Di Suatu Hari di Bulan Desember

Leave a Comment
Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi; dibalik awan hitam; smoga ada yang menerangi sisi gelap Ini menanti; seperti pelangi setia menunggu hujan reda; aku selalu suka sehabis hujan dibulan Desember; di bulan Desember; sampai nanti ketika hujan tak lagi; meneteskan duka meretas luka; sampai hujan memulihkan luka
Desember - Efek Rumah Kaca

***

Desember adalah bulan kedua belas dalam kalender masehi. Itu fakta. Desember selalu muncul setiap kali November selesai bertugas dihari ketiga puluh dan Desember hanya muncul sebanyak tiga puluh satu hari, tidak pernah kurang, tidak pernah lebih. Itu fakta. Namun, bagiku Desember berarti lebih. Desember bukan hanya sebuah bulan di dalam penanggalan masehi. Desember bukan hanya akhir dari suatu perjalanan waktu selama satu tahun. Desember bukan hanya bulan biasa berisi tiga puluh satu hari. Desember bukan hanya hitungan hari pertama sampai hari ke tiga puluh satu. Tapi bagiku, Desember adalah sebuah penantian dan pengharapan.
Desember 1993, saat semuanya dimulai. Desember yang diguyur hujan terlihat sendu. Saat itu, di bawah pohon ini, kami berlindung dari guyuran hujan dan di salah satu dahan pohon ini, dia mengukir namaku dan namanya. Katanya, itu adalah simbol kebersamaan kita. 12 Desember 1993, hari Minggu kedua di bulan ini. Dia memberiku selembar kertas. Isinya “Aku akan kembali, di suatu hari di bulan Desember…..” dan setelah itu dia pergi, meninggalkanku.
***

Desember lagi...
Aku mendesah begitu menyadari kalau sekarag sudah memasuki bulan Desember. Apakah ini Desember terakhir yang kulewati dengan menunggunya?
Sepuluh tahun yang lalu dia meninggalkanku dengan sebuah janji kepulangannya kembali di suatu hari di bulan Desember. Tapi, setelah melalui berkali-kali Desember, dia belum juga kembali sementara aku selalu diselimuti pengharapan berlebih setiap kali memasuki bulan Desember. Dan begitu Desember berakhir, maka aku pun terhanyut dalam kekecewaan. Desember tahun ini sama seperti Desember-Desember sebelumnya. Di hari pertama Desember, aku selalu berdoa semoga ini adalah Desember terakhir, semoga tidak ada lagi Desember-Desember penuh ketidakpastian selanjutnya. Aku berharap semoga, di salah satu hari di Desember ini dia akan kembali dan membuat penantianku berakhir.
Desember sudah memasuki minggu kedua tapi tanda-tanda kepulangannya belum juga terlihat. Aku mulai putus asa. Apakah doaku lagi-lagi tidak terkabul? Apakah cobaan untukku masih ada dan aku masih ditakdirkan untuk terus menunggunya? Meskipun aku melewatinya dengan ikhlas, mencoba tabah setiap kali Desember berlalu tanpa kehadirannya, mencoba menguatkan hatiku bahwa penantianku ini tidak akan sia-sia, mencoba untuk tetap yakin bahwa dia akan kembali di suatu hari di bulan Desember, seperti janji yang ditulisnya di selembar kertas itu, namun tetap saja aku kecewa dan mulai mempertanyakan penantian ini. Benarkah tindakanku ini?
Aku hanya mempunyai selembar kertas berisi janji kepulangannya. Tapi, aku tidak punya hal lain yang bisa memperkuat janji itu. Tidak ada satupun hal kecil disini yang bisa menariknya pulang. Hal ini membuatku mulai ragu, apakah dia masih mengingat janji itu? Setelah sepuluh tahun berlalu, masihkah dia memegang perkataannya? Bahwa dia akan kembali? Apa dia sudah lupa atau sama sekali tidak pernah merasa bahwa dia pernah berjanji?
Dan selintas aku berpikir, masihkah dia mengingatku? Atau ingatan tentangku sudah lenyap seiring berjalannya waktu? Sehingga dia tidak pernah kembali karena memang tidak ada alasan untuknya kembali. Pikian itu menyakiti hatiku. Kalau memang itu benar, betapa kejamnya dia padaku. Sepuluh tahun aku menunggunya, berharap dia akan kembali tapi semuanya sia-sia. Mendadak lututku terasa lemas. Apa artinya penantianku selama ini jika itu benar?
“Tidak Steph, kamu salah…” Sebuah suara menggaung di pikiranku. “Kamu ingatkan kebersamaan kalian dulu? Sama seperti kamu, dia tidak akan mungkin melupakan semua kenangan itu karena kenangan itu terlalu berharga untuk dilupakan.”
Aku tersentak. Kenangan? Ya, aku memiliki banyak kenangan dengan dia. Kami melewati ribuan hari bersama, berbagi canda, tawa, airmata, mimpi, angan dan semua harapan yang kami punya. Dia selalu ada untukku dan dia selalu menemaniku setiap saat. Kami berjalan bersama, berlari bersama, memulai hari bersama dan mengakhirinya bersama-sama juga. Karena dia aku menyukai hujan karena setiap kali hujan berakhir akan muncul lukisan indah di langit, pelangi. Dia membuatku suka bersepeda karena katanya dengan bersepeda kita bisa mendahului angin. Karena dia aku menyukai rerumputan karena bagi dia rumput adalah mahkluk yang kuat, tetap bertahan meskipun selalu diinjak. Dia mengajariku untuk bercerita pada angin karena angin yang selalu berhembus adalah tempat terbaik untuk menyimpan sebuah rahasia. Dia mengajariku untuk selalu mencurahkan perasaan di selembar kertas lalu melipat kertas itu menjadi pesawat-pesawatan dan menerbangkannya karena dengan begitu perasaan kita akan kembali tenang. Dia juga yang memperkenalkanku pada piano, sebuah benda yang ketika ditekan akan menghasilkan nada-nada indah. Dia menceritakan semua dongeng padaku sampai-sampai aku ingin menjadi Dewi Aphrodite atau memiliki panah seperti Dewa Cupid. Dia mengajakku melihat keindahan dunia dari atas pohon. Dia selalu melindungiku dan melepaskanku dari setiap kesulitan. Dia rela terluka atau berkelahi demi membelaku. Dia, ah begitu banyak hal tentang dia yang bisa kuingat. Tapi, satu hal yang paling kuingat, karena dialah aku selalu merindukan Desember. Karena janji yang dibuatnyalah aku selalu menunggu kehadiran Desember. Dia membuatku selalu berharap lebih akan kehadiran Desember. Dia membuat seluruh hidupku berpusat pada Desember karena janjinya untuk kembali di suatu hari dibulan Desember. Dan, karena dia jugalah aku harus menanggung kecewa setiap kali Desember berakhir.
“Jangan bodoh Steph. Kenagan itu hanya bagian dari masa kecil kalian. Kamu tahu kan kalau sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk membuat kenangan baru?”
Sebuah suara kembali bergema dipikiranku. Suara itu ada benarnya juga. Sepuluh tahun kehidupanku tanpa kehadirannya juga sudah membuat warna baru dalam hidupku.
“Tidak Steph. Kenangan itu memang bagian dari masa kecil kalian, tapi hal-hal indah tidak akan mungkin hilang begitu saja. Kamu harus yakin kalau dia akan menepati janji itu.”
“Percuma. Itu hanya janji yang dibuat seorang anak kecil dan janji yang dibuat oleh seorang anak kecil itu mudah dibuat, juga mudah dilupakan.”
“Salah. Justru janji yang dibuatnya adalah janji yang tulus. Dia berjanji dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu dia pasti akan kembali.”
“Sungguh-sungguh? Kalau dia sungguh-sungguh maka dia akan mengucapkan janji itu langsung, bukan melalui selembar kertas lusuh.”
Aku tertegun mendengar pertentangan dua suara di pikiranku. Entah suara yang mana yang akan ku percayai. Dua-duanya benar.
“Kamu harus percaya aku Steph. Persetan dengan janji itu. Persetan dengan Desember. Memangnya kamu mau menghabiskan seumur hidupmu dengan menunggu Desember datang dan kemudian dikecewakan setelah Desember berlalu?”
“Jangan Steph. Kamu harus percaya kalau dia akan kembali.”
“Apa ada alasan untuk percaya?”
“Ya.”
“Omong kosong. Kamu tidak punya alasan untuk percaya Steph.”
“Tentu kamu punya alasan untuk percaya karena KAMU MENCINTAINYA.”
“Cinta katamu? Nggak mungkin. Gagasan itu sungguh konyol. Mana mungkin kamu mencintainya Steph? Kamu mengenalnya ketika kamu masih bau kencur. Tidak mungkin kamu mengenal cinta di usia sedini itu? Hahaha…”
“Justru karena kamu mencintainya makanya kamu bertahan selama sepuluh tahun menunggu kepulangannya.”
Aku tersentak. Cinta? Apa benar aku mencintainya?
“Tentu saja.”
Tapi bagaimana mungkin? Aku mengenal dia ketika aku masih kecil.
“Karena itu tidak mungkin kamu mencintainya….”
Tapi aku bertahan menunggu dia selama sepuluh tahun. Aku selalu berdoa setiap kali menjelang Desember semoga di Desember ini dia datang. Aku selalu memikirkannya setiap saat, memutar kembali kenangan yag pernah kumiliki bersamanya. Aku tidak pernah menginginkan hal lain seperti aku menginginkan kepulangannya dan aku juga tidak pernah mengizinkan pria manapun memasuki hatiku karena selalu ada namanya bersemayam disana. Apakah itu pertanda cinta?
“Akhirnya kamu menyadarinya juga. Sejak awal kamu sudah memiliki cinta itu, tapi kamu tidak pernah menyadarinya.”
“Lalu kenapa jika benar kamu mencintainya? Apa yang bisa kamu perbuat? Toh, dia tidak ada disini. Dia tidak akan kembali. Kamu hanya akan semakin kecewa.”
“Cinta memang membutuhkan perjuangan dan penantianmu ini adalah bagian dari perjuangan itu.”
“Tapi cinta memiliki akhir yang pasti sedangkan kamu? Kamu hanya memiliki ketidak pastian.”
“Dengan kamu menyadari cinta itu maka kamu akan semakin yakin kalau dia akan kembali, ke tempat ini, di suatu hari di bulan Desember, sesuai janjinya padamu.”
“Ah… persetan dengan Desember. Sampai kapan kamu mau terus-terusan dikecewakan Steph?”
“DIAM……….” jeritku. Pertentangan itu membuatku pusing. Aku tidak tahu apa aku mencintainya. Aku tidak tahu apakah tindakanku untuk menunggunya itu benar. Aku tidak tahu apakah dia masih mengingatku dan memegang janjinya. Aku tidak tahu apakah aku harus tetap mempercayai Desember atau merelakannya. Aku tidak tahu…..
“Jangan membuat dirimu bingung. Dia tidak akan kembali…”
“Dia akan kembali, percayalah…”
“Tidak akan….”
“Percayalah Steph…”
“Percuma…”
“DIAMMMMMMMMMM!” jeritku lagi. “PERGI KALIAN. JANGAN GANGGU AKU. TINGGALKAN AKU SENDIRI AGAR AKU BISA BERPIKIR. PERGIIIIIIIIIIIIIIIIII…………….”
“Steph, kamu kenapa?” Aku mendengar suara mama dari kejauhan dan merasakan ada yang menggoyang-goyang tubuhku. Aku mendengar mama berteriak panik dan menyuruhku membuka mata. Tapi aku bergeming dan tidak menghiraukan mama. Aku tidak membuka mataku sekalipun aku marasakan air mata mengaliri pipiku. Aku bingung, apa yang harus kulaklukan?????????
***

“Pokoknya kamu harus ikut mama!”
Aku menggeleng.
“Tidak ada kompromi. Kamu harus ikut mama pindah ke Jakarta. Mama sudah mengurus semuanya dan besok kita berangkat.”
Aku berlari menuju kamarku dan menangis keras. Kejadian waktu itu membuat mama mengambil sebuah keputusan, aku harus pindah ke Jakarta. Aku tidak mau pindah ke Jakarta, aku tidak mau pergi kemanapun. Aku ingin selalu berada disini karena ke tempat inilah dia akan kembali. Mama tidak tahu dan tidak akan pernah mengerti alasanku tetap bertahan di tempat ini. Aku rela tidak ikut dengan mama dan papa yang pindah ke Jakarta tujuh tahun lalu dan tinggal bersama nenek di kota kecil ini karena di kota kecil inilah aku mengenalnya dan ke kota kecil inilah dia akan kembali. Aku masih mengharapkan dia kembali karena itulah aku tetap bertahan disini. Aku mencintainya dan karena itulah aku harus tetap disini.
Tapi, mama tidak pernah mengerti. Dan di akhir Desember, mama menyeretku untuk pergi dari tempat ini.
***


***

Ini adalah Desember ketiga yang kulewati di Jakarta. Aku tetap menunggunya meskipun aku tahu itu sangat mustahil. Dia tidak akan menemuiku di Jakarta dan aku tidak mendapat kesempatan untuk kembali ke kota kecil itu setiap kali Desember datang. Berkali-kali aku mencoba melarikan diri tapi mama berhasil mencegahku.
Ini adalah Desember ketiga yang kujalani dengan berat. Aku selalu bertanya-tanya apakah dia sudah kembali dan tidak menemukan aku menunggunya disana? Dan dia menganggapku tidak pernah menunggunya, atau mempedulikannya. Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Untuk itu, aku harus segera kembali kesana sebelum dia datang. Tapi, mengapa keinginan untuk menghabiskan Desember di sana tidak pernah terwujud?
Entah suatu kebetulan atau memang takdir yang sedang berpihak kepadaku, nenek menyuruhku datang mengunjunginya. Dan itu terjadi di bulan Desember.
Dan, disinilah aku sekarang. Berdiri di bawah sebatang pohon yang di salah satu dahannya terukir namaku dan namanya. Di pohon ini, lima belas tahun yang lalu, dia menyerahkan selembar kertas berisi sebuah janji “Aku akan kembali, di suatu hari di bulan Desember” dan di pohon inilah aku selalu menunggu kedatangannya setiap kali Desember datang.
Tapi, ada yang berbeda di pohon ini. Di salah satu dahannya tergantung sebuah botol kaca dan selembar kertas di dalamnya. Didorong oleh rasa penasaran yang kuat, aku pun memanjat pohon itu. Sesaat kenangan masa kecilku kembali terlintas di pikiranku, saat dia mengajakku memanjat pohon ini untuk menyaksikan keindahan dunia dari atas.
Dan, begitu aku bisa meraih botol itu, jantungku langsung berhenti berdetak. Ada namaku ditulis di sana, UNTUK STEPHANIE MARIA.
Dengan perasaan campur aduk aku membuka tutup botol dan mengeluarkan kertas itu.
Aku kembali Steph, sesuai janjiku, di suatu hari di bulan Desember.
Tapi aku tidak menemukanmu disini. Apakah kamu tidak pernah menunggu kepulanganku? Ataukah kamu sudah tidak mengingatku lagi? Atau kamu sudah capek karena telah menungguku begitu lama?

Salahku Steph, pergi begitu lama tanpa ada kabar dan hanya meninggalkanmu dengan sebuah janji yang kutulis di selembar kertas lusuh.

Aku kembali Steph, untukmu tapi kamu tidak ada disini. Semoga, di suatu hari di bulan Desember, aku bisa menemukanmu, Amin…. DIEN
Dia kembali? Dien kembali? Dan aku tidak ada disini? TIDAAAKKKKKKK…!!!
Aku merasa semuanya gelap ketika kepalaku menghantam tanah.

SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig