuk nonton di rumah peribadatan suci Gelora Bung Karno, untuk saat ini gue sanggup.

No new clothes. No new shoes. No more nongkrong-nongkrong bego di café-café manapun. No more jalan-jalan bodoh every weekend.

It’s all for my dream. My father dream. Our dream.

love, iif
SHARE:
4 Comments

The Coffee Shop Chronicles

Leave a Comment
Now I know why Ika Natassa has so much fun when she act as Alexandra Rhea Wicaksono @alexandrarheaw because it' sooooo fun. And now i do the same thing. And it's all because a silly-planless thing.

Semua berawal dari keasyikan gue melototin funny thing called Twitter. Tanggal pastinya gue lupa, tapi udah lumayan lama lah. Gue nemu kalau @adit_adit dan @wangiMS sibuk main FF berantai. Trus ada beberapa nama lagi yang juga sibuk ngelakuin hal yang sama. Didorong oleh rasa kepo yang luar biasa dan nggak mau kalah, ditambah kekurangkerjaan yang menggebu-gebu, jadilah gue kepengin ikutan. Awalnya sempat batal karena pulang kerja malam banget dan ngantuk. Tapi, dengan sedikit KKN masih diijinin submit cerita keesokan harinya.

Ini dia cerita yang gue submit. Drama.

Jadi, proyek iseng ini berawal dari surat yang dikirim Firah ke tokoh rekaannya Adit trus bleberan kemana-mana. Muncul tokoh-tokoh baru tapi masih terkait dengan tokoh yang udah ada sebelumnya. Lalu, jadilah buku ini....

The Coffee Shop Chronicles

*Info selengkapnya cek blog si empunya proyek, Wangi*

The funny thing is apa yang gue lakuin setelah proyek ini. Entah kenapa, tokoh cewek di cerita yang gue tulis ini stick in my mind and heart till now. Sayang aja rasanya ngebuang dia gitu aja *meski karakternya pantes buat dia dibenci semua umat di Coffee Shop*. Terlebih setelah itu, gue ama Adit dirasuki kreativitas berlebihan dengan membawa kisah itu ke kehidupan maya via akun twitter masing-masing. Semuanya berlangsung seru sampai one night, orang yang nggak disangka-sangka, ngomentarin twit gue. Karena gue berperan sebagai cewek nyebelin, ya pasti isi twitnya nyebelin dong. Nah, si-orang-yang-nggak-disangka-sangka-ini ngomentarin twit gue dan beranggapan kalau itu twit beneran dari hati gue. Dia sampai shock. Gila, image gue rusak. Terpaksalah gue berbusa-busa ngejelasin latar belakangnya.

Berangkat dari hal itu, gue nggak mau cari perkara lagi. Sabtu malam, 26 Februari 2012, sepulangnya dari #NBCJkt, dan iseng scrolling timeline dan baca timeline @alexandrarheaw, gue jadi kepikiran hal ini...

"Kenapa nggak bikin akun alter ego aja? Kan bisa bebas."

And it happen.

Just like.. boom...

Sehari, dua hari, tiga hari, dan nggak kerasa udah hampir seminggu aja. Yang awalnya ngomong sendiri jadi balas-balasan mention dengan akun karakter lain yang juga muncul di Coffee Shop dan cerita lain. Sampai kebentuk cerita sendiri.

My friend ask me: "Lo sebelumnya diskusi dulu sama temen-temen lo itu? Kalian ngetwitnya pakai draft 'abis ini mau ini trus ini'. Gitu?"

And the answer is NO. Ini pure tanpa skrip. Gue nggak tahu Adit bakal ngetwit apa, Rara bakal ngetwit apa, yang lain bakal ngetwit apa. Ini pure tanpa kongkalikong dibelakangnya. Pure sambar menyambar. Tinggal dipoles sama sedikit kreativitas dan hasrat ingin berdrama, maka jadilah suatu cerita.

Then, she ask me again: "Kok bisa nyambung?"

Let me tell you this: kelihatannya memang sepele tapi sebenernya nggak sesepele itu. Ada banyak hal yang harus diingat. Detail-detail kecil seperti kesinambungan nama tempat atau hari, atau mungkin jam, itu harus diperhatikan. Kedua, kenapa bisa nyambung? Ibarat hukum rimba, siapa cepat dia dapat. Siapa aja bisa membuat cerita maunya kayak apa. Tapi, tetap harus mikirin kesinambungan cerita. Harus siap-siap juga nunggu kejutan apa lagi nih yang bakal dihadirkan setelah ini?

And trust me, it's fun.

Di saat gue lagi stuck kerja dan bosen ngapa-ngapain, tinggal buka akunnya dan berdrama ria. Meski akibatnya adalah batrai bb jadi cepet habis karena buka dua akun twitter 24 jam, hahaha.

So, buat yang penasaran, silakan coba sendiri.

Dan gue nggak bakal ngasih tahu nama akunnya apa. Go find out for yourself *big smile*

Love, iif
SHARE:
0 Comments
Next PostNewer Posts Previous PostOlder Posts Home
BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig