“Butuh
keberanian, nih, buat cerita,” ungkap Madam Mita ketika saya meminta cerita
versi dia untuk melengkapi tulisan di blog ini. Karena, dialah yang memberikan
tema ini.
She’s right, butuh keberanian untuk
bercerita soal hal ini karena membuka kembali luka lama yang sudah dipendam. Beberapa
bahkan sudah selesai begitu saja, tapi jika dipikir-pikir lagi, masih ada
sedikit rasa sesak saat mengingatnya.
When I think about that, mungkin ini
momen yang shaped us menjadi pribadi
yang lebih baik. Sakit memang, tapi pengalaman menyakitkan ini memberikan satu
dua pelajaran yang menjadi pijakan di hari berikutnya, benar?
Sepanjang saya
bisa mengingat, ketika hal menyakitkan itu terjadi, saya hanya diam, tidak
melakukan apa-apa. Namun ketika teringat lagi bertahun kemudian, dengan pikiran
jernih, meski rasa sakit itu masih ada, saya bisa menarik pelajaran dari sana.
I’m not straight A student. Cukup di SD
saja saya selalu mendapat ranking
teratas. Ketika SMP, saya masuk ke kelas unggulan yang isinya murid super
pintar dan ambisius, sementara saya sudah berusaha, hasilnya tetap tidak
memuaskan.
Ketika SMA,
saya juga bukan murid populer apalagi murid super cerdas. Malah sejujurnya,
saya tidak suka dengan cara belajar yang terlalu text book dan membosankan—hal ini sudah saya alami sejak SD. Apalagi
saya masuk jurusan IPA yang sebenarnya tidak saya inginkan—saya ingin masuk
kelas Bahasa tapi karena peminatnya kurang jadi kelas Bahasa ditiadakan. Saya bisa
mengikuti pelajaran, tapi seringkali bukan karena penjelasan guru di kelas,
melainkan karena saya belajar sendiri.
Satu-satunya
momen yang saya sukai di sekolah dulu adalah pelajaran Bahasa Indonesia yang
mengharuskan untuk menjelaskan tema tertentu di depan kelas. Mengerikan, pada
awalnya, tapi lama-lama saya enjoy. Selama
tiga tahun, Bahasa Indonesia jadi pelajaran favorit karena selain presentasi,
saya bisa menulis dan menunjukkan kelebihan saya.
Saya juga suka
pelajaran sejarah, terutama di kelas tiga, karena setiap minggu ada diskusi.
Sisanya? Saya tidak
terlalu suka. Saya mengharapkan pelajaran Biologi yang banyak praktik tapi
nyatanya malah disuruh nyatet sebuku-buku. Saya kesulitan menangkap Fisika
karena penjelasan berbelit-belit. Saya baru bisa menikmati Matematika di kelas
tiga karena dua tahun sebelumnya punya guru yang suka ngambek.
Dengan
memahami kesulitan itu, saya mencari jalan keluar lain. Saya selalu belajar sendiri
di rumah. Beruntung keluarga tidak pernah bermasalah kalau saya butuh buku
pelajaran apa pun, dan uni siap ngirimin buku yang dibutuhin dari Jakarta jadi
bisa dibilang buku pelajaran saya lengkap dan beragam. Apalagi di kelas tiga,
menjelang lulus. Saya juga mulai belajar pelajaran IPS karena menargetkan untuk
ambil pilihan IPS saat SNPMTN.
Karena itu, di
sekolah saya cenderung cuek dan tidak terlalu ambisius. Padahal kalau
dipikir-pikir, kurang ambisius apa coba pas naik kelas tiga langsung mikirin
SNMPTN, he-he. Saya pasrah dapat nilai ulangan yang kurang memuaskan selama
saya paham apa yang saya pelajari.
Tanpa disadari,
image saya tidak terlalu bagus karena sering dilihat main-main saja, bukannya
belajar. Ketika pelajaran tambahan pada fokus sama Fisika, saya menyelinap
belajar Akuntansi di kelas lain demi persiapan SNMPTN sehingga dikiranya saya
enggak peduli dengan pelajaran tambahan.
Long story short, saya lulus SMA dengan
nilai memuaskan. Lebih jauh lagi, saya lulus SNMPTN di jurusan yang sangat saya
inginkan. Ilmu Komunikasi UI itu favorit dengan passing grade tinggi. Saya sendiri amaze, karena selama try out,
baru di try out terakhir saya meraih
nilai sedikit di bawah batas lulus, dan guru di tempat bimbel yakin saya bisa
lulus, kalau dilihat dari grafik nilai saya selama bimbel dan try out.
Namun ternyata
hal itu tidak bisa diterima oleh akal sehat teman-teman SMA saya dulu. Saya
mendapat cerita dari teman baik soal komentar mereka, mengingat saat pengumuman
kelulusan saya sudah di Jakarta. Hingga ada teman yang cukup dekat sewaktu SMA
mengirim SMS yang kurang lebih isinya seperti ini:
“Kok If bisa
lulus? Waktu SMA, If biasa-biasa aja. Waktu try
out, nilai Na selalu lebih tinggi. Na lebih pintar dan If kan bodoh. Kok bisa
lulus? Na enggak percaya.”
Yes, she said that I was stupid. Dia menganggap
dirinya yang jauh lebih pintar tapi enggak lulus SNMPTN dan saya yang bodoh
tapi lulus itu pure luck saja.
Nyesek, ya?
Tapi saya
hanya diam. Bukannya tidak mau meladeni, tapi terbiasa diam membuat saya
menelan mentah-mentah apa saja yang dituduhkan orang lain. Beruntung saya punya
teman yang malah ngebelain tanpa diminta, he-he. Thanks, Fhia.
Kejadian itu
sudah sebelas tahun berlalu tapi masih membekas hingga sekarang. Bukan berarti
saya dendam lalu menyimpannya sampai mati. Hanya saja, kata-kata itu begitu
menyakitkan, makanya susah hilang. Ditambah, hal tersebut cukup banyak
memengaruhi kepercayaan diri. Saya jadi seseorang yang susah untuk memulai
sesuatu karena tidak percaya pada kemampuan. Selama bertahun-tahun, cap bodoh
itu melekat di benak saya.
Hingga akhirnya
saya menyadari kalau hal bodoh yang sebenarnya adalah membiarkan cap tersebut
memengaruhi saya, bahkan menghambat diri sendiri.
Pengalaman itu
mengajarkan beberapa hal. Pertama, cemburu itu wajar dialami semua orang, tapi
jangan sampai cemburu yang kita rasakan menyakiti orang lain. Pada dasarnya,
cemburu itu menyakiti diri kita (I’ll
talk about my jealousy in next post) dan dorongan untuk melampiaskannya ke
orang lain itu sangat besar, tidak peduli apakah orang tersebut ada kaitannya
dengan kita atau tidak. Di situlah saya belajar untuk menahan diri agar tidak
termakan rasa cemburu. Saya merasakan sendiri kecemburuan orang lain membuat
saya mengalami masalah mental selama bertahun-tahun.
Kedua, asal
nyeplak itu gampang banget, menyesal urusan belakangan. Saya yakin, omongan
teman saya itu hanya asal nyeplak, dan mungkin dia enggak bermaksud menyakiti. Di
sisi lain, pasti ada omongan asal nyeplak yang keluar dari mulut saya dan
membuat seseorang sakit hati. Itulah pelajarannya, untuk lebih menjaga omongan.
Saya berprinsip, ‘if you don’t have
something nice to say, please keep silent.’
Terakhir,
kerja keras tidak akan pernah mengkhianati hasil. Namun yang lebih penting,
tidak perlulah digembar gemborkan ke orang-orang apa saja yang sudah kita
lakukan. Fokus pada tujuan lebih penting ketimbang image baik di mata orang. Teman
saya, Ira, pernah bilang, ‘kayak bebek, kelihatannya planga plongo, tapi
kakinya kerja keras buat berenang tapi enggak ada yang lihat.’
Balik lagi ke
cerita di masa lalu menyadarkan bahwa it’s
not easy being teenager. Karena saat itu kita belum tahu bagaimana cara
bersikap, cara membela diri, cara mengekspresikan diri dengan tepat. Tapi, itu
sebuah pelajaran, dan hidup adalah pelajaran tanpa henti dengan ujian yang
semakin sulit dari hari ke hari dan tak kan pernah usai.
Mungkin terlambat,
tapi lewat postingan ini saya ingin berterima kasih pada teman saya itu, karena
tanpa disadari dia sudah membentuk saya jadi seperti sekarang.
“Gue punya
teman sebangku pas SMA. Gue pikir kita teman, tapi kok dia selalu deketin cowok
yang gue suka? Sampai akhirnya gue enggak bilang kalau suka sama kakak kelas,
tapi akhirnya dia tahu. Suatu hari ada telepon ke rumah pas Valentine’s Day,
dari anak kecil. Dia bilang kalau diminta kakaknya nelepon gue dan bilang kalau
kakaknya suka sama gue. Nama kakaknya Mario, kakak kelas yang gue suka. Ya gue
enggak sebego itu untuk percaya meski sebenarnya ngarep juga. Besoknya, teman
sebangku gue ini sambil ketawa bilang, ‘kemarin ada anak kecil nelepon lo ya? Itu
tetangga gue, gue yang suruh.’ Ya kalau di kerjaan ada sih yang jahat juga,
tapi enggak habis pikir aja anak 15 tahun bisa sejahat itu. Lesson learned-nya, it’s not easy to find
true friends and beautiful girls can be jealous as fuck to regular girl like
me. Makanya dia enggak suka gue deket sama gebetan-gebetan gue,” Mita.
For you, what is the meanest thing someone
did to you?
0 Comments:
Post a Comment