(And it took me years to write about
this)
How
old are you? Everytime I hear this question, I will always say, 27 years old.
Maybe
some of you will laugh at me, saying that I’m so delusional because in fact,
I’m 29 years old.
So,
what happened actually?
I lost
two years of my life
Pernah enggak, ketika sedang sendirian
dan memikirkan kembali beberapa waktu yang sudah lewat, dan tiba-tiba kamu
menemukan kenyataan kalau kamu tidak tahu apa saja yang sudah kamu lakukan?
Memang tidak mungkin bisa mengingat semua detail di waktu yang sudah lewat,
tapi secara garis besar seharusnya kita ingat. Setidaknya, ada momen-momen
tertentu yang kita ingat.
Namun, ada kalanya kita malah tidak
ingat apa-apa. Kita hidup hanya sebatas hidup. Bernapas, menjalani hari-hari,
tapi maknanya? We know nothing.
Kurang lebih, itulah yang saya rasakan
di sekitar tahun 2011-2013. Sepanjang kurun dua tahun itu, saya tidak mengingat
apa yang saya alami, apa yang saya jalani, dan terlebih lagi, saya hidup untuk
apa pada saat itu? Semua terasa blur, seakan-akan saya sedang berada di dimensi
waktu lain. Karena itu, saya merasa kehilangan waktu dua tahun.
Having
a very low self esteem
Di kurun waktu tersebut, saya baru
saja lulus kuliah dan kaget menghadapi kenyataan kehidupan yang sebenarnya.
Kakak saya menikah tidak lama setelah saya lulus dan bekerja dan kurang lebih
itu memengaruhi hidup saya. Jika selama ini ada yang mengurus saya, sekarang
saatnya benar-benar tinggal sendiri. Jujur, saya tidak siap. Namun, saya tidak
bisa melakukan apa-apa.
Pekerjaan pertama saya tidak begitu
menyenangkan. For story short, saya
tidak pernah merasa dihargai. Saya tidak punya kesempatan untuk berkembang.
Saya tidak pernah benar-benar memaksimalkan potensi yang saya punya. Saya
bekerja di tempat yang manajemennya sangat kacau dan orang-orang yang sama
sekali tidak mendukung. Saya berusaha mencari celah, tapi kesempatan itu tidak
pernah ada. Kosong. Nihil.
Itu hal pertama yang saya alami yang
akhirnya membuat saya memiliki self
esteem yang sangat rendah.
Di tulisan ini, saya pernah bercerita
kalau keluarga saya bukanlah tipe yang terbuka dalam mengapresiasi. Ditambah
dengan pekerjaan seperti itu, sehingga saya pun tidak bisa mengapresiasi diri
sendiri. Saya sampai pada pemikiran, “apa yang sudah lo lakuin sampai-sampai lo
butuh diapresiasi?’
Pikiran ini terus menghantui saya. Dan
akhirnya, jangankan apresiasi, saya malah meragukan diri sendiri. Bukannya
menyemangati, malahan semakin menjatuhkan diri saya sendiri.
Selalu
overthinking yang tidak penting
Sebagai seorang Virgo, saya bisa
menerima kalau saya memang sering overanalysis.
Bisa butuh banyak waktu sampai akhirnya saya melakukan sesuatu. Pada akhirnya, overthinking sudah menjadi bagian dari
hidup saya sehari-hari.
Setiap hari, saya terbangun dengan
banyak what if yang bermain di
kepala. Trust me, itu bukan sesuatu
yang menyenangkan. Karena sepanjang hari, saya selalu mempertanyakan banyak hal
yang seharusnya tidak pernah saya tanyakan, atau bahkan sama sekali tidak usah
dipikirkan.
Saya jadi sering cemas. Kekhawatiran
berlebih ini mulai mengganggu, bukan hanya karena ada dalam pikiran saya saja,
tapi akhirnya mulai memengaruhi fungsi saya sebagai manusia sehari-hari. Saya
bisa menangis tiba-tiba, tanpa sebab, di tengah jam kerja—saya sering tiba-tiba
pergi ke toilet untuk menangis. Saya mengalami insomnia parah dan bisa tidak
tidur berhari-hari sehingga akhirnya harus didorong dengan obat. Karena ketika
saya tidur, saya takut tapi saya tidak tahu apa yang saya takutkan. Saya bangun
dengan jantung berdebar dan perut melilit. Saya sering sakit, tapi ketika
diperiksa, saya baik-baik saja.
Akhirnya, saya sampai pada kesimpulan
karena semua permasalahan itu berasal dari otak. Saya harus ngebenerin otak
dulu untuk bisa berfungsi normal sebagaimana mestinya. Namun lagi-lagi, saya
tidak tahu harus bagaimana memulainya.
Selalu
takut untuk memulai
Sejak kecil, saya terbiasa sendiri.
Saya tidak takut sendiri. Tapi kenapa ketika kuliah dan awal-awal lulus, saya
jadi takut sendiri? Saya bisa saja tidak jadi menonton film yang
ditunggu-tunggu hanya karena tidak ada yang mau ikutan nonton.
Padahal, seiring kita dewasa,
kesibukan dan tanggung jawab semakin bertambah. Tentu saja, kesibukan dan
tanggung jawab setiap orang berbeda, sehingga tidak bisa sama-sama selamanya,
bahkan bersama orang yang dulu pernah berjanji akan terus bersama selamanya.
Selain itu, saya takut untuk memulai.
Ini ada hubungannya dengan overthinking
yang saya rasakan. Kedua hal ini membuat saya menyabotase diri sendiri, membuat
saya menahan langkah saya sendiri. Akhirnya, saya tidak ke mana-mana. Dan
akhirnya, saya kembali semakin stres. Merasa kalau saya tidak membanggakan sama
sekali.
I’m
ashame of myself.
Membandingkan
diri dengan orang lain
Dan yang paling parah adalah, saya
membandingkan diri dengan orang lain. Saya memandang orang lain dari sudut
pandang saya tanpa mencari tahu struggling
seperti apa yang mereka rasakan. Saya tidak melihatnya. Karena yang saya lihat
hanyalah mereka yang jauh berada di atas saya.
Kita memulainya bersama-sama, tapi
kenapa mereka sudah jauh meninggalkan saya?
Hal ini juga memengaruhi hidup saya.
Tanpa sebab, saya memutuskan hubungan dengan mereka karena menilai mereka
membuat saya merasa kecil dan itu sangat negatif. Padahal mereka teman dekat
saya sendiri. Later that I know,
masalahnya ada di dalam diri saya sendiri, bukan di diri mereka.
Saya yang menyabotase diri sendiri,
lalu kenapa harus menyalahkan orang lain?
Saya merasa stuck. Setiap hari saya bangun tanpa menyadari sepenuhnya apa yang
saya jalani di hari itu.
It took years but it’s okay
It took years but it’s okay
Banyak cara untuk berdamai. Ada yang
bilang, membuka diri kepada orang lain sehingga mereka bisa membantu mencari
penyelesaian. Namun saya sadar, masalahnya ada pada saya dan sekalipun saya
membutuhkan bantuan orang lain, hal itu tidak akan berguna jika saya tidak
memaksa diri sendiri untuk berubah.
Saya ingat hari itu, ketika saya
kembali menangis tanpa sebab. Saya menangis sangat lama tapi setelahnya, saya
merasa tenang. Saat itu, saya mengingat kembali masa-masa yang sudah saya
jalani dan hasilnya… nihil.
Tidak ada satupun yang saya ingat.
Titik balik pertama saya adalah ketika
bertemu orang yang memiliki passion sama dengan saya. Saya bertemu mereka di Nulisbuku
Club. Orang-orang dengan mimpi yang sama dan saling encourage satu sama lain. Saat itu, akhirnya saya merasa kalau ada
yang mengapresiasi saya. Perlahan-lahan, saya mulai mengusir ketakutan tidak
beralasan itu dan perlahan-lahan mulai berani melakukan sesuatu.
Saya tidak akan menerbitkan novel yang
diidam-idamkan sejak lama kalau saya tidak berani memulainya, bukan?
Tidak lama, saya mendapat kesempatan
untuk mencoba hal baru. Pekerjaan baru. Pengalaman baru yang memberikan saya
ruang untuk berkreasi dan mendapatkan apresiasi yang seharusnya. Perlahan, saya
kembali bersemangat, saya merasa menemukan kembali tempat berpijak.
(Meski ada harga yang harus dibayar,
waktu yang semakin terasa menipis)
Saya juga bertemu dengan orang-orang
yang berani mengekspresikan dirinya. It’s
okay to be bold. Why you always think about what people say? Come on, stop
hiding and let the world knows who you are. Yup, hal itulah yang saya
rasakan.
Tidak mudah untuk mulai
mengekspresikan diri dan merasakan tatapan orang tertuju kepada kita setelah
selama ini menjadi invisible. Namun
saya merasakan suatu dorongan yang membuat saya merasa nyaman. Perlahan-lahan,
saya jadi mengenal diri saya yang sebenarnya. Saya jadi tahu apa yang terbaik
untuk saya, apa yang cocok untuk saya, dan berani berkata tidak untuk hal yang
tidak sesuai dengan saya.
I feel
free.
Finally,
I can see the future.
Setiap orang memiliki struggle-nya masing-masing dan bagaimana
mereka menghadapinya, mereka memiliki caranya masing-masing. Termasuk, saya.
Butuh bertahun-tahun sampai saya bisa
menjadi seperti sekarang. Kadang, saya masih overthinking tapi saya selalu berusaha untuk menantangnya dengan
jawaban untuk semua kekhawatiran itu.
Been
there, done that.
Saya menyadari kalau love yourself itu bukan sekadar omong
kosong. Kedengarannya memang sangat normatif, tapi sekali kamu bisa mencintai
dirimu, atau setidaknya appreciate every
little thing that you do, kamu bisa merasa tenang. Dan merasa kalau dirimu
berharga.
Tidak mudah untuk menjadi percaya diri
di tengah tempaan yang hadir di kiri dan kanan. But life is a process, right? This is never ending process, karena
kita semua berevolusi. Dan sepanjang kita hidup, proses itu akan terus ada.
Tidak pernah berhenti.
Pertanyaannya, apakah kita akan
menyerah atau menjalani proses itu dengan sepenuh hati?
Sekarang, saya berusaha untuk
menjalaninya dengan sepenuh hati.
Jadi, ketika ada yang bertanya, berapa
umurmu sekarang? Saya boleh menjawab kalau saya masih 27 tahun, kan?
NB: Sudah lama saya menulis ini
tapi baru mempublikasikannya sekarang, thanks to our little chit chat, Jaja.
And for the title, I’ve got an inspiration after I read Lucedale’s blog.