What is the Most Emotional Moment in Your Life?

Leave a Comment

 Day 8, tema dari Wita

Sebenarnya saya cukup menghindari tema ini karena yakin, akan sangat sulit untuk menahan diri. Mengingat momen emosional ini membuat saya harus merelakan kepergian sesosok yang sangat berarti di hidup saya, untuk selamanya, setelah selama 2,5 tahun terakhir keadaan keluarga terombang ambing setelah kesehatan Papa yang menurun,
I had to say goodbye to my father.
Di tulisan ini, saya menulis surat untuk Papa, karena sulit untuk mengungkapkan apa yang ingin saya ungkapkan di hadapan beliau, untuk terakhir kalinya. Ketika diberi kesempatan untuk menyampaikan sesuatu sebelum kain kafan ditutup, saya tidak bisa berkata apa-apa selain menangis tersedu-sedu.
Namun, itu bukan momen emosional pertama yang saya rasakan.
Sekitar Oktober atau November 2015, saya ditugaskan untuk liputan ke Makassar. Sekitar satu jam sebelum berangkat, Uni menelepon untuk memberitahu Papa masuk rumah sakit. Ada yang salah dengan jantungnya. Saat itu saya merasa gamang, antara tetap pergi atau pulang. Tentu saja kedua pilihan itu terasa sulit, mengingat liputan tersebut berpengaruh dengan klien yang bekerjasama dengan majalah tempat saya bekerja dulu. Namun, akhirnya Uni dan Mama menegaskan kalau Papa baik-baik saja dan saya tetap bisa pergi. Selama perjalanan menuju Makassar, sambil menatap ke luar jendela, saya tidak kuasa untuk menahan tangis.
Bagaimana kalau saya terlambat?
Beruntung saya masih bisa bertemu dengan Papa sekembalinya dari Makassar.
Sejak saat itu, kesehatan Papa menurun. Papa memang masih suka berkebun di tanah kosong depan rumah, susah disuruh diam istirahat di rumah, tapi saya tahu dia tidak lagi sekuat dulu.
Sejak saat itu juga, Papa sering bolak balik masuk rumah sakit. Awalnya hanya kontrol bulanan, tapi selang beberapa bulan, Papa harus dirawat. Beberapa kali saya ikut menginap di ICU menemani beliau setiap malam. Dalam kondisi susah tidur, capek karena harus bolak balik Kebon Jeruk – Cibinong setiap hari, bahkan kadang jam 10 malam baru sampai di rumah sakit, entah bagaimana caranya saya tidak tumbang. Mengingat selama ini saya selalu tumbang setiap kali kelewat capek.
Saya pernah tidak sengaja mencuri dengar Mama mengobrol dengan Tante di telepon. Kurang lebih isinya begini, “If yang jaga, dia malam di rumah sakit, pagi ke kantor. Enggak disangka anak itu bisa diandalkan dalam keadaan begini, biasanya manja enggak mau disuruh-suruh. Dia juga yang bayar, ternyata dia punya tabungan, berdua sama kakaknya.”
Mendengar itu, saya melihat kembali ke diri sendiri. Ya, terbiasa jadi anak bungsu yang dipermudah dalam segala hal, inilah titik di mana saya harus berhenti menjadi anak kolokan yang bergantung pada orangtua.
Sekarang keadaannya di balik, saya tidak lagi bisa bergantung kepada Papa.
Menemani beliau di rumah sakit memang melelahkan, lahir batin. Beliau yang selama ini bisa melakukan apa saja, sekarang harus diam di tempat tidur dan tidak bisa ngapa-ngapain. It was very stressful for him. Sifatnya yang tidak sabaran itu seringkali membuat saya emosi, ditambah akumulasi capek dan kurang tidur yang sangat menguji kesabaran.
Dan, yang membuat saya sekarang menyesal adalah, saya tidak punya kesempatan untuk meminta maaf atas ketidaksabaran itu.
Di sisi lain, saya sangat malas untuk pulang ke Cimanggis setiap weekend. Bekerja lima hari, berinteraksi dengan orang lain selama lima hari, membuat saya ingin menghabiskan weekend sendirian, sekaligus untuk recharge energi, dan saya tidak akan bisa beristirahat total jika berada di rumah.
Hingga suatu hari, chat singkat dari Uni membuat saya tertegun. Seperti biasa, dia bertanya apa saya akan pulang atau tidak, dan saya jawab tidak. Sebulan sekali sudah cukup, itu prinsip saya. Namun chat Uni selanjutnya membuat saya meneteskan air mata. “Kalau ada waktu, kamu ke sini. Ketemu Papa. Kelihatannya Papa memang baik-baik aja, tapi kesehatannya makin menurun. Jangan sampai nanti kamu menyesal enggak bisa ketemu Papa lagi. Sering-sering ke sini, jangan main-main terus weekend.”
Saat itu saya menyadari kalau pikiran itu sudah lama saya miliki, hanya saja terlalu berat untuk menerimanya, sehingga saya menyimpan pikiran itu jauh-jauh di memori terdalam. Ketika dihadapkan pada kenyataan, mau tidak mau saya harus memikirkan kembali hal tersebut.
Sepulangnya Papa dari rumah sakit untuk yang terakhir kalinya, keadaannya sangat berbeda. Dia selalu merasa lemah, bahkan untuk jalan saja harus berpegangan. Ketika beliau dirawat di ICU, Papa mendapat serangan yang parah. Sampai-sampai, dokter meminta keluarga menandatangani perjanjian untuk memberikan kejut jantung pada Papa jika ada serangan lagi. Saat berdiskusi soal hal itu dengan Uni, rasanya ingin kabur. Saya tidak ingin ada di momen itu, membahas hal itu. Namun, wajah pias Uni membuat saya bertahan. Apalagi ketika melihat Papa yang sangat lemah di ruang ICU.
I asked God to give him another chance.

Dear father, tomorrow is suppose to be your birthday, Wish that you have fabolous birthday in heaven.

Malam itu, saya tertidur dengan handphone mati, seperti biasa. Saya tidur nyenyak, setelah semalam dipijit dan merasa rileks. Namun, ketika menyalakan ponsel keesokan harinya, saya mendapati puluhan telepon dari Mama, Uni, dan Abang. Perasaan saya langsung tidak enak, dan yang saya pikirkan adalah Papa masuk rumah sakit lagi.
Ternyata, dugaan saya salah. Papa sudah tiada. Papa sudah berpulang saat adzan subuh, di rumah, tanpa merasa sakit sedikitpun.
Ketika menutup telepon dari Mama, saya merasa linglung. Saya terdiam di tempat tidur, tidak melakukan apa-apa, dengan pikiran kosong. Hingga akhirnya saya memaksakan diri untuk bangun dan pulang. Ketika di perjalanan, saya baru merasa sedih dan menyesal karena tidak ada bersama Papa di saat terakhirnya.
Sejak kecil, saya lebih dekat dengan Papa. We are partner. Dan sekarang, saya kehilangan partner terbaik yang pernah saya miliki.
Ketika sampai di rumah dan mendapati Papa sudah tiada, saya merasa kebas. Bahkan, sampai selesai dimakamkan, saya masih merasa kebas.
Beberapa hari kemudian, ketika sendirian, saya seringkali menangis.
Seperti malam ini. Ketika saya merindukan beliau dan teringat janji untuk menonton bola di GBK tidak pernah terwujud. Itu hanya satu dari sekian banyak janji yang saya buat, dan keegoisan membuat saya menomorsekiankan janji-janji tersebut.
Hingga tidak ada lagi kesempatan untuk mewujudkan janji itu.
But, I could meet him in my prayer, right?


“Kalau aku pribadi, the most emotional moment in my life adalah ketika aku diselingkuhin. Well, karena sebelumnya aku belum pernah punya orang terdekat yang mengkhiatiku. Aku memutuskan buat cabut dari apapun yang berhubungan dekat sama dia. Aku resign (ini alasan sebenernya, maaf receh), aku pergi dari Jakarta dua bulan, aku enggak main medsos dua bulan.
Aku menenangkan diri karena sangat susah rasanya mengontrol biar aku enggak menyalahkan diri sendiri atas gagalnya hubunganku. Lucu kalau diinget sekarang, tapi so far itu the most emotional moment in my life. Kenapa, karena semua keputusan dan tindakan dan sikap aku ya dari emosi aja. Dan kenapa ini sangat emosional, karena ini bukan masalah patah hati buatku, ini masalah aku diboongin segitunya aja.” Wita, yang aku ingat banget betapa emosinya dia ketika putus setelah diselingkuhi.

And you, what is the most emotional moment in your life?
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig