There are two things that I can’t say no. A
pair of boots and good books.
Setiap orang
punya mood booster masing-masing.
Kalau buat gue, salah satu mood booster
itu sepatu yang kece dan nyaman. Kalau misal ada liputan atau kerjaan yang
mengharuskan ke luar kantor, I will wear
my favorite shoes. Jadi gue yakin bisa nge-handle macet, panas, gerah, dan segala hal yang punya tendensi buat
bikin mood drop.
Ngomongin
sepatu, sebagian besar sepatu gue adalah boots.
Dari ankle boots sampai knee length boots, ada. Sisanya satu high heels buat kondangan dan satu chunky heels. Sejujurnya gue lupa kapan
pertama kali suka pakai boots. Boots
pertama yang gue beli itu ankle boots
tanpa heels warna abu-abu. Beli pake
duit hasil kerja magang. Barang mahal pertama yang dibeli (500rb kalau enggak
salah) dan berasa keren banget tuh pas pakai itu sepatu ke kampus. Later that I know, kalau ke toko sepatu,
selalu ngeliriknya boots.
Sekarang ada
dua boots favorit gue. Knee length boots selutut dengan aksen
tali warna hitam dan heels lumayan
tinggi. Ini sepatu andalan kalau nonton konser. Secara gue tingginya terbatas,
jadi butuh bantuan biar bisa leluasa melihat ke arah stage. Dan boots ini
ngebantu banget. Sebenarnya beli ini juga enggak sengaja. Waktu itu lagi di
H&M dan pas bayar, ada mbak-mbak di kasir sebelah membeli boots hitam sepaha yang keren parah. Curi
dengar, boots itu lagi diskon. Dari sekitar
hampir sejuta cuma jadi 250. Yang tadinya mau balik eh malah tergoda buat ke
tempat sepatu. Dan ketemulah si boots
ini. Mau tahu harganya? Dari 750 ribu jadi 150 saja, he-he-he. Kebetulan knee length boots yang punya kulitnya
sudah mulai mengelupas so I think I need new
shoes.
And this is my second favorite. Belinya lagi-lagi enggak sengaja dan
tergoda diskon yang luar biasa. Waktu itu lagi jalan dadakan sama Ira (iya,
dadakan, karena Ira ngajaknya udah jam 6 sore) dan di Zara ketemulah boots ini. Awalnya Ira yang nyoba tapi
penasaran dan ikutan nyoba. Tapi kok bagus? Dan enak aja di kaki meski tinggi? Udah
gitu diskonnya gila banget. Dari 1.5 juta jadi 400 ribu doang? Kapan lagi, ya,
kan? Jadilah, tanpa basa basi, I bought
that boots.
My favorite shoes at the moment. Cool, comfy and the most important thing is... cheap (thanks to biggest sale at Zara) pic.twitter.com/9XH6FRO1co— ifnur hikmah (@iiphche) February 8, 2017
And now, the question is, why I love boots
so much? Setelah sering
beli boots, gue mulai menyadari
kenapa gue suka boots. Pertama tentu
saja karena dipakainya enak dan bisa memberi ilusi sedikit lebih tinggi. Kaki jadi
terlindungi. Karena boots terlihat cantik
tapi tough. Somehow boots terlihat feminin, but
in other time ya manly juga. Perpaduan
yang pas. Namun yang gue pahami, boots
meningkatkan self confidence gue.
Years ago, mungkin gue enggak bakalan pede memakai something yang draw other
people’s attention. Dan boots,
itu draw attention banget. Terlebih knee length boots, ya. Omongan ‘lagi
banjir mbak?’ or ‘ini Indonesia mbak. Enggak salah pakai gituan?’ or ‘minjem
sepatu tukang bangunan ya mbak?’ itu udah sering banget gue denger. Awalnya mikir
‘apa sih ini orang norak banget’ tapi lama-lama jadi ‘yeah well, whatever’. Perlahan-lahan, gue mulai belajar yang namanya i-don’t-care attitude karena ya
enggak semua orang omongannya harus didengerin. Sama halnya seperti lisptik (readabout that here), boots also improves
my self esteem. Sepatu itu bikin gue pede dan dengan gue merasakan hal itu,
gue yakin kalau hari gue akan berlangsung baik-baik saja.
I am as simple as that.
So, that’s why I love boots.
And now, it’s time to talk about another B. Books. B-O-O-K-S. Harus pakai ‘s’ karena gue yakin gue enggak bakal puas hanya dengan satu buku. Satu tempat yang langsung gue tuju begitu habis gajian adalah toko buku. Thanks to my company id card, diskon di Gramedia bikin gue makin kalap, he-he.
Gue sudah
suka membaca sejak kecil. Malah, di keluarga atau teman-teman sepantaran gue
termasuk yang paling cepat bisa baca. Dulu, gue suka baca karena enggak ada
hiburan lain di rumah, mengingat waktu kecil TV suka bermasalah. Makin gede gue
udah jatuh cinta sama buku. Gue bisa berubah jadi dingin sama teman yang
memperlakukan buku semena-mena, seperti melipat buat tanda lagi baca sampai
mana, membaca sambil bagian depan dilipat ke belakang, dicoret-coret dan
tindakan kejam lainnya. Gue bisa berubah jadi super annoying kalau buku yang pas gue pinjemin dalam keadaan bagus,
mulus tanpa lipatan tapi pas dibalikin dalam keadaan hancur. Gue bisa berubah
jadi lebih cerewet dari rentenir kalau minjemnya kelamaan dan enggak dibalikin.
Bagi gue,
buku itu sesuatu yang holly. No wonder
gue memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Gue sampulin, gue taroh di rak
yang disusun rapi, pas baca juga diusahain enggak kena makanan dan pas disimpan
di dalam tas juga diusahain biar enggak kelipet. Dengan semua usaha itu, wajar
dong kalau gue berharap yang minjam juga memperlakukannya sama?
Okay, enough with my rant.
Setiap bulannya,
gue pasti ke toko buku. Dulu kakak gue sempat bercanda, ‘udah beli buku, pasti
udah dikirimin mama uang jajan,’ pas masih kuliah dulu. Sampai sekarang terus
terbiasa. Itu baru yang rutin. Yang enggak rutin dan dadakan, sih, enggak bisa
dihitung pakai jari. Bahkan, pas lagi bokek aja, tahu-tahu udah order e-book,
he-he (untuk urusan buku gue anti bajakan soalnya).
Bahagia hari ini dipersembahkan oleh Romance of Three Kingdoms vol. 1&2 diskon di Periplus. Sedikit2 mulai lengkap literasi klasik Cina gue pic.twitter.com/AUNLqqzDqS— ifnur hikmah (@iiphche) February 25, 2017
Koleksi gue
memang didominasi oleh romance. Terserah
apa kata book snob yang suka mandang
remeh novel populer, tapi novel populer itu juga dihasilkan dengan kerja keras.
Enggak cuma bengong depan laptop trus langsung jadi. So, sorry-sorry aja kalau gue enggak setuju dengan mereka yang so-called-bookish tapi memandang sebelah
mata novel populer. Karena bookish
sejati tentunya enggak pilih-pilih buku. Dia pembaca segala, karena dari setiap
buku, pasti ada something positive
yang bisa didapat.
Dan juga,
buku itu urusan selera. Enggak ada buku yang jelek menurut gue, dan yang bisa
kita komentari adalah hal teknis. Selain baca, gue emang suka review. Jadi ingat
kata Puput kalau gue ngereview rada kejam. My
defensive side said, gue cuma pengin jujur aja, kok, he-he.
Kalau boots ada hubungannya dengan percaya
diri, maka books ada hubungannya
dengan perspektif. Banyak membaca pastinya bikin wawasan kita makin luas, bikin
kita terbiasa memandang sesuatu dari banyak perspektif, jadi ini tentunya akan
mempengaruhi kita dalam bertindak di dunia nyata. Membaca membuka wawasan gue
sehingga Alhamdulillah, gue bisa terhindar dari kemungkinan punya pemikiran
yang sempit dan picik. Terlebih di saat sekarang, di saat kita harus kritis dan
enggak gampang termakan emosi lalu tiba-tiba mengeluarkan komentar bodoh (yang
mana sekarang banyak banget yang kayak gini). Dengan adanya buku, at least gue sadar kalau dunia ini luas
dan ada banyak beragam orang tinggal di dalamnya.
Oh, sebagai
seorang penulis in my daily life,
tentu membaca jadi sebuah keharusan.
That’s why I think that I can’t live
without boots and books. Because I need something to makes me feel confident
and broaden my horizon.
And you, what is the most important thing
in your life?
0 Comments:
Post a Comment