Sebenarnya
saya cukup menghindari tema ini karena yakin, akan sangat sulit untuk menahan
diri. Mengingat momen emosional ini membuat saya harus merelakan kepergian
sesosok yang sangat berarti di hidup saya, untuk selamanya, setelah selama 2,5
tahun terakhir keadaan keluarga terombang ambing setelah kesehatan Papa yang
menurun,
I had to say goodbye to my father.
Di tulisan
ini, saya menulis surat untuk Papa, karena sulit untuk mengungkapkan apa yang ingin
saya ungkapkan di hadapan beliau, untuk terakhir kalinya. Ketika diberi
kesempatan untuk menyampaikan sesuatu sebelum kain kafan ditutup, saya tidak
bisa berkata apa-apa selain menangis tersedu-sedu.
Namun, itu
bukan momen emosional pertama yang saya rasakan.
Sekitar Oktober
atau November 2015, saya ditugaskan untuk liputan ke Makassar. Sekitar satu jam
sebelum berangkat, Uni menelepon untuk memberitahu Papa masuk rumah sakit. Ada yang
salah dengan jantungnya. Saat itu saya merasa gamang, antara tetap pergi atau
pulang. Tentu saja kedua pilihan itu terasa sulit, mengingat liputan tersebut
berpengaruh dengan klien yang bekerjasama dengan majalah tempat saya bekerja
dulu. Namun, akhirnya Uni dan Mama menegaskan kalau Papa baik-baik saja dan
saya tetap bisa pergi. Selama perjalanan menuju Makassar, sambil menatap ke
luar jendela, saya tidak kuasa untuk menahan tangis.
Bagaimana kalau
saya terlambat?
Beruntung saya
masih bisa bertemu dengan Papa sekembalinya dari Makassar.
Sejak saat
itu, kesehatan Papa menurun. Papa memang masih suka berkebun di tanah kosong
depan rumah, susah disuruh diam istirahat di rumah, tapi saya tahu dia tidak
lagi sekuat dulu.
Sejak saat itu
juga, Papa sering bolak balik masuk rumah sakit. Awalnya hanya kontrol bulanan,
tapi selang beberapa bulan, Papa harus dirawat. Beberapa kali saya ikut
menginap di ICU menemani beliau setiap malam. Dalam kondisi susah tidur, capek
karena harus bolak balik Kebon Jeruk – Cibinong setiap hari, bahkan kadang jam
10 malam baru sampai di rumah sakit, entah bagaimana caranya saya tidak
tumbang. Mengingat selama ini saya selalu tumbang setiap kali kelewat capek.
Saya pernah
tidak sengaja mencuri dengar Mama mengobrol dengan Tante di telepon. Kurang lebih
isinya begini, “If yang jaga, dia malam di rumah sakit, pagi ke kantor. Enggak disangka
anak itu bisa diandalkan dalam keadaan begini, biasanya manja enggak mau
disuruh-suruh. Dia juga yang bayar, ternyata dia punya tabungan, berdua sama
kakaknya.”
Mendengar itu,
saya melihat kembali ke diri sendiri. Ya, terbiasa jadi anak bungsu yang
dipermudah dalam segala hal, inilah titik di mana saya harus berhenti menjadi
anak kolokan yang bergantung pada orangtua.
Sekarang keadaannya
di balik, saya tidak lagi bisa bergantung kepada Papa.
Menemani beliau
di rumah sakit memang melelahkan, lahir batin. Beliau yang selama ini bisa
melakukan apa saja, sekarang harus diam di tempat tidur dan tidak bisa
ngapa-ngapain. It was very stressful for
him. Sifatnya yang tidak sabaran itu seringkali membuat saya emosi,
ditambah akumulasi capek dan kurang tidur yang sangat menguji kesabaran.
Dan, yang
membuat saya sekarang menyesal adalah, saya tidak punya kesempatan untuk
meminta maaf atas ketidaksabaran itu.
Di sisi lain,
saya sangat malas untuk pulang ke Cimanggis setiap weekend. Bekerja lima hari, berinteraksi dengan orang lain selama
lima hari, membuat saya ingin menghabiskan weekend
sendirian, sekaligus untuk recharge energi, dan saya tidak akan bisa
beristirahat total jika berada di rumah.
Hingga suatu
hari, chat singkat dari Uni membuat
saya tertegun. Seperti biasa, dia bertanya apa saya akan pulang atau tidak, dan
saya jawab tidak. Sebulan sekali sudah cukup, itu prinsip saya. Namun chat Uni selanjutnya membuat saya
meneteskan air mata. “Kalau ada waktu, kamu ke sini. Ketemu Papa. Kelihatannya Papa
memang baik-baik aja, tapi kesehatannya makin menurun. Jangan sampai nanti kamu
menyesal enggak bisa ketemu Papa lagi. Sering-sering ke sini, jangan main-main
terus weekend.”
Saat itu saya
menyadari kalau pikiran itu sudah lama saya miliki, hanya saja terlalu berat
untuk menerimanya, sehingga saya menyimpan pikiran itu jauh-jauh di memori
terdalam. Ketika dihadapkan pada kenyataan, mau tidak mau saya harus memikirkan
kembali hal tersebut.
Sepulangnya Papa
dari rumah sakit untuk yang terakhir kalinya, keadaannya sangat berbeda. Dia selalu
merasa lemah, bahkan untuk jalan saja harus berpegangan. Ketika beliau dirawat
di ICU, Papa mendapat serangan yang parah. Sampai-sampai, dokter meminta
keluarga menandatangani perjanjian untuk memberikan kejut jantung pada Papa
jika ada serangan lagi. Saat berdiskusi soal hal itu dengan Uni, rasanya ingin
kabur. Saya tidak ingin ada di momen itu, membahas hal itu. Namun, wajah pias
Uni membuat saya bertahan. Apalagi ketika melihat Papa yang sangat lemah di
ruang ICU.
I asked God to give him another chance.
Dear father, tomorrow is suppose to be your birthday, Wish that you have fabolous birthday in heaven.
Malam itu,
saya tertidur dengan handphone mati,
seperti biasa. Saya tidur nyenyak, setelah semalam dipijit dan merasa rileks. Namun,
ketika menyalakan ponsel keesokan harinya, saya mendapati puluhan telepon dari
Mama, Uni, dan Abang. Perasaan saya langsung tidak enak, dan yang saya pikirkan
adalah Papa masuk rumah sakit lagi.
Ternyata,
dugaan saya salah. Papa sudah tiada. Papa sudah berpulang saat adzan subuh, di
rumah, tanpa merasa sakit sedikitpun.
Ketika menutup
telepon dari Mama, saya merasa linglung. Saya terdiam di tempat tidur, tidak
melakukan apa-apa, dengan pikiran kosong. Hingga akhirnya saya memaksakan diri
untuk bangun dan pulang. Ketika di perjalanan, saya baru merasa sedih dan
menyesal karena tidak ada bersama Papa di saat terakhirnya.
Sejak kecil,
saya lebih dekat dengan Papa. We are
partner. Dan sekarang, saya kehilangan partner terbaik yang pernah saya
miliki.
Ketika sampai
di rumah dan mendapati Papa sudah tiada, saya merasa kebas. Bahkan, sampai selesai
dimakamkan, saya masih merasa kebas.
Beberapa hari
kemudian, ketika sendirian, saya seringkali menangis.
Seperti malam
ini. Ketika saya merindukan beliau dan teringat janji untuk menonton bola di
GBK tidak pernah terwujud. Itu hanya satu dari sekian banyak janji yang saya
buat, dan keegoisan membuat saya menomorsekiankan janji-janji tersebut.
Hingga tidak
ada lagi kesempatan untuk mewujudkan janji itu.
But, I could meet him in my prayer, right?
“Kalau aku
pribadi, the most emotional moment in my
life adalah ketika aku diselingkuhin. Well,
karena sebelumnya aku belum pernah punya orang terdekat yang mengkhiatiku. Aku
memutuskan buat cabut dari apapun yang berhubungan dekat sama dia. Aku resign (ini alasan sebenernya, maaf
receh), aku pergi dari Jakarta dua bulan, aku enggak main medsos dua bulan.
Aku menenangkan
diri karena sangat susah rasanya mengontrol biar aku enggak menyalahkan diri
sendiri atas gagalnya hubunganku. Lucu kalau diinget sekarang, tapi so far itu the most emotional moment in my life. Kenapa, karena semua
keputusan dan tindakan dan sikap aku ya dari emosi aja. Dan kenapa ini sangat
emosional, karena ini bukan masalah patah hati buatku, ini masalah aku
diboongin segitunya aja.” Wita, yang aku ingat banget betapa emosinya dia
ketika putus setelah diselingkuhi.
And you, what is the most emotional moment
in your life?
0 Comments:
Post a Comment