I Could Never Take The Place Of Your Man
(Oleh: Ifnur Hikmah)
I
may be qualified for a one night stand, but I could never take the place of
your man (Jordan Knight)
*
I
love Gone With The Wind so much. I love Scarlett O’Hara. I love her characters
and how she loves Ashley Wilkes.
Not.
I’m not talking about her, but I’m talking about me.
Di salah satu scene penentu, ketika Scarlett menyadari Ashley didn’t love her as she tought, it makes me
crying. Scarlett yang selama ini merasa bahwa Ashley mencintainya karena
dia yang sebenarnya harus dihadapkan kepada fakta bahwa pria yang dicintainya
setengah mati tak ubahnya seperti pria-pria lain—pria yang hanya menginginkan
tubuh dan kecantikannya saja.
Mengenaskan.
Tahu yang lebih mengenaskan? Aku.
I
know that he never loves me. Hatinya masih tertawan di masa lalunya.
Perempuan masa lalunya. Namun sikap manisnya selama ini membuatku denial. Membuatku merasa bahwa
perasaannya telah berubah. Setelah dia memohon agar aku membatalkan niat untuk
bercerai dengannya, kupikir dia sudah mulai membuka pintu hatinya untukku. Aku
yakin, someday he will be mine.
Nyatanya, someday yang kuharapan tidak pernah datang.
*
Jika orang yang paling mengancam
keberlangsungan kehidupan rumah tanggamu mengundangmu datang ke pesta yang
diadakannya, what would you do? If you
ask me, I only have one answer. Face it. And being fabolous.
Itulah yang kulakukan ketika
undangan buka puasa di rumah Amelia datang ke hadapanku. This is me being jealouse, dengan perasaan insecure yang masih ada dalam hatiku. Juga, keinginan untuk
mengalahkannya. Dia masih unggul dalam pertarungan mengisi hati suamiku. Tak
kan kubiarkan dia mengalahkanku dalam hal lain.
Dan inilah aku sekarang. Glittery dress from Lanvin mencetak
sempurna lekuk tubuhku, termasuk perutku yang telah membuncit, menunjukkan
secara terang-terangan kehamilanku. Hasil perawatan selama dua jam di salon pun
membuat penampilanku kian sempurna. Kehadiranku dan Mike pasti akan menjadi
sorotan semua orang. Pertunjukan yang sempurna. Mantan kekasih yang masih
saling cinta dan seorang istri yang tengah hamil diantara mereka. Perfect.
Amelia juga berusaha keras untuk
tampil cemerlang. Terlihat jelas usahanya itu. Namun satu yang dia tidak punya.
Mike, mantan kekasih yang masih dicintainya, sedang menggenggam tanganku, bukan
tangannya.
“Kamu mau ketemu Amel?” tanyaku
disela menikmati fruit punch, “temuin
gih daripada diam-diam saling lirik gitu.”
“Kamu apa-apaan sih.” Mike terlihat
gusar.
Kuberikan senyum sinisku. Pura-pura,
heh? Sudah jelas sejak awal tadi mereka diam-diam saling melirik. Di
belakangku, tentu saja. Seolah-olah mereka mengira aku tidak tahu saja. Aku
tidak sobodoh itu bisa dikelabui dengan gampang.
“Kangen ya sama Amel? Gih samperin
daripada curi-curi lihat gitu. Dia juga ngelihat kamu terus tuh. Ngarep banget
dia.” Aku merasa panas.
Dengan wajah datar, Mike meletakkan
gelas kosong ke atas meja. “Kita pulang sekarang aja ya daripada kamu
uring-uringan kayak gini.”
“Yakin?”
“Lagian masih banyak yang harus aku
kerjain sama Narendra.”
Sekali lagi aku melihat mereka
saling lirik meski jarak yang terbentang lumayan jauh. Mike di sisiku, di meja buffet sebelah kiri. Amelia ada di dekat
pintu masuk, menyalami tamu-tamunya. Sesekali dia menoleh ke arahku. Pura-pura
menatap ke yang lain sebelum mendaratkan tatapannya di wajah Mike. Lalu Mike
akan menunduk dan perlahan-lahan mengangkat wajahnya. Membalas tatapan Amelia.
Kelakuan mereka membuatku panas.
Muak.
“Tuh. Yang barusan apa? Bukannya
saling lihat-lihatan ya?” sindirku. “Makanya sana samperin daripada diem-diem
kayak gini.”
Kurasakan tangan Mike menggenggam
tanganku erat. Dia menatapku tajam dengan nafas memburu—ekspresinya setiap kali
menahan emosi. “Aku nggak ngerti kenapa kamu bersikap kayak gini dan aku nggak
suka kamu kayak gini. Kita pulang, jangan ngebantah lagi.”
Aku hanya terpana mendengarkan
amarahnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia menarikku pergi. Bahkan dia hanya
mengirimkan kode lewat dagu kepada Narendra dan Nareswari untuk mengajak mereka
pulang. Ketika lewat di hadapan Amel pun, Mike hanya berhenti sebentar dan
tersenyum. Malah Narendra yang mengambil alih keadaan dengan berpamitan sementara
suamiku ini terus menarikku menuju mobil kami.
*
Entah kesalahan apa lagi yang
kuperbuat, aku tidak tahu. Begitu selesai memarkir mobil, Mike melewatiku
begitu saja, meski aku sengaja menunggunya di ruang tamu. Dia hanya berseru
menyuruh Narendra menemuinya di ruang kerja secepat mungkin.
Aku terpaku. Diam selalu menjadi
pilihannya setiap kali ada yang mengganjal pikirannya, tidak peduli aku ada di
hadapannya menunggu penjelasannya. Diam telah menjadi pilihannya. Memendam
perasaannya seorang diri selalu dilakukannya, tanpa ada keinginan untuk
berbagi. Terlebih denganku.
Entah sudah berapa jam aku
berguling-guling resah di tempat tidurku—tempat tidur kami. Mataku tidak mau
terpejam, sedikitpun. Pikiranku mengelana ke kejadian sore ini. Apa tindakanku
yang sinis ketika berada di rumah Amelia yang memicu kemarahannya? Seharusnya dia
tahu bagaimana aku. Jelas aku tidak akan tinggal diam melihat kelakuan mereka. Hatiku
jelas-jelas tersakiti. Dan aku tidak ingin menunjukkan sakit hatiku itu. Tidak di
hadapan musuh besarku.
Pintu kamar terkuak, membuatku
tersadar dari lamunan. Kulihat Mike melangkah masuk dengan wajah lelahnya.
“Kamu udah mau tidur ya? Good night.”
Kupaksakan diri untuk tersenyum. “Aku
nggak tahu aku salah apa. Apapun itu, let
me know ya, Mike. Dan aku minta maaf.”
Mike tersenyum tipis. Tangannya terulur
dan menggenggam tanganku erat. “Bukan salahmu. Ini salahku.”
Dahiku berkerut. “Maksudmu?”
Pria yang baru beberapa bulan
menjadi suamiku ini hanya menatapku dalam diam, tapi raut wajahnya berbicara
banyak hal. Tentang isi hati yang dipendamnya dan keinginan untuk
mengungkapkannya, tetapi ada juga keengganan di sana.
“Mike?”
“Maaf. Selama ini aku nggak jujur ke
kamu kalau aku masih belum bisa melupakan Amel.”
Hanya sebaris kalimat yang diucapkan
dengan suara sepelan bisikan. Namun itu mampu meruntuhkan duniaku. Kejujurannya.
Hal yang selama ini telah kusadari tapi kusangkal kebenarannya karena sikap
manisnya padaku. Kebenaran yang tidak mau kuterima dan membuatku membangun
ilusi sendiri bahwa Mike is mine. Nyatanya,
malam ini dia memilih untuk jujur.
Dan itu menyakitkan.
“Aku selalu berusaha untuk itu,”
sambungnya. Tangannya masih erat menggenggam tanganku. Entah bagaimana wajahku
saat ini, aku tidak tahu. “Tapi komentar sinis kamu selama ini bikin aku
ngerasa kalau kamu nggak peduli sama aku. Kamu bikin aku berada di posisi serba
salah. Aku tahu aku salah, tapi aku selalu ingat janji aku untuk mencintai
kamu.”
Kutarik tanganku dari genggamannya
hingga terlepas. Kurebahkan tubuhku di atas kasur dan mencoba untuk menutup
mata. Menghindar. Aku belum siap dengan semua fakta ini.
“Maafin aku.”
“Talk
about it tomorrow. Aku ngantuk.”
“Oke. Kamu istirahat ya.”
Kurasakan bibirnya menyentuh
keningku. Dia menciumku lama. Dan aku menangis dalam diam.
*
Aku pulang. Sebut aku pengecut, aku
tidak keberatan. Aku hanya ingin menenangkan diri, dan rumah orang tuaku
menjadi pilihan. Tempat aku tumbuh sejak kecil dan selalu membuatku merasa
nyaman. Kepada siapapun, aku menyembunyikan kegundahanku. Bahkan kepada mama. Terpaksa
aku berbohong dengan mengatakan Mike sedang ke Bandung dan aku takut ditinggal
sendiri. Aku yakin mama tahu aku berbohong tapi dia tidak mempermasalahkannya. Dia
hanya memelukku dan membiarkanku menikmati waktu bermanja-manja dengannya
hingga aku merasa tenang.
Ketika aku memasuki kamarku,
kenangan akan kehidupanku yang dulu terbayang jelas di benakku. Aku yang tidak
pernah dicintai, diinginkan, dibutuhkan, bahkan dihargai pun tidak. Aku yang
memendam dalam-dalam kelemahanku dan mencitrakan diriku sebagai perempuan kuat
yang tidak akan pernah ditaklukkan oleh pria manapun. Aku yang tersenyum pongah
dengan banyaknya teman priaku tapi tak satupun yang mencintaiku.
Dan dia membuatku takluk. Dia membuatku
menunjukkan diriku yang sebenarnya. Diriku yang tidak punya daya apa-apa. Dan
sakitnya, dia sama saja dengan pria-pria yang mendekatiku selama ini.
Tidak pernah mencintaiku. Aku hanya
pelariannya.
Sakit.
And
it’s not fair.
0 Comments:
Post a Comment