Penguasa jalanan |
Jalanan ke Ciletuh itu kontradiktif. Di satu sisi, mengocok
perut berkat konturnya yang berbelok-belok naik turun. Meskipun sudah diaspal
dan bagus, tapi belokan-belokan tajamnya butuh kewaspadaan tingkat tinggi. Yah
namanya juga membelah bukit.
Sementara, di sisi lain, pemandangannya cantik banget. Di
sisi kiri ada pantai yang enggak habis-habis. Di sisi kanan, perbukitan.
Terlebih ketika datangnya saat kemarau, ketika dedaunan berwarna cokelat.
Feels like autumn.
Jika ingin ke Ciletuh, disarankan berangkat Jumat malam.
Namun, hati-hati aja. Terlebih setelah keluar tol, karena jalanannya gelap dan
keluar masuk hutan. Rumah penduduk memiliki jarak yang lumayan jauh. Sesekali
ada perkampungan, lalu hutan lagi, dan kemudian perkampungan lagi.
Masalahnya, jalanan di sini minim lampu jalan. Jadi,
benar-benar gelap.
Perjalanan pertama, rombongan saya berangkat pukul sepuluh
malam dan sampai di Ciletuh jam 2an dini hari. Perjalanan kedua lebih malam
lagi, jam 11-an, dan sampai di Ciletuh jam 3an. Hanya punya waktu istirahat
sebentar untuk kemudian bersiap-siap menjelajah Ciletuh.
Nah, kebahagiaan sebenarnya terletak di perjalanan pulang.
Usahakan berangkat siang, agar sampai Jakarta tidak terlalu malam. Pastinya,
spend waktu lebih agar bisa menikmati jalanan di sini.
Berhubung pemandangan pantai dari atas itu bagus banget, ada
beberapa spot yang sengaja dirancang sebagai tempat memandang lautan. Sekaligus
wisata selfie.
Paling terkenal adalah Puncak Darma. Tapi, kami melewatinya
karena sangat ramai. Tidak begitu jauh dari Puncak Darma ada spot lain yang
memandang lautan di Teluk Ciletuh.
Di perjalanan kedua, kami berhenti di spot yang lain. Kali
ini pemandangannya masih seputar teluk Ciletuh, dan Pelabuhanratu terlihat dari
kejauhan. Tepatnya di Puncak Gebang.
Menantang panas di Puncak Gebang |
Wisata selfie di Puncak Gebang |
Banyak papan berisi kalimat ngayayay kayak gini, termasuk will you marry me di atas pohon. Entahlah apa maksudnya
Ada beberapa highlight di perjalanan pulang ini. Pertama,
namanya tanjakan Balewer, diambil dari nama orang Belanda van Balewer. Sempat
dinamakan tanjakan Dini, nama seorang korban kecelakaan yang tewas di tanjakan
ini. Tanjakannya sih tajam banget, bikin bingung antara menahan napas karena
ngeri atau menahan napas karena view yang bagus.
Girang banget |
wataview |
Demi konten rela panas-panasan pt. 1 |
Selain itu, ada jalanan lain, yang menurut guide kami,
jalanan patah. Posisinya di atas, dan turunan di bawahnya tidak kelihatan,
sehingga langsung terlihat lautan. Jadi, seolah-olah jalanan itu berhenti di
atas dan langsung nyebur ke lautan. Sayang saya tidak sempat mengabadikannya.
Sejujurnya, jalanan Ciletuh yang sepi dan bagus ini sangat
instagramable. Kami pun menemukan sebuah spot yang sangat menarik. Di kedua
perjalanan ini, saya berhenti di jalanan itu.
Berlatar pantai Pelabuhanratu di belakang.
Kapan lagi, kan, bisa mejeng di jalanan seperti ini? Ini dia hasil berpanas-panasan di jalanan yang instagramable demi kepentingan konten, he-he.
This pict sum up our holiday in Ciletuh |
Namun, siap-siap aja kepanasan. Apalagi kalau nekat duduk di
jalan, itu aspal serasa mau ngebakar.
Stay cool padahal panasnya minta ampun |
Saking sepinya, suara kendaraan dari kejauhan sudah
terdengar. Jadi, lagi asyik-asyik foto trus
mendengar suara kendaraan, jadi langsung lari ke pinggir. Sudah lama ditungguin,
kendaraannya enggak nongol-nongol, saking jauhnya.
Sebenarnya, ini enggak disarankan karena berbahaya. Tapi,
kalau mau mencoba, silakan.
Special addition
Sebenarnya bingung ingin menyelipkan tempat ini di mana, tapi sepertinya cocok di sini karena Panenjoan ini semacam tempat peristirahatan sementara setelah dari Curug Awang sebelum ke Curug Cikanteh. Plus, ini tempat pandang juga.
Dari ini, terlihat bukit-bukit yang memenuhi Ciletuh. Ada tangga spiral dua biji di sini (di kedatangan kedua sudah dibongkar yang di sisi kanan). Tangga ini lumayan bikin gamang, apalagi di atas dan bawahnya langsung jurang, dengan angin yang dahsyat.
Coba tebak, ini ketawa asli atau palsu? |
Selain itu, tidak jauh dari Curug Cimarinjung ada persawahan penduduk. Hanya sawah biasa, tapi sebagai anak kota yang tiap hari lihat gedung, sawah-sawah ini jelas mengundang perhatian. Ditambah pada saat ke sana dalam keadaan masih basah dan habis hujan, sehingga pematang yang licin sukses membuat terpeleset. Hanya Catur yang balik dari sawah ini dalam keadaan bersih. Gue? Jangan ditanya, sempat aja gitu nyuci celana buat ngilangin tanah di selokan di pinggir jalan dekat sawah ini. Agus malah ngejemur celananya di kap mobil.
Semua demi konten, he-he.
Semua demi konten, he-he.
Yang tiga di bawah udah kepeleset. Yang di atas masih mikir mau turun apa enggak |
Tak perlu ke Abbey Road karena kita punya sawah |
Jadi, untuk short weekend getaway, Geopark Ciletuh worth to visit kok.
Cheers,
XOXO
iif
0 Comments:
Post a Comment