Lee Joon Ki
itu ibarat gebetan waktu sekolah. Dulu dia terlihat lucu dan gebet-able, sehingga masa remaja lo
diisi dengan ngegebet dia. Lalu, perjalanan waktu membuat lo mengenal orang
baru dan perlahan melupakan dia. Sampai suatu hari, dia muncul kembali, dalam
sosok yang masih lucu, tapi kali ini jauh lebih matang dan mempesona di usia
dewasa. Saat itu juga, dia menjerat hati lo. Mencengkeramnya jauh lebih kuat
ketimbang dulu, saat dia cuma sekadar gebetan-masa-sekolah. Detik itu juga, lo
merasakan cinta lama yang dulu ada, kini muncul kembali. Tapi bukan cinta
monyet masa sekolah. Melainkan cinta masa dewasa.
(Forgive me dengan pengandaian super
lebay itu)
Gue
pertama mengenal Junki (panggilan sayang gue haha) around 2008
lewat Iljimae. Saat itu, dia masih
berupa seorang flower boy, si kkonminam yang seolah-olah keluar dari
manga. Saat itu dia gebet-able, tapi
hanya sebatas itu. Gebetan yang lucu buat dipandang lama-lama. Gue sempat ngelupain
dia karena sibuk fangirling dengan
aktor lain. Gue hanya ngikutin dia sekilas, ketika dia masuk wamil dan akhirnya
keluar wamil, tapi enggak ada perasaan apa-apa. Baru ketika dia muncul di Two Weeks, gue kembali melirik dia. The original flower boy yang kali ini
sudah lebih matang, meski dia masih agak cantik.
Junki
kembali menjerat hati gue ketika dia muncul di Scarlet Heart: Ryeo. Drama yang gue tonton sebagai hasil
cap-cip-cup dan enggak nonton for the
sake of Junki. I know that Junki will play a main role and I believe in his
acting, but actually gue enggak tertarik buat nonton. Because it’s sageuk. Later that I know he made me head over heels with
him. Wang So menjerat gue dan bikin gue terjebak pesona Junki. The original flower boy yang masih sama—ceria,
flirty but at the same time have deep
thinking. Si kkonminam yang masih
cantikbut at the same time, dia lakik
banget. Sama seperti Ji Chang Wook, gue enggak bisa mengelompokkan dia ke mana.
He’s not just another flower boy. He has
something in his face that makes him stand out. Mungkin dagu lancipnya.
Atau mata sipit-sipit tajamnya. Mungkin kuping caplangnya. Entahlah. His face is unique. Feminine but manly at
the same time. Meski karena Wang So, dia nurunin berat badan sampai 30pon
dan jadi cungkring banget. I miss my
chubby Junki.
But I can’t believe he’s 35 years old.
How come people like this will turn 36 next year?
Ketika
akhirnya gue fangirling lagi sama
Junki, gue lihat dia beda. Masih pecicilan, masih flirty, tapi ada sisi dewasa dia juga. Yang pasti, dia udah sukses
ngebuang jauh-jauh image kkonminam.
Sebenarnya sejak di Time Between Dog and
Wolf udah keliatan laki, tapi ketika dia menginjak usia 30, kayaknya dia
baru nemuin jati dirinya dan semakin nyaman dengan dirinya. Dan di usia 35
sekarang, dia terlihat seksi dalam kematangannya. Tsaahhh…
Enough with Junki.
Jadi,
karena belum bisa move on dari Wang
So, berencana buat nonton ulang drama Junki lagi. Sebenarnya pengin nonton
ulang Iljimae meski aktingnya masih
belum total di sana, tapi filenya susah dicari. Dan bosan dengan vintage-Junki dalam balutan hanbok. Secara drama modern dia dikit,
akhirnya milih Two Weeks. Drama underrated padahal bagus banget. Dan ya,
drama ini sama aja dengan Scarlet Heart:
Ryeo, pengin meluk Junki karena kasihan nasibnya ngenes banget.
Pelarian Dua Minggu
Premis
drama ini tentang Jang Tae San, gangster kecil-kecilan yang sudah dua kali
ngegantiin bos besar masuk penjara. Kali ini, dia kembali dijebak dan dijadikan
tersangka pembunuhan. Namun, dia enggak tahu bakal dijebak. Masalahnya, di saat
yang sama, mantan pacarnya menemui dia lagi dan bilang kalau anak mereka butuh
donor sumsum tulang belakang karena menderita leukemia. Dulu, Tae San memaksa
pacarnya aborsi karena diancam akan dibunuh oleh bos besar karena dia akan
gantiin si bos masuk penjara. Tapi si pacar enggak tahu. Ternyata dia cocok
sebagai donor dan jadwal operasinya dua minggu lagi. Naas, dia ditangkap dan
difitnah. Untung dia bisa kabur.
Jadi,
setiap episode kita akan mengikuti perjalanan satu hari Tae San dalam pelarian.
Gimana dia pengin membersihkan namanya sehingga anaknya enggak dicap sebagai
anak pembunuh. Tae San harus kejar-kejaran dengan polisi, terutama detektif Im
Seung Woo, detektif super lurus yang ternyata tunangannya Seo In Hye, mantan
pacar Tae San. Di sisi lain ada Teacher Kim, pembunuh bayaran suruhannya big boss.
Enggak
disangka, Tae San terjebak dalam kasus yang jauh lebih besar dibanding
pembunuhan biasa yang melibatkan bos besar dan senator yang dihormati tapi
ternyata korup.
Juga ada
Park Jae Kyung, jaksa yang memulai semua ini, sejak delapan tahun lalu, dan
meski dia pengin membantu Tae San, dia juga menyimpan agenda sendiri.
Menonton
drama ini, kita sudah tahu endingnya bakal gimana. Tae San enggak salah dan dia
pasti bisa membuktikan dirinya enggak salah. Big Boss akan menanggung akibat perbuatannya. Operasinya berhasil. That’s it. Udah ketebak bakalan gimana.
Namun, bukan itu yang bikin drama ini menarik. Justru perjalanan Tae San selama
dua minggu inilah yang menjadi daya tarik utama. Kita diajak ke sana ke mari,
mengikuti Tae San. Dan Tae San enggak digambarkan sebagai sosok heroic yang too good to be true. Dia
hanya orang biasa yang nasibnya sial aja. Malah, dia sendiri bilang kalau dua
sekrup penting di otaknya udah hilang, he-he. Karena dia enggak super pintar,
justru kecerdikannya bikin dia terlihat manusiawi. Kurang manusiawi apa coba
pas kabur berusaha nyari ide lewat referensi film action yang dia tonton? Belum lagi di beberapa scene, Tae San terlihat putus asa. Jadi, dia makin terlihat
manusiawi.
Juga,
drama ini terasa padat. Mungkin karena satu episode satu hari, jadi detailnya
benar-benar ditampilin. Konfliknya terjaga rapi dari awal hingga akhir,
sehingga terasa menegangkan. Dan yang pasti, bikin sesak napas sepanjang
nonton.
Ada satu
kalimat yang bikin gue berkaca-kaca.
“I was trash, I was born trash, and lived
as trash. I never believed the heart that died when I sent In Hye away would
beat again. Not until I met that little child. For once in my life, just once,
I want to live as a person.”
Jang Tae San & Seo Soo Jin, The Real
OTP
Junki
sempat hampir menolak drama ini. Alasannya karena dia sendiri belum menikah,
jadi gimana mungkin dia bisa memerankan seorang ayah? Beruntung PD-nim berhasil
meyakinkan Junki kalau dia pasti akan berhasil memerankan karakter Jang Tae
San. Tebakan itu benar karena sepanjang drama, father-daughter relationship hook me up.
Gue suka
ide memunculkan Soo Jin di hidup Tae San. Saat sudah putus asa, Tae San akan
memunculkan sosok imajiner Soo Jin, sehingga mereka bisa bercakap-cakap.
Semuanya hanya ada di dalam kepala Tae San, tapi cara ini sukses membuat
penonton melihat perubahan sikap Tae San yang awalnya hanya happy go lucky guy dan gangster
kecil-kecilan tanpa tujuan hidup, menjadi seseorang yang rela melakukan apa
saja demi memenuhi janji yang sudah dia buat dengan orang yang dia cintai.
Juga, dengan memunculkan Soo Jin di dalam sosok imajiner ini, itu bikin kewarasan
Tae San tetap terjaga.
Salah satu
momen favorit gue, ketika akhirnya Tae San bisa ketemu dan ngobrol dengan Soo
Jin. It breaks my heart but at the same
time there is a huge smile in my face. Tae San deserves this very special
moment. That’s why, I give a big thank-you-nod to Park Jae Kyung.
Pada
akhirnya, Junki enggak hanya sukses memerankan seorang ayah. Dia bahkan jatuh
cinta beneran dengan anak kecil ini, Lee Chae Mi. Mereka masih akrab, bahkan
Junki dan Park Ha Sun (pemeran In Hye, ibu Soo Jin) pernah berebut perhatian
Chae Mi. Ketika gue iseng scrolling
Instagram Junki, gue nemuin komentar Chae Mi yang masih manggil ‘daddy’, he-he.
*Sepertinya
situ sudah pantas jadi bapak, haha)*
Setelah Belasan Episode, Akhirnya Junki
Cakep Lagi
Sepanjang
enam belas episode, kita mengikuti perjalanan Tae San dalam pelariannya. Jadi,
jangan heran kalau tampangnya amburadul. Enggak mandilah, keringatan kucel,
belum lagi nyamar dengan pakai kumis palsu. Meski Junki aslinya cakep,
kecakepannya enggak terlalu kentara. Jadi jangan harap bakal adaeye candy di drama ini.
Momen
Junki cakep hanya dua. Episode awal, ketika dia masih belum kena masalah dan
suka pakai suit meski kerjanya cuma
di toko gadai. Alasannya, dia enggak pernah menebak bakal ketemu siapa jadi
tampil on point is a must. Juga
ketika Tae San whoring himself sama
tante girang he-he.
He looks like this.
Momen
cakep kedua ada di episode terakhir. Setelah semua masalah selesai dan dia bisa
bernapas lega. Juga ketika akhirnya bisa main sama Soo Jin. Sebuah penantian
yang enggak sia-sia, termasuk buat penonton. Karena pada akhirnya, kita bisa
melihat Tae San jadi cakep lagi dan senyum bahagia di wajahnya.
Ending realistis
Concern utama gue ketika menonton drama Korea adalah ending. Seringnya stop di episode dua
menjelang akhir karena entah kutukan apa yang ada di dunia perdramaan Korea
sehingga episode terakhir seringnya bikin turn
off. Happy ending yang dipaksakan sehingga sukses bikin garuk dinding
saking kesalnya.
Baik saat
menonton dulu atau sekarang, gue cuma pengin satu hal. Awas aja kalau bikin Tae
San balikan sama In Hye dan In Hye ninggalin Seung Woo sehingga mereka bisa
hidup sebagai keluarga bahagia. Atau lebih maksa lagi, bikin Tae San jadian
sama Park Jae Kyung.
Untunglah
itu enggak kejadian.
Dan ending ini juga yang bikin gue makin suka
sama Two Weeks. Karena ini akhir yang
realistis buat mereka. Setelah semua pengorbanannya, Tae San akhirnya punya
kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Jadi, sebelum dia benar-benar bisa
berdiri di depan Soo Jin dengan kepala tegak, he needs time to himself. To figure out what he should do next. To
figure out what he really really wants in his life. Senangnya, In Hye
mengerti itu. Dan dia dan Seung Woo also
need a time to make everything between them back to normal again, back to the
moment before In Hye pay someone to looking for Tae San.
Mereka
semua butuh waktu.
Lee Junki, Totalitas
As one of respected actor in South Korea, totalitas Junki emang enggak usah
diragukan. Tapi, Two Weeks menjadi
salah satu momen penting dalam hidupnya. Gue kaget ketika membaca interview dia
soal Two Weeks. Karena peran Tae San,
dia harus menyendiri biar dapat feel
Tae San. Sutradara juga meminta dia buat enggak banyak ngomong dan berinteraksi
dengan orang lain. Hingga akhirnya dia beneran larut dalam peran, hingga
selesai syuting.
Akibatnya?
Dia jadi stres dan terkena post traumatic
syndrome. Untung cepat ditangani sehingga depresinya enggak berlarut-larut.
Two thumbs up for Junki meski
penerimaan Two Weeks kurang bagus. I don’t know about Korean rating system.
Karena drama yang dapat rating tinggi
kadang biasa aja dan drama bagus malah kurang diapresiasi. Dua contoh: Two Weeks dan It’s Okay That’s Love. Bisa aja dramanya mengikuti apa yang sedang
tren di pasar, memasang aktor dan aktris kenamaan, tapi pada akhirnya rating enggak bagus-bagus amat.
Dan pada
akhirnya, masa bodo dengan rating.
Yang penting terhibur setelah menontonnya.
Bonus: Perkara Menonton Ulang
Kadang,
menonton ulang diperlukan untuk memberikan perspektif baru dalam menilai sebuah
cerita. Atau hanya sekadar ingin bernostalgia. Karena itu, gue sering menonton
ulang beberapa drama yang gue suka.
Tentu
saja, efek saat menonton ulang berbeda dengan menonton untuk pertama kalinya.
Menonton untuk pertama kalinya, otak kita fresh,
enggak ada perbandingan apa-apa. Palingan hanya perbandingan dengan drama yang
dimainkan si aktor sebelumnya. Kalau aktornya sukses, kita bisa melihat sosok
baru di dirinya (alasan kenapa gue enggak suka Lee Min Ho. Selain City Hunter, he just being himself, he just
being Gu Jun Pyo).
Menonton
ulang Two Weeks, perasaannya berbeda dibanding
saat pertama dulu. Kali ini mendapat banyak gangguan. Misalnya Teacher Kim yang
diperankan Song Jae Rim. Dulu gue takut sama dia. Sosoknya yang dingin dan
tanpa ekspresi. Namun, setelah melihat lovey
dovey Jae Rim di We Got Married,
gue sering giggling sendiri ketika
melihat dia di sini.
Juga Park
Jae Kyung. Gue suka akting dia, karena ini cewek emang keren banget. Sejak
jaman Iris, dia udah mencuri
perhatian. Namun gue kurang suka dia di We
Got Married. Cewek 30-an kok ya labil. Imagebadass
yang selama ini melekat di benak gue ambyar sudah. Ketika melihat dia kembali badass di sini, itu berhasil
mengembalikan persepsi gue soal dia.
Dan Park
Ha Sun. Dulu, gue cuma terganggu dengan ekspresi dia pas senyum dan bahagia.
Untung aja dia jarang senyum. Namun, dia jadi super gengges di Drinking Solo (baca reviewnya di sini)
jadi ketika menonton Two Weeks, dia
kelihatan gengges aja. Apalagi pas nangis dan ketawa, arghhhh
#SorrynotsorryParkHaSun
Anyway, gue menonton drama ini demi menghilangkan rasa baper
akibat Scarlet Heart: Ryeo. Nyatanya,
ini drama enggak bisa dijauhin dari SHR. Selain Kang Ha Neul yang jadi cameo, Moon Il Suk, si big boss dan musuh utamanya Tae San
adalah yang main jadi King Taejo di SHR. Eaaa moment banget, he-he.
Suka banget sama drama-drama nya lee junki, cuma drama2 dia yang aku tonton berulang-ulang,,, actingnya luar biasa
ReplyDeleteWajib nonton time between dog and wolf. Sejak itu saya jatuh hati kepada Junki (padahal waktu di My Girl saya anggap dia terlalu 'cantik'). Dia salah satu aktor favorit saya hingga kini, selain Kim Soo Hyun. Kemampuan aktingnya ga diragukan.
ReplyDeleteLove this so much. You wrote what i feel about Junki that i cannot express it well. Thanks.
ReplyDeleteAktor kesayangan banget lee junki..baca artikel nya panjang tp ga bosenin soalnya bahas lee junki..
ReplyDeleteI enjoyed this post thanks for sharing
ReplyDelete