![]() |
Asakusa di bawah terik matahari |
-->
Akhirnya, aku bisa menjelajah Tokyo. Perjalanan mengelilingi
Tokyo terbagi ke dalam beberapa hari. Aku tiba di Tokyo setelah perjalanan naik
Shinkansen dari Kyoto. Aku menginap tiga malam di Tokyo, dan untuk dua malam
pertama, aku memilih di Shinjuku.
Memilih daerah yang pas untuk menginap di Tokyo memang
susah-susah gampang. Jika memilih daerah yang hype dan aksesnya mudah seperti
Shinjuku atau Shibuya, susah untuk dapat hostel murah dan layak huni. Kalau mau
hostel murah, bisa sih nginap di daerah lain seperti Ueno, Ikebukuro, dan
lainnya.
Jadi, alasanku memilih Shinjuku di dua malam pertama adalah
demi kemudahan akses. Untuk one day trip ke Fuji, meeting point ada di
Shinjuku. Begitu juga untuk ke Museum Doraemon, bisa naik kereta dari stasiun
Shinjuku.
Begitu sampai di Tokyo sekitar pukul tujuh. Sempat deg-degan
karena sering baca betapa padatnya kereta di Tokyo di jam pulang kerja. Mana
bawa koper lagi. Untungnya, dari Shinagawa ke Shinjuku enggak begitu penuh.
Namun, kereta sempat terhenti cukup lama. Setengah jam kira-kira. Dari layar
penunjuk di kereta, katanya ada kecelakaan yang disebabkan oleh manusia. Entah
apa maksudnya. Banyak yang akhirnya turun untuk pindah naik bis atau subway,
tapi aku tetap nunggu. Abis bingung kalau turun mau naik apa. Yakali naik
taksi, he-he.
Oh hai Godzilla |
Akhirnya tiba di hostel sekitar jam 8 malam. Sudah enggak
minat untuk jalan-jalan karena capek dan harus siap-siap untuk ke Fuji keesokan
harinya.
Jadi, selama di Tokyo ke mana aja? Jujur, setelah balik baru
sadar kalau banyak banget tempat di Tokyo yang tidak aku kunjungi. Mungkin
karena Tokyo yang terkesan dingin dan hibuk, jadi bawaannya udah sumpek duluan,
he-he. Aku pun juga enggak banyak mengambil foto di Tokyo. Untuk pengalaman
pertama, kurang puas di Tokyo sehingga ada alasan, kan, untuk kembali ke Tokyo?
He-he.
Berikut highlight seadanya ketika berkeliling Tokyo
Shibuya dan Hachiko Statue yang legendaris
Hachiko statue, anjing paling setia di dunia |
Sepulangnya dari Kawasaki, aku menuju Shibuya. Tentu saja,
hal pertama yang dituju adalah patung Hachiko. Ketika baca petunjuk soal patung
ini, lumayan ribet ya cari jalan keluar di stasiun Shibuya. Akhirnya aku pasrah
aja keluar dari pintu keluar terdekat and it turns out langsung di depannya
Hachiko.
Tahu dong siapa Hachiko? Si anjing setia yang selalu
nungguin tuannya pulang di depan stasiun Shibuya tanpa tahu kalau tuannya sudah
meninggal. Aku, sih, nangis kejer ketika nonton yang versi Hollywood dan
diperankan oleh Richard Gere.
Sebenarnya lumayan mudah mencari di mana Hachiko. Lihat saja
mana kerumuman paling ramai. Ketika sampai, di sekeliling Hachiko banyak yang
antre untuk foto. Namanya solo traveler, susahnya ya minta difotoin. Sayang
sekali, enggak dapat foto bareng Hachiko, tapi ada foto Hachiko sendiri. Namun,
yang paling penting, bisa memegang si anjing setia ini.
Oh ya, di sekitar situ ada banyak yang memegang papan dengan
beragam permintaan. Ada seorang perempuan menawarkan free hug. I hug her, also
thank her and Japan for giving me a good memory. She also thanked me for
visiting her country.
This lady give you free hug |
Selain Hachiko, satu lagi yang menarik tentu saja Shibuya
Crossing. Saat itu siang, jadi enggak begitu banyak yang menyeberang di sana.
Sebenarnya sensasi menyeberangi Shibuya Crossing sama aja kayak penyeberangan
jalan pada umumnya, tapi ketika ikut terburu-buru ngikutin orang lain yang
menyeberang rasanya memberikan sensasi tersendiri. Aku pun jadi orang kurang
kerjaan nyeberang bolak balik di setiap zebra cross, he-he.
The legendari Shibuya Crossing |
Begitu selesai menyeberang, ada satu gedung tinggi yang
menyita perhatianku. SHIBUYA 109!!! Iya, sebahagia itu melihat Shibuya 109
langsung, meski gedung yang ada sekarang sudah berbeda dengan apa yang ada di
komik GALS yang dulu suka kubaca. Another dream do come true, ketika waktu
kecil dulu cuma bisa membayangkan cewek-cewek di Harajuku dan Shibuya dari
komik.
((Coba aku setidaknya lima tahun lebih muda sehingga bisa mencoba pakai boots di Harajuku dan bergaya ala Harajuku. Dulu, sih, pas masih SMP doyan gaya emo dan Harajuku, he-he))
Next stop, Akihabara. Kalau pecinta elektronik, sih, pasti
surga banget, nih di sini. Sejujurnya, tujuan utamaku ke Akihabara adalah
mengunjungi Gundam Café. Sayangnya lagi antre, jadi malas. Iseng juga mau
nonton AKB48 tapi nggak bisa, he-he. Untung enggak jadi, karena kata penjaga
hostel udah enggak ada kayaknya merchandise Miyawaki Sakura.
Buat penggemar action figure dan sex toys juga ini surga
banget. Sepanjang di Akihabara, aku cuma ketawa aja ngebayangin para SJW kalau
ngeliatin action figure atau boneka cewek yang diobjektifikasi. Ya, memang,
sih, enggak bisa dipungkiri kalau Jepang masih sangat-sangat patriarki dan
seringkali memandang perempuan sebagai objek.
Di Akihabara, aku enggak lama-lama. Tentu saja, menyempatkan
untuk berbelanja di Don Quijote alias Donki, sekaligus nyari titipan.
Malamnya, aku bertolak menuju Ginza—sambil menenteng hasil
belanjaan di Donki. Ginza yang sangat glamor dan sophisticated. Di sepanjang
jalan berderet toko-toko yang akan memuaskan hasrat belanja. Disarankan untuk
bawa uang berlebih kalau ke Ginza. Kalau uang pas-pasan, cukup ke Uniqlo dan GU
saja, he-he.
By the way, satu-satunya alasanku ke Ginza hanya ingin
menjejakkan kaki di the biggest Uniqlo in the world. Dua belas lantai, gila
apa. As shameless as it sounds, aku sudah cukup senang bisa menjelajahi kedua
belas lantai itu.
Monmaap, berhubung tangan penuh dengan kantong belanjaan
jadi ribet ya kalau mau ngeluarin kamera, jadi foto seadanya saja pakai hape.
![]() |
Gonza yang mevvah |
Nah, kali ini kita akan menjelajah teluk Tokyo menuju Odaiba
nun jauh di sana. Aslik, memang jauh banget, apalagi kalau naik JR. Berhubung
sedang sangat malas, akhirnya naik kereta biasa and turns out … WOW. Aku hanya
bisa melongo ketika kereta melintas di atas teluk Tokyo dan meninggalkan Tokyo
di kejauhan. Gedung-gedung tinggi pencakar langit yang terlihat jelas.
Gila, Tokyo tuh emang modern banget, ya.
Tahu yang lebih bikin menganga? Odaiba.
Kotanya terasa sangat futuristik. No wonder karena Odaiba
disebut sebagai tech hub di seantero Tokyo. Begitu sampai di stasiun, langsung
disambut oleh gedung Fuji TV dengan bulatan seperti pesawat alien di tengahnya.
Waktu kecil, aku sering menonton film robot Jepang. Gundam,
Satria Baja Hitam, dan segala macam ranger. Nah, begitu sampai di Odaiba,
rasanya seperti berada di dalam film itu dan menyaksikan langsung ada monster
keluar dari teluk Tokyo. Tapi, enggak perlu khawatir karena ada si ganteng yang
menjaga teluk Tokyo dari serangan Kaiju.
Yes, Unicorn Gundam Statue yang berdiri gagah di Odaiba.
Ketika berada di bawahnya cuma bisa melongo. Ganteng banget. Kaiju dan segala
jenis monster bakalan kalah kalau melawan si ganteng ini.
Sambil menunggu jam satu untuk menyaksikan perubahan Gundam,
aku menuju sisi lain, yaitu teluk Tokyo. Ada patung Liberty di sana. Di depan
Lady Liberty, aku memanjatkan harapan semoga suatu hari nanti berkesempatan
mengunjungi sosoknya yang asli.
![]() |
Patung Lady Liberty versi Odaiba |
Mumpung udah di sini, jangan lupa berkunjung ke Fuji TV. Ada
observation deck, tapi aku enggak sempat masuk. Cuma bisa memandangi bulatan
aneh ala pesawat alien itu aja.
Next, kembali ke kepadatan Tokyo. Aku pun mengunjungi salah
satu kuil tertua di Jepang, Asakusa. Di sepanjang jalan menuju Asakusa dipenuhi
oleh jajanan dan toko macam-macam, jadi cocok untuk mengisi perut dan beli
oleh-oleh.
Memasuki Asakusa serasa menjelajah waktu. Apalagi ada banyak
yang memakai kimono, seakan-akan saat itu bukan di masa sekarang.
Aku tidak lama-lama di Asakusa. Ramai dan penuh, sehingga
membuatku merasa sesak. Belum lagi yang panasnya ampun-ampunan, serasa matahari
pas di atas kepala. Kalau enggak segera menyerah, mungkin sudah pingsan.
Perpaduan ramai dan panas memang bukan hal yang mudah untuk dilewati.
Tadinya berniat untuk kembali ke hostel, tapi urung karena
dari kejauhan melihat Tokyo Skytree dan ingat tiket yang sudah terlanjur
dibeli. Akhirnya memaksakan diri ke sana daripada rugi. Lagipula, siapa, sih
yang enggak penasaran mengunjungi gedung tertinggi di Tokyo? Dan juga, alasan
personal lainnya karena gedung ini jadi pusatnya beberapa stasiun TV Jepang.
Anak jurnal can relate, lah, he-he.
Satu hal, aku selalu gamang melihat dari ketinggian, tapi
tetap saja suka penasaran pengin melihat dari observation deck, he-he. By the way,
kalau mau ke Tokyo Skytree disarankan untuk membeli online karena antreannya
gila-gilaan. Untuk tiket ini, aku membelinya di Traveloka.
Sama seperti di Asakusa, aku agak kurang enjoy di sini
karena rame banget. Ditambah kepala sudah pusing karena terpanggang matahari di
Odaiba dan Asakusa. Untungnya, meski antre panjang, tapi teratur dan enggak
lama nunggu.
Ada dua observation deck di sini, yaitu Tembo Deck di
ketinggian 350 m dan Tembo Galleria di ketinggian 450. Bisa beli tiket Tembo
Deck aja, tapi karena waktu itu ada promo, aku pun beli dua-duanya.
Baru juga keluar dari lift yang super gede, kaki langsung
gemetar ketika melihat ke bawah. Pun ketika lewat di atas lantai kaca, cuma
berani di Tembo Deck. Itu juga gemeter dan hampir jatuh, sehingga memutuskan
untuk mundur.
Enggak usah main-main, deh, sama yang tinggi-tinggi, he-he.
Ueno yang menyesatkan
Oke, judulnya sangat tendensius, ya.
Untuk malam terakhir, aku pindah hotel ke Ueno. Setelah
pusing di Tokyo Skytree, aku pun memutuskan kembali ke hostel sekalian check
in. Nah, di sinilah pengalaman pertama bertemu orang Tokyo yang dingin dan cuek
ketika nanya jalan. Bahkan polisi aja ogah-ogahan. Hufft…
Ada cerita lucu yang berujung panik tapi sepenuhnya karena
kesalahan sendiri. Jadi, aku menginap di hotel Ueno Uno. Sejak dari Jakarta,
aku sudah melihat ancang-ancang keberadaan hotel ini. Dekat dari stasiun,
bahkan pas di tengah-tengah Ameyoko, salah satu jalan paling penting buat
belanja murah di Ueno.
Namun, setelah muter-muter Ameyoko tapi hotelnya enggak
kelihatan. Ada ibu-ibu di toko yang menjual pisau mau membantu, tapi dia pun
kebingungan karena enggak ada hotel di situ. Kepala pusing dan lapar membuatku
panik. Untung masih bisa berpikir jernih.
Akhirnya aku membuka peta dari link di Agoda. Sesaat aku
menyadari kebodohan. Yang aku tuju itu Uno, sebuah toko, bukan hotel Ueno Uno.
Hotelnya sendiri berada di sisi stasiun yang berseberangan dengan tempat aku
keluar dan menuju Ameyoko.
Setelah check in, aku hanya sempat jalan-jalan di Ameyoko dan
tidak ada yang tampak menarik untuk dibeli. Namun, jajanannya lumayan untuk
mengisi perut. Tadinya mau ke Ueno Park, tapi batal karena sudah malam.
(Sebelumnya juga batal ke Shinjuku Gyoen karena enggak ada waktu).
Hari terakhir di Tokyo sekaligus hari terakhir di Jepang.
Sepanjang pagi diguyur hujan, tapi enggak menyurutkan niat untuk jalan-jalan.
Beruntung ketika berangkat dari hotel masih gerimis, jadi koper enggak
kebasahan. Aku memutuskan untuk berhenti dulu di stasiun Shinagawa untuk
menitipkan koper sekaligus booking seat di Shinkansen menuju Osaka (flight
pulang dari Osaka).
Rencananya pagi itu ingin ke Meiji Jingu lalu lanjut ke
Starbuck Reserve. Siang berangkat ke Osaka dan sorenya mau ke Museum of House
and Living dulu di Osaka sebelum ke bandara. Sayang semuanya bubar jalan karena
hujan, he-he.
![]() |
Wine barrel |
Satu-satunya tempat yang bisa dikunjungi hanya Meiji Jingu. Berhujan-hujan
ria mengelilingi hutan demi menuju kuil tertua di Jepang itu. Ada banyak yang membawa
boneka dan ketika sampai di sana baru sadar kalau ada festival atau upacara di
Meiji Jingu. Dari papan informasi aku tahu kalau masyarakat Jepang percaya di
dalam boneka tersimpan jiwa orang terkasih. Jadi boneka yang sudah rusak atau
patah ditaroh di sana untuk dilakukan upacara pelepasan jiwa.
Thanks Dolls |
Tempat pengumpulan boneka |
Meiji Jingu terletak di tengah hutan di daerah Harajuku dan
Yoyogi. Kontras, ya, di tengah kesibukan kota ada hutan yang sangat besar. Meski
hujan, Meiji Jingu pagi itu tetap ramai.
Tadinya mau tetap nekat ke Starbuck Reserve, tapi urung
karena takut mengambil Shinkansen sore ke Osaka. Walaupun flight tengah malam,
enggak mau ambil risiko sampai di bandara mepet-mepet. Aku cukup tahu diri
kalau anaknya teledor, jadi takut kenapa-kenapa.
Sebelum kembali ke Shinagawa, aku menyempatkan diri makan
siang di daerah Ebisu. Tentu saja, masih hujan.
Pukul dua, aku bertolak menuju Osaka dan jam enam sore,
sampai di KIX. Lumayan ada waktu untuk makan malam sekaligus menghabiskan yen
di bandara.
So, this is the end of my journey. Sembilan hari rasanya aja
yang lama, tapi belum cukup.
Thank you Japan for your hospitality. I fall in love you and
I left my heart here, so I promise you that someday I’ll be back to take my
heart back.
XOXO,
iif
https://saglamproxy.com
ReplyDeletemetin2 proxy
proxy satın al
knight online proxy
mobil proxy satın al
GNMB3