I fell in love
with Brooklyn. No, it’s not Brooklyn as in a city in New York.
Ini cerita tentang Brooklyn, film yang dibintangi oleh
Saoirse Ronan dan menjadi salah satu jagoan di Oscars 2015. Ceritanya sederhana,
sebenarnya, tapi punya arti yang mendalam. Tentang Eilis Lacey, seorang
perempuan dari Enniscorthy, kota kecil—atau bisa dibilang desa—di Irlandia.
Demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dia merantau ke Brooklyn. Terlebih,
di Enniscorthy enggak ada pekerjaan yang cocok untuknya.
Beberapa bulan yang lalu, saya kembali menyelami
kehidupan Eilis lewat novel yang menjadi sumber cerita ini.
Perasaan ketika membaca novel ini masih sama seperti
ketika menontonnya dulu. I can relate to
Eilis, at some point. Kegamangan Eilis ketika ‘terpaksa’ harus meninggalkan
Enniscorthy, rumahnya selama belasan tahun. Kenyamanan yang selama ini
menemaninyaa, kota yang sangat dikenalnya, orang-orang yang sudah dikenalnya
sejak kecil, rasa akrab yang menimbulkan rasa tenang, semuanya harus
ditinggalkan di belakang, di detik ketika dia menginjakkan kaki di kapal yang
akan membawanya ke Brooklyn.
I See Myself in Eilis
(Foto: kissmywonderwoman.com)
I was in her
place ten years ago.
Suatu hari di bulan September 2006, saya berdiri lama
di depan kampus FISIP UI. Waktu itu hari wisuda, dan kakak saya sedang diwisuda
di Fakultas Psikologi yang bersebelahan dengan FISIP. Begitu saja, saya
tiba-tiba bilang, “Ma, tahun depan aku kuliah di sini,” sambil menunjuk FISIP.
Ucapan itu semacam doa, karena tahun berikutnya, saya
benar-benar menginjakkan kaki di FISIP.
Namun, bukan itu inti dari kegamangan yang saya
rasakan.
Di suatu hari di bulan Mei 2007, setelah semua ujian
akhir di masa SMA berhasil dilalui, saya ‘terpaksa’ meninggalkan kenyamanan
yang ditawarkan kota kecil bernama Bukittinggi. Ini sudah menjadi kebiasaan
selama bertahun-tahun, dan sepertinya masih bertahan sampai sekarang, karena
begitu selesai ujian, banyak yang merantau untuk bimbel. As you know kalau kita cap tiga jari dan tanda tangan ijazah aja di
bandara, ketika kepala sekolah sengaja datang menghampiri kita yang di luar
kota.
Saat itu ada dua perasaan besar yang saya rasakan.
Semangat karena akan segera menyambut kehidupan baru, kehidupan yang selama ini
selalu ada dalam angan-angan. Namun di saat yang sama, saya juga merasa gamang.
Am I ready for
my new journey?
Karena ketika saya melihat orangtua, terlebih mama,
mereka sepertinya ragu saya bisa bertahan. Keraguan yang menjalar ke dalam diri
saya. Mungkin saja selama ini rasa ragu itu ada, tapi saya berada dalam keadaan
denial sehingga tidak menyadarinya.
Pagi itu, saya berdiri lama di bandara. With my pink t-shirt and pink shoes and pink
bag. That’s the last time I wear pink because when I landed at Jakarta, I’m not
the same person anymore.
Sama seperti ketika kapal Eilis merapat di Brooklyn,
dia tahu kalau dia bulan lagi Eilis yang bisa bersantai-santai di Enniscorthy.
A Journey to Find Who You Really Are
(Foto: losangelesdailynews.com)
Ketika Eilis mulai menjalani kehidupannya di Brooklyn,
dia merasakan sesuatu yang berbeda. Something
new. Something different. Something exciting. For story short, she found her
true self in Brooklyn, a place far from home.
Perjuangan Eilis enggak gampang. Dia sempat merasakan
yang namanya homesick. Sempat
kepikiran, am I choose the right path? Am
I really really want a life like this? Something like that. Untung dia
tidak sendirian. Dia bertemu orang baru dan cinta baru yang memberikannya
pengalaman baru sehingga dia bisa memaknai hidup dengan sudut pandang baru, dan
itu yang akhirnya meyakinkan Eilis kalau apa yang dia pilih adalah sebuah
keputusan yang tepat.
I met new
people. Orang-orang yang jauh berbeda dengan yang selama ini saya kenal.
Awalnya asing dan kagok. Saya bukan tipikal social
butterfly yang bisa dengan gampang berkenalan dengan orang baru. Saya
cenderung seringnya menutup diri. Membiarkan keadaan yang melemparkan saya ke
dalam sebuah situasi.
Saya menerima. Tidak pernah mencari.
Hingga akhirnya saya sampai pada sebuah kesadaran
kalau saya tidak akan bisa bertahan jika selamanya hanya menunggu dan menerima.
Saya harus mencari.
Dan itu membawa saya pada pemahaman selanjutnya. I’m looking for who I really am.
Better late than
never, right? Ya, saya mengakui kalau saya cukup terlambat untuk
‘mengepakkan sayap’ tapi saya tidak pernah menyesalinya.
At least I
tried. Dan semua percobaan itu membawa saya menjadi diri saya yang
sekarang.
Seorang teman pernah berkata. “Kamu pemalu? Enggak
mungkin banget. Teman kamu, tuh, banyak. Gimana caranya kamu bisa punya banyak
kenalan kalau kamunya enggak mau membuka diri?”
Well, that’s me.
The present me. If you know me, like five years ago, I’m not like this. I’m not
the same person anymore, and I’m happy with who am I right now. I’m not that confident,
but it’s better now than ten years ago, when I don’t have a courage to try
something new. I’m not a risk taker but reality thought me that sometimes we
need to take a risk so we will know the true meaning of life. The old me like
to hide and now I always ask myself to show what your worth and not hiding
anymore.
I love me
eventough I need ten years to know who I really really am.
Seperti Eilis yang akhirnya menemukan dirinya, saya
juga merasakan hal yang sama.
I Want More
(Foto: thetoolkits.com)
Eilis tidak pernah berpuas diri. Dia merasakan
kenyamanan bekerja di toko baju, tapi dia memendam keinginan untuk bekerja di
bidang pembukuan.
I still have my
old dream. A dream who always stay in my heart since I was 4 years old. A dream
that I want to be a writer and publish my book.
Sekali lagi, saya berada dalam sebuah fase gamang. Seorang
senior berkata, “this is your milestone
dan milestone setiap orang itu
berbeda-beda. Tergantung kamunya, mau mengambil keputusan apa.”
Saya tidak bisa menjelaskan dengan gamblang di sini karena
sampai detik ini, saya belum menemukan keputusan yang tepat. Maybe later, when I finally know which way I
choose.
Not a Same Person Anymore
(Foto: pinterest.com)
One of my friend
asked me after I graduated from university. “Kamu enggak mau pulang?”
Deep inside my
heart, I will say yess.
But I know that ‘pulang’
is not the right choice. So, I choose to stay and start to enjoy my new
journey.
Tidak peduli berapa lama saya pergi, ketika akhirnya
saya kembali, rasa familiar yang dulu selalu menemani kembali muncul. Ternyata selama
ini rasa itu hanya mengendap untuk sementra karena begitu saya turun dari
pesawat, rasa itu muncul lagi.
Sama seperti Eilis yang kembali dibuai rasa
nyaman-yang-lama ketika dia kembali ke Enniscorthy. Godaan untuk kembali pulang
itu besar banget. Nilai lebihnya, enggak perlu lagi pusing mikirin ‘besok akan
gimana ya?’ Enggak perlu takut merasa sendiri karena ada banyak orang yang siap
setiap saat membantu. Orang-orang lama yang masih bertahan di sana dan siap
menyambut dengan tangan terbuka.
Hingga akhirnya Eilis merasa kalau perjalanannya
bertahun-tahun di Brooklyn membentuknya menjadi seseorang yang tidak cocok
untuk Enniscorthy. She likes her new life
and ready to take a new adventure with Tony, her husband.
I felt like
that, too. Namun, di dalam hati, saya masih mencintai Bukittinggi. The one and only place I called home. A place
that I’ve always had in my mind, the smiles that I’ve always missed when I’m
away (quotes from my friend’s story at his steller).
Maybe someday I will
comeback, after I finish all my journey. But now, I’m still flying and enjoying
my life.
For all Eilis
Lacey in the world, enjoy your journey.
XOXO
iif