Singing In The Rain

2 comments
*Cerpen ini dimuat dalam buku Kumpulan Cerpen "Be Strong Indonesia 11" dari @nulisbuku sebagai bagian dari program amal bertajuk Writers For Indonesia, yaitu program pengumpulan dana bagi korban bencana alam yang akhir-akhir ini banyak melanda negeri tercinta ini. Semua hasil penjualan buku ini 100% dialokasikan sebagai amal.*

-Karena banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menunjukkan cinta. Salah satunya lewat tulisan.-
***

Singing In The Rain

Hari ini aku datang lagi

dengan sebuah lagu baru yang

siap untuk ku ceritakan dan kau

akan mendengarkan dengan mata

kosong seperti kemaren.

Dan aku tak ‘kan bosan menemuimu

setiap hari dengan sebuah lagu baru.

Sama seperti dirimu yang ‘tak pernah

bosan menatap gambar yang sama,

setiap hari, setiap waktu

dengan pandangan yang sama.

Hari ini aku datang lagi dengan

sebuah lagu baru dan ‘kan ku ajak kau

menyanyi bersama di bawah rintik hujan.


“Pagi suster.”

Suster yang setengah mengantuk itu terlonjak kaget mendengar sapaanku. Namun, wajah mengantuknya langsung lenyap begitu menyadari akulah yang menyapanya. Dia tersenyum hangat.

“Pagi. Kamu membawa lagu baru hari ini?”

Aku mengangguk dan melirik gitar tua yang tersampir di pundak kananku. “Bagaimana keadaannya?”

“Dia sedang menunggumu. Bergegaslah.”

Aku pun berpamitan dan suster tersebut kembali tidur-tidur ayam sepeninggalku. Aku keluar dari ruang resepsionis dan berbelok ke kanan. Isi gedung ini sudah sangat kuhafal. Aku bahkan sudah terbiasa dengan warna putih yang mendominasi keseluruhan bangunannya. Aku bahkan bisa berjalan di selasar-selasar panjang sambil menutup mata dan yakin tidak akan tersesat karena aku sudah sangat mengenalya. Terlebih lagi, aku tidak hanya mengenal gedung ini tetapi juga sebagian besar penghuninya, dan begitu juga sebaliknya.

Gedung tua ini sudah seperti rumah kedua bagiku. Kesinilah aku datang setiap pagi dan melewatkan waktu setengah jam setiap hari dengan bernyanyi disini. Jadwal kedatanganku tidak pernah berubah, selalu jam tujuh pagi dan ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah delapan, aku sudah harus pergi dan mengerjakan aktivitas yang lain. Begitulah setiap hari dan hal ini sudah kujalani selama tiga tahun.

Aku berbelok di ujung selasar dan memasuki sebuah pintu. Di dalam ruangan itu terdapat banyak kamar yang semua pintunya terbuka. Aku sudah mengenal semua penghuni kamar-kamar ini dan aku juga mengetahui penyebab kenapa mereka sampai mendekam di sini. Kebanyakan dari mereka terpaksa tinggal di sini karena keberadaan mereka di tengah masyarakat dirasa sebagai sebuah ancaman. Orang-orang menganggap mereka berbahaya dan harus diasingkan agar tidak mengganggu. Aku tidak setuju dengan pendapat itu. Mereka sama sekali tidak berbahaya. Mereka juga tidak pernah mengganggu. Buktinya, selama tiga tahun aku mengunjungi tempat ini, sedikitpun mereka tidak pernah menggangguku.

“Ina… Ina….”

Langkahku terhenti karena mendengar seseorang memanggilku. Aku melongok ke dalam sebuah pintu yang terbuka. Didalam kamar kecil itu ada seorang perempuan yang seusia denganku. Dia sedang duduk di ranjang dan seorang suster tengah menyisir rambut panjangnya. Perempuan itu menggendong sebuah boneka –dan sepanjang pengetahuanku, boneka itu tidak pernah lepas dari genggamannya semenjak dia pertama kali datang ke tempat ini satu tahun yang lalu- dan mengayun-ayunkan boneka itu seolah-olah boneka itu adalah seorang bayi. Aku tersenyum padanya dan menunjuk gitar yang ada di pundak kananku.

“Aku terburu-buru. Nanti aku kesini,” ujarku.

Perempuan itu mengangguk. Meskipun sudah mengenalnya selama satu tahun, hatiku tetap saja miris melihatnya. Dia seusia denganku tapi dia sudah kehilangan masa depannya. Orangtuanya memasukkan dia ke tempat ini karena mereka tidak tahan menjaga anaknya yang suka keluar rumah sambil menggendong boneka yang dipanggilnya ‘bayiku’. Dari cerita suster disini, perempuan itu agak terganggu jiwanya karena anaknya meninggal sewaktu dilahirkan dan dia tidak bisa menerima kenyataan itu. Dan, nasibnya pun harus berakhir di gedung tua ini.

Aku berhenti di ujung koridor. Di sebelah kiri ada sebuah kamar yang pintunya setengah terbuka. Aku mengintip dari balik pintu. Di dalam ruangan itu ada seorang perempuan muda yang duduk menatap keluar jendela. Aku menarik nafas panjang dan melangkah masuk.

“Selamat pagi,” ujarku.

Perempuan itu tidak menggubris sapaanku. Dia terus menatap keluar jendela. Bahkan sampai aku duduk disebelahnya, sedetik pun dia tidak pernah berpaling kepadaku. Sama seperti hari-hari sebelumnya, dia terus menatap kosong keluar jendela sementara tangannya menggenggam sebuah foto lusuh. Pemandangan ini juga sudah akrab denganku semenjak tiga tahun yang lalu dan tetap saja aku kesulitan menahan air mata agar tidak jatuh ketika melihat keadaannya.

“Siap mendengarkan lagu hari ini?” tanyaku.

Dia mengangguk. Aku bisa menebak kejadian berikutnya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, setelah mengangguk dia akan mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap foto lusuh yang selalu dipegangnya. Begitu aku selesai bernyanyi dia akan menatapku dan aku mengerti arti tatapan itu; dia memintaku untuk menceritakan isi lagu itu. Aku tidak tahu apakah dia mengerti apa yang aku ucapkan atau tidak, tetapi yang pasti, dia akan menatapku dengan mata berbinar-binar begitu aku selesai bercerita.

Aku memetik gitar. Perlahan, dari mulutku mulai mengalir sebuah lagu lama tapi sangat berarti untukku. Aku bernyanyi sambil menatap keluar jendela, memandang gerimis yang perlahan mulai turun. Aku merasakan mataku berat ketika menyanyikan bait demi bait lagu tersebut.

We used to walk down by the river

She loved to watch the sun go down

We used to walk along the river

And dream our way out of this town

Aku memandang sekilas ke arah perempuan yang ada disampingku. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini dia menatapku. Dan pandangannya, ah… aku tidak tahu maksud pandangan itu. Apa dia mengerti maksud lagu ini? Apa dia ingat bahwa bertahun lalu aku dan dia sering manghabiskan waktu di sungai bersama-sama sambil bercerita tentang masa depan? Apa dia masih ingat mimpi masa kecilnya yang ingin menjadi seorang koki terkenal dan membuka sebuah restoran? Apa dia masih ingat bahwa dulu kami membuat sebuah permohonan dan memasukkannya ke dalam botol lalu membuang botol itu di sungai dengan harapan permohonan kami bisa terkabul? Ataukah sekarang dia merasa sedih karena permohonannya tidak pernah terwujud dan dia harus berakhir disini?

I think about my life gone by

And how its done me wrong

Theres no escape for me this time

All of my rescues are gone, long gone

Dia kembali menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan. Aku hanya bisa bertanya-tanya, apakah yang dia pikirkan tentang hidupnya sekarang? Apakah dia menyalahkan seseorang atas nasib yang menimpanya? Bosankah dia dengan kehidupan yang dijalaninya saat ini? Apakah dia ingin mengakhiri penderitaannya? Aku sendiri juga tidak tahan dengan penderitaannya, tapi apa yang harus kulakukan? Aku hanya bisa menghiburnya dengan lagu-lagu ini, mengunjunginya setiap hari dengan harapan agar dia tidak merasa sendirian di dunia ini dan masih ada orang yang sayang padanya. Tapi, apa itu cukup? Aku tidak tahu apa yang diinginkannya. Dia tidak pernah berbicara padaku.

Aku kembali menatapnya. Dia sedang menekuri foto lusuh ditangannya dengan mata berkaca-kaca. Ini kali pertamanya sejak tiga tahun terakhir aku melihat dia menangis. Aku tergerak untuk menghapus airmatanya, dan dia tidak mencegah sama sekali.

“Ina….” panggilnya lirih. Ini juga pertama kalinya aku mendengar dia berbicara meskipun pandangannya tidak pernah lepas dari foto tersebut.

Aku ikut-ikutan menatap foto itu. Ada empat orang terlihat di dalam sana. Seorang pria berusia empat puluhan yang sedang menggendong seorang gadis kecil berusia lima tahun. Di sebelahnya ada seorang wanita berusia empat puluhan juga. Wanita itu sedang memangku seorang gadis cilik berusia sepuluh tahun. Satu-satunya persamaan yang tampak dari keempat orang itu adalah; mereka semua tertawa bahagia.

Perempuan disampingku kembali menatapku. Kali ini pandangannya sama seperti hari-hari sebelumnya, memintaku untuk menceritakan isi lagu yang baru saja kunyanyikan. Aku menggeleng. Aku tidak sanggup menceritakan isi lagu tersebut. Ceritanya sama saja dengan mengoyak kembali luka masa lalu yang telah lama kukubur dalam-dalam, dan ceritanya juga bisa mengakibatkan perempuan ini semakin larut dalam kesedihannya. Tapi, dia tidak mau menyerah dan terus menatapku sampai akhirnya aku terpaksa mengalah.

“Lagu ini bercerita tentang seorang pemuda yang pindah ke sebuah kota tua bernama Hazard di Negara bagian Nebraska, Amerika Serikat.” Aku mulai bercerita. “Tidak ada satupun orang di daerah tersebut yang menyukainya. Sampai suatu hari dia bertemu dengan Marry.” Aku menarik nafas berat. Bagian selanjutnya akan terasa berat untuk ku ceritakan. “Mereka suka berjalan di pinggir sungai sambil merencanakan cara untuk pergi dari kota itu.”

Perempuan itu tersedak. Aku menoleh kepadanya dan dia kembali menatap keluar jendela. “Sungai……” desisnya.

Aku tersenyum getir. “Ya, sungai. Seperti kita dulu yang suka berjalan di pinggir sungai dan membuat permohonan tentang masa depan,” timpalku.

Dia kembali menatapku dan mendesakku untuk melanjutkan cerita. “Tapi, tiba-tiba Marry mengkhianatinya. Dia kembali teringat tentang masa kecilnya dimana ayahnya meninggalkan ibunya demi wanita lain…..”

Lagi-lagi dia tersedak. “Ayah….”

Aku berusaha keras menahan air mata agar tidak tumpah. Setidaknya, di depan dia, aku harus kelihatan kuat. “Lalu, tiba-tiba saja dia mendapat kabar bahwa Marry meninggal di sungai dan………”

Pertahananku ambruk. Cerita itu begitu dekat dengan ceritaku sendiri, dan cerita itu juga yang menyebabkan perempuan disampingku ini harus mendekam di sini, untuk jangka waktu yang tidak bisa dipastikan.

Aku tidak pernah menyangka kehidupanku akan menjadi seperti ini. Aku tumbuh dalam keluarga yang bahagia. Setiap hari, di masa kecilku, aku sering bermain di pinggir sungai dengan kakakku. Di sana kami membuat permohonan masing-masing. Aku ingin menjadi seorang penyanyi karena aku sangat suka menyanyi dan kakakku ingin menjadi seorang koki. Dulu, aku selalu menghabiskan setiap sore dengan menyanyi sambil diiringi gitar kesayanganku dan kakak akan selalu mendengarkan setiap nyanyianku dan setiap kali aku selesai bernyanyi, dia mendesakku untuk menceritakan isi lagu yang baru saja kunyanyikan.

Tapi, semua berubah sejak tiga tahun lalu. Waktu itu aku sedang pergi keluar kota karena ada lomba nyanyi. Begitu pulang, aku tidak mendapati ayah di rumah. Biasanya ayah selalu menungguku pulang dan bertanya tentang lomba yang kuikuti. Aku mencari ayah, tapi dia tidak ada di mana-mana. Akhirnya, kakak menceritakan kalau ayah telah pergi dua hari yang lalu. Waktu aku bertanya lebih jauh, kakak hanya bilang…

“Ayah pergi dengan seorang wanita jalang yang ditemuinya di tempat kerjanya. Sudahlah, tidak perlu dibahas. Dirumah ini, sudah tidak ada ayah lagi. Dia telah mati.” Waktu itu, di usiaku yang baru menginjak lima belas tahun, aku sudah bisa menangkap kebencian di balik kata-kata yang terlontar dari mulut kakak. Aku mengerti karena kakak sangat dekat dengan ayah dan bagi kakak, sosok pria sempurna adalah yang seperti ayah, dan ternyata ayah malah mengkhianatinya.

Dan, ayah juga mengkhianati ibu. Semenjak kepergian ayah, tidak ada lagi ibu yang ramah dan penyayang kepada anak-anaknya. Ibu sekarang jadi pemurung dan tidak mau bicara. Karena aku masih sekolah, kakaklah yang mengurus dan menemani ibu. Sampai suatu malam, ibu lepas dari pengawasan kakak. Aku berniat mencari ibu, tapi kakak melarang. Dia menyuruhku untuk tinggal di rumah dan pergi mencari ibu. Aku menurut dan tidak lama setelah itu, tetanggaku datang dan mengabarkan bahwa mereka menemukan mayat ibu di sungai, tidak jauh dari rumah. Ternyata, ibu memilih untuk mengakhiri hidupnya karena tidak sanggup hidup tanpa ayah.

Diantara kami, kakaklah yang sangat terpukul. Dia merasa dikhianati oleh ayah dan ibu. Ayah mengkhianatinya dengan cara pergi dengan wanita lain sementara ibu mengkhianatinya dengan cara memilih untuk menyerah menjalani kehidupannya setelah ditinggal ayah padahal selama ini kakak mengenal ibu sebagai sosok yang tegar dan kuat. Ternyata ibu tidak setegar dan sekuat harapannya.

Kejadian selanjutnya lebih mengguncangkan. Kakak berubah. Dia selalu menatap keluar jendela sambil memegang foto kami sekeluarga. Kakak tidak pernah menggubris ucapanku. Kakak seolah-olah hidup di dunianya sendiri. Aku sedih melihat kondisinya. Tetanggaku menganjurkan agar membawa kakak ke sebuah klinik tempat merawat orang-orang yang mengalami gangguan jiwa agar ada yang mengurusnya karena aku juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhanku dan saat itu aku masih sekolah. Aku tidak mau. Bagiku, kakak tidak gila. Dia hanya belum bisa menerima kenyataan. Aku yakin, lama-lama kakak akan kembali seperti semula. Tapi, tetanggaku terus mendesak dan aku menyerah karena setelah kupikir-pikir lebih baik kakak di klinik itu karena akan ada yang menjaganya ketika aku harus sekolah dan bekerja.

Meskipun akhirnya kakak harus mendekam disini, dia tetap kakakku. Tidak ada yang berubah diantara kami. Aku selalu mengunjunginya setiap hari dan menghiburnya dengan sebuah lagu, seperti halnya yang sering kami lakukan dulu.

Aku menarik nafas berat dan bangkit berdiri. “Aku pergi dulu kak. Aku harus kerja.” Sekarang aku menghidupi diriku dengan bekerja sebagai seorang penyanyi café. Sesekali, uang kiriman ayah datang tapi aku memilih untuk tidak menggubrisnya. Semuanya kusimpan dalam tabungan dan tidak sedikitpun ku sentuh karena aku tidak mau hidup berkat uluran tangan orang yang telah mengacaukan hidupku.

Perempuan itu menatapku dan aku memeluknya. “Aku menyayangimu, kak.”

Aku melepaskan pelukanku dan dengan berat hati meninggalkan kakak disini, di tempat yang seharusnya tidak pernah menjadi tempat tinggalnya jika seandainya saja ayah dan ibu tidak mengkhianatinya.

Gerimis lagi…..

Jika aku memaksakan diri untuk berangkat, aku pasti akan kehujanan sementara aku tidak punya payung. Payungku satu-satunya rusak dan aku belum sempat membeli gantinya. Apa sebaiknya aku tidak usah pergi? Aku menggeleng. Kakak pasti akan sedih kalau aku tidak datang hari ini. Sekarang, dia pasti sedang menungguku dan aku tidak mau mengkhianatinya dengan ketidakdatanganku. Sudah cukup dia dikhianati oleh orang-orang terdekatnya dan aku tidak ingin menjadi yang ketiga.

Aku mengambil jaket dan menudungkannya ke kepala. “Aku harus pergi,” tekadku. Akhirnya aku melangkah keluar rumah dan berlari menembus hujan. Di sebelah kananku, gitar yang sudah menemaniku selama sepuluh tahun, mengayun-ayun seiring dengan langkahku di bawah hujan.

Benar saja, begitu aku sampai di klinik, aku mendapati kakak sedang menungguku sambil menatap keluar jendela. Aku mendekatinya dan berhati-hati agar air hujan yang menempel di tubuhku tidak mengenainya.

“Ina….. hujan….. sungai…..” dia berkata lirih.

“Ya. Sekarang sedang musim hujan,” tukasku sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil yang selalu kubawa.

“Hujan…. sungai…..” ujarnya lagi.

Aku menatapnya dengan dahi berkerut. Apa maksudnya?

“Ina…. nyanyi….. hujan….. sungai…..”

Aku berpikir keras menebak maksud ucapannya. Apa kakak ingin aku menyanyi tentang hujan dan sungai? Atau apa dia ingin……..

Aku tersentak. Sekarang aku paham. Kakak merindukan sungai tempat kami menghabiskan masa kecil dulu dan ketika dia melihat hujan, kerinduannya semakin memuncak. Aku yakin, kakak pasti ingin ke sungai. Tapi, aku tidak mungkin membawanya ke sungai karena letaknya jauh dan hujan belum juga reda. Kalau aku menuggu hujan reda, aku bisa telat datang ke tempat kerja.

Lagi-lagi kakak menggumamkan kata-kata yang sama. Aku menatap keluar jendela. Hujan masih deras. Di luar, air hujan yang menyentuh bumi mengalir menuju daratan lain yang lebih rendah. Aliran air hujan berliku-liku, seperti aliran air sungai. Aku tersenyum puas. Aku memang tidak bisa membawa kakak ke sungai, tapi aku bisa membawanya ke tempat air sungai berasal. Bukankah air sungai berasal dari hujan ini?

Aku melemparkan gitar ke tempat tidur kakak dan berlari keluar kamar. Di ujung koridor terdapat banyak kursi roda. Aku mengambil satu dan membawanya ke kamar kakak. Aku membantu kakak untuk duduk di kursi roda, dan membawanya keluar kamar. Ketika kami hendak keluar menuju halaman, aku berpapasan dengan seorang suster yang selalu merawat kakak.

“Ina, kamu mau membawa Ima kemana?” tanya suster itu kaget karena melihatku terburu-buru.

“Ke sungai,” jawabku pendek.

Suster itu terbelalak tapi aku tidak menghiraukannya. “Tapi sekarang hujan.”

“Justru karena itu aku membawanya sekarang.”

Aku membawa kakak ke tengah halaman. Di bawah kaki kami, air hujan mengalir menuju bagian halaman yang lebih rendah. Kulihat kakak tersenyum melihat aliran air hujan itu. Perlahan dari mulutku mengalun sebuah lagu yang berjudul ‘Singing in the rain’. Makin lama, suaraku makin keras dan akhirnya aku menyanyi dengan suara keras. Kakak menatapku dan seiring dengan suaraku yang makin keras, senyumnya pun makin mengembang.

Aku mengakhiri laguku dangan ceria. Selain karena gembira melihat kakak tersenyum, aku juga gembira karena hatiku menjadi lapang. Sudah lama aku merindukan senyum kakak, dan baru kali ini bisa melihatnya.

Aku menengadah menatap langit. Meskipun keadaannya seperti ini, dia tetap kakakku, keluargaku yang tersisa dan aku sangat menyayanginya. Aku tidak keberatan harus datang ke sini setiap hari, menyanyikan sebuah lagu untuknya dan melihat dia menatapku dengan mata berbinar-binar, pertanda bahwa dia masih mengingatku, sebagai adiknya, sebagai bagian dari keluarganya.

Aku menatap kakak. Dia tengah memandangi foto keluarga kami. Tiba-tiba saja, dia melepaskan foto itu dari genggamannya hingga akhirnya foto lusuh itu hanyut mengikuti aliran hujan. Kakak menatap foto itu lama dan kemudian melambaikan tangannya.

Aku tersenyum. Dia menghanyutkan foto itu, sama seperti dia menghanyutkan botol berisi permohonan. Aku mengerti maksudnya. Dia menghanyutkan botol permohonan dan permohonannya tidak pernah terwujud. Artinya, sungai membawa permohonannya pergi jauh dan tidak pernah kembali. Sungai juga yang membawa ibu pergi dari kami, dan sekarang kakak ingin melepaskan semua kenangan buruknya dengan membiarkan sungai membawa pergi foto itu.

Tidak apa, hal ini sama sekali bukan masalah. Yang penting bagiku sekarang, akhirnya kakak tersenyum dan aku ingin dia sadar meskipun ayah dan ibu telah mengkhianatinya, aku tidak akan pernah mengkhianatinya.

Aku menunduk dan memeluk kakak. “Aku menyayangimu, Kak. Aku akan datang setiap pagi, dengan sebuah lagu baru dan aku akan selalu mengajakmu bernyanyi di bawah hujan agar kamu bisa merasakan kehadiran sungai.” Aku mencium keningnya. “Aku tidak akan mengkhianatimu.”

Sekali lagi, kulihat kakak tersenyum.

SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments

  1. Aneh, gue blm ngetik apa-apa,,tapi ada notice yg bilang "Komentar Anda sudah muncul" ...

    Emg blm kan? Bukannya gue yg lupa kan? Mulai merasa gue makin gila

    Oi If, cerpen lo bisa ga dikasi ilustrasi ato apa gitu??
    Gue ga kuat kalo liat tulisan panjang... ga pake gambar apapun
    Harap maklum,,kemampuan otak gue ga oke,,heheheheheh

    ReplyDelete
  2. Thx Dechu. Pengennya sih dikasi gambar tp ngk nemu yg cocok, hehe. But, thanks for comment-nya ya

    ReplyDelete

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig