Karena setiap kali hujan turun, setiap kali itu pula aku teringat dia. Dia yang sekarang entah berada dimana. Dia yang pernah menjadi bagian terindah dalam hidupku, mengajakku mengecap manisnya percintaan sekaligus mendorongku ke jurang sakitnya dikhianati. Dia yang pernah menyempurnakan hidupku dengan kehadirannya, dia yang kukira adalah anugrah yang diberikan Tuhan untukku, dan dia yang melumuri hari-hariku selanjutnya dengan tetes air mata.
Dia yang seharusnya ku benci tapi sampai detik ini aku masih terlalu mencintainya, begitu memujanya, dan masih takluk di hadapannya. Meskipun keberadaannya tidak lagi ku ketahui, meskipun aku tahu bahwa diamanapun dia berada, ada sesosok makhluk beridentitas perempuan di sampingnya. Pahitnya pengkhianatan, sakitnya dicampakkan, tidak sebanding dengan kebahagiaan kecil yang pernah ku resapi.Bersama dia...
"Ah, Melody. Seharusnya kita bertemu lebih awal," ujarnya di suatu sore.
"Mengapa?"
"Aku sering merasa bosan dengan kebisingan yang terjadi di sekitarku, setiap orang terlalu menuruti egonya masing-masing sampai-sampai tidak ada tempat untuk toleransi. Aku ingin kabur, ke suatu tempat yang bisa membuatku tenang, meski sekedar untuk mengistirahatkan pendengaranku dan memejamkan mata. Aku ingin ketenangan. Dan aku baru merasakannya sekarang, setelah bertemu kamu, setelah kamu rela berbagi tempat ini denganku."
Ah, Pandawa. Jangankan tempat ini, aku rela berbagi apapun dengan kamu, seandainya kamu tahu itu.
"Terima kasih ya."
"Untuk apa?" Aku tidak mengerti mengapa dia mengucapkan terima kasih kepadaku. Aku merasa tidak melakukan apa-apa yang membuatku berhak menerima ucapan itu. "Untuk telah merelakan dirimu untuk ku miliki, untuk berbagi denganku, untuk ketenangan yang kamu hadirkan di kehidupanku." Dia tersenyum dan senyumnya langsung merasuk ke hatiku. Dia menggenggam tanganku dan mengajakku ke dalam kebisuan. Kami pun menikmati rembang petang ini dalam keheningan, keheningan yang kami sukai karena aku tidak butuh kata-kata karena aku telah mendapatkan apa yang kuinginkan. Cintanya. Cinta Pandawa.
Ah, Pandawa. Dirinya selalu menghadirkan senyum untukku. Salahkah aku terlalu memujanya? Dosakah aku begitu mencintainya? Tidak. Aku melakukannya dengan senang hati. Kenapa? Karena dia pantas untuk mendapatkannya. Dia adalah ukiran terindah yang pernah diciptakan Tuhan. Kehadirannya memberikan kedamaian, setidaknya untuk diriku. Setiap nasihatnya adalah sajak terindah yang menjadi penuntunku ke arah yang lebih baik. Dia rela berlari menyongsongku padahal aku hanya mendekat beberapa langkah ke arahnya. Meskipun dia sering menghadiahi aku dengan kebisuan, aku tidak keberatan karena itulah yang aku inginkan. Tanpa ada kata-kata, yang ada hanya aksi. Karena menurutku, kata-kata akan menguap begitu cepatnya tapi setitik kecil aksi yang dilakukannya akan membekas untuk waktu yang lama. Hujan masih turun dengan derasnya dan aku masih berada di sini, sendirian, tanpa teman. Tidak apa. Toh, sebentar lagi, teman tercintaku akan datang. Pandawa, tidak lama lagi dia akan berada di sini, menjemputku dengan sebuah payung hitam melindungi sosoknya.
Nah, itu dia. Berlari menyeberangi lapangan di bawah perlindungan payung hitamnya. Aku berdiri dari dudukku, berjalan ke ujung teras, tinggal selangkah lagi sebelum tubuhku terbalut dalam rintik hujan. Aku menunggunya. Lalu, berdua kami menjejak tanah di bawah lindungan payung hitam, menuju tempat rahasia kami, tempat yang menghadirkan ketenangan untuk kami. Dan kami saling membisu. Hanya ada derauan hujan memenuhi rongga pendengaranku dan aroma hujan yang berbaur dengan aroma tubuhnya. Indah.
Di hari pertama aku berjalan disampingnya, hanya satu keinginanku: selamanya bersama dia. Mengapa? Karena disisinya aku merasa tenang. Aku ingin menghabiskan setiap sore di pinggir danau kesayangannya, menatap mentari yang perlahan-lahan turun meninggalkan bumi. Aku tidak butuh kata-kata, apalagi basa basi, dan tentunya: tak ada bising.Sebuah kebahagiaan yang terlalu sempurna untukku. Aku mencintai Melody, segenap hatiku, dan itu pasti. Tapi, apa yang bisa kulakukan jika cintaku pada Melody harus bersinggungan dengan baktiku pada orang tua, terlebih ibuku? Sebuah pilihan, yang apapun hasilnya, akan menyakiti salah satu pihak. Tidak, aku tidak bisa. Ini terlalu berat untukku. Apa yang harus kulakukan jika di satu sisi aku terbayang senyum Melody dan hasrat ingin terus bersamanya sementara di sisi yang lain, rintihan ibuku yang mengiba meminta pengorbananku. Cinta atau baktiku??
Hidup seperti roda ternyata memang benar adanya. Jika kemaren-kemaren aku mengecap manis kasih bersama Pandawa, maka hari ini aku terisak atas pahit yang diberikannya.
Dia memutuskanku begitu saja, mengakhiri semua cerita kita. Di tepi danau ini, saat mentari bergerak perlahan menuju peraduannya dan angin membelai manja wajahku, aku harus menahan diri ketika dia memilih untuk memalingkan langkah, keluar dari jalur yang telah kita tapaki bersama selama ini. Pandawa memutuskan mulai saat ini tak ada lagi cerita di antara kita, bahwa sekarang saatnya aku dan dia mulai melangkah sendiri-sendiri, mengukir cerita kita masing-masing tanpa ada kaitan satu sama lain.
Semuanya terjadi begitu saja. Aku tak menyangka senyum ramahnya yang terukir ketika bertemu denganku tadi ternyata menyembunyikan racun di belakangnya, racun yang menikamku saat dia mengutarakan niatnya.
Tidak, ini tidak mungkin. Aku tahu dia mencintaiku. Tak hanya dari perkataan, tapi juga dari setiap perlakuannya kepadaku. Di balik ketenangannya aku bisa merasakan semburat cintanya untukku. Di balik tatapannya tersimpan harapan akan kebahagiaan kita di kehidupan nanti. Genggaman tanagnnya meyakinkan aku bahwa jalan yang kita pilih adalah benar.
Tapi ternyata aku salah. Dia memilih hal lain.
Dan itu menghancurkan aku.Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Selain menatap nanar punggungnya yang kian menjauh. Malam beranjak naik dan dia beranjak jauh.
Pandawa menatap langit. “Dia hamil, dan lelaki yang menghamilinya harus mendekam di penjara, beberapa hari menjelang pernikahan mereka. Pernikahan itu tidak mungkin dibatalkan. Dan aku harus menggantikan lelaki itu. Aku harus menikahinya.”
“Mengapa harus kamu? Masih banyak lelaki di luar sana.” Aku bersikeras menentang kenyataan ganjil itu. Ini bukan salahnya, tapi mengapa harus dia yang menanggung semua ini? Mengapa aku juga harus ikut merasakan kepedihan ini?
“Karena ibuku menangis di kakiku, memintaku untuk berkorban. Dan kakakku mengiba dihadapanku, merontokkan semua gengsinya dan memohon kesediaanku, memintaku untuk menggantikan dia meminang perempuan itu sementara dia harus merasakan dinginnya lantai penjara. Oh, mungkin penjara tak ada apa-apanya dibanding kehidupan suram yang harus kujalani nanti.”
Aku terdiam. Kenapa kakaknya harus terlibat dengan sindikat obat-obatan terlarang itu? Kenapa kakaknya harus menghamili perempuan itu? Mengapa pernikahan itu harus dirancang? Tapi, mengapa harus Pandawa yang menanggung ini semua? Kenapa aku juga harus terlibat?
“Maafkan aku…”
Seiring dengan keluarnya kata-kata itu, dia bukan lagi milikku. Besok, dia akan menjadi milik orang lain.

Biasanya Melody ada disini, melewatkan setiap sore disini, menatap langit dan sekedar menenangkan diri. Tapi, semuanya berubah setahun terakhir.
Dia tidak pernah datang kesini, tepatnya sejak kita berpisah. Awalnya aku berharap masih bisa melihatnya dari kejauhan, memandangnya dari balik pepohonan. Tapi nyatanya aku hanya mendapati danau kosong. Meski aku mengunjungi tempat ini setiap hari, dia tidak pernah muncul. Mungkin tempat ini terlalu menyakitkan baginya. Banyak cerita kita disini dan pengkhianatan yang ku ukir juga terjadi di tempat ini.
Ah sudahlah. Ini keputusanku. Aku yang meninggalkannya, untuk apa aku masih mengharapkannya? Toh aku yakin, sekarang dia pasti sangat membenciku. Aku, seorang pria lemah yang bahkan untuk sekedar memperjuangkan wanita yang dicintainya saja tidak bisa. Aku, seorang pria bodoh yang mau mengalah begitu saja dan tega menyakiti wanita yang sangat ku cintai. Aku, pria yang tak punya kekuatan apa-apa. Bahkan sekarang aku tak lagi merasa hidup.
Aku telah mati, satu tahun yang lalu. Saat aku meninggalkan Melody saat itulah desahan nafas terakhirku.
Sore ini aku kembali mengunjungi danau di belakang kampus –sambil terus berharap semoga ada Melody di sana-. Tapi danau itu tetap sama. Kosong.
Kosong, seperti hatiku.Dan aku membiarkan tubuh ringkihku diterpa hujan di sore hari. Aku tak merasakan apa-apa. Toh, aku sudah mati….
Cerita ini sebenarnya sudah lama tapi terbengkalai begitu saja. Di tengah-tengah kerumitan memikirkan pekerjaan dan saat butuh sedikit hiburan, maka saya melanjutkan cerita ini hingga akhirnya menjadi sebuah cerita yang sempurna.
ReplyDelete