Lantai Tiga
“Wow.”
Aku menatap Narendra yang berdiri
terpaku beberapa meter di depanku, tepat di depan pintu masuk Hearst Tower. Dia
tengah menengadah, menatap bangunan tinggi berwarna biru di hadapannya.
Ekspresinya benar-benar terpukau—mungkin ekspresi itu akan muncul di wajahku
ketika aku bertemu Jeanne-Marie Lanvin, designer idolaku.
“Hei, what’s wrong?” tanyaku tepat setelah aku keluar dari Hearst
Tower. Kurapatkan coat dengan aksen fur yang kukenakan. Udara bulan Desember
sudah sangat dingin. Sebentar lagi natal, dan salju sudah ada di mana-mana.
I love snow. Semata karena di musim ini aku bebas mengenakan
koleksi coat dan boots yang kupunya.
“Kenapa nggak bilang kamu mau ke
sini? Tahu gitu kan aku bisa nganterin kamu tadi pagi,” sahut Narendra tanpa
mengalihkan tatapannya dari gedung di hadapannya.
Aku berdiri di sebelahnya, ikut
menengadah dan menatap bangunan tinggi di hadapanku. Warna biru mendominasi
dengan jejeran kaca berbentuk prisma yang disusun miring dan desain yang abstrak—ah,
pengetahuanku tentang arsitektur sangat minim. Entah apa spesialnya bangunan
ini sampai-sampai Narendra seperti sapi ompong begini. Bengong. Seolah-olah
bangunan ini sama seksinya dengan Pamela Anderson saat mengenakan bikini di
serial Baywatch.
“Memangnya kenapa?”
“Aku sudah ingin ke sini sejak
hari pertama menginjakkan kaki di Manhattan.”
Dahiku berkerut. “Me too. Tapi agak aneh kalau kamu juga
ingin. Hei, kamu nggak baca Cosmopolitan atau Bazaar kan?”
Narendra mengalihkan tatapannya ke
arahku. “Enggaklah.”
“Terus?” cecarku. Agak aneh jika
Narendra ingin menginjakkan kaki di sini. Jika aku, itu tidak mengherankan. I love Hearst Corporation. Bukan, aku
bukannya ingin bekerja di salah satu majalah yang dinaunginya—hei, aku tidak
bisa menulis berita by the way—tapi
aku berambisi jika someday, salah
satu majalah ini akan memajang busana rancanganku di halaman fashion mereka. Syukur-syukur, salah
satu rancanganku dimuat di Harper’s Bazaar.
Aku tersenyum membayangkan jejeran
nilai A di transkripku.
Dan itulah yang kulakukan di sini
sekarang. Maksudku dua jam yang lalu. Dua jam yang terasa sangat panjang ketika
aku dan tiga orang temanku, Max, Paula, dan Victoria, mempresentasikan winter outfit rancangan kami di hadapan
Glenda Bailey dan jajaran tim fashion
Bazaar lainnya. Dua jam yang membuatku kebat kebit nggak karuan. Aku sangat
menginginkan kesempatan ini, demi hasil bagus di akhir studiku.
And I got it. Itulah mengapa aku tersenyum sumringah saat melangkah
keluar dari gedung perkantoran ini.
“Gedung ini salah satu masterpiece-nya Foster + Partners, salah
satu biro arsitek ternama di dunia. Sudah berdiri sejak tahun 1967 dan berbasis
di London. You know what, aku
mengidolakan Norman Foster. Yah, seperti kamu mengidolakan Marc Ja… Ja what?”
“Marc Jacobs.”
“Ya itulah. Awalnya aku pikir kamu
mau ke sekitar sini, tahunya kamu mau ke Hearst Tower. Tahu gitu kan aku tadi
ikut. Aku penasaran di dalamnya seperti apa.”
Aku menyikut tulang rusuknya.
“Tadi aku bukannya udah ngajak? Siapa coba yang nolak dengan alasan ngantuk?”
Narendra memperlihatkan cengiran
lebarnya. “Next time kamu bakal ke
sini lagi nggak?”
“Kind of,” jawabku sumringah. Tentu saja aku akan kembali ke sini,
setelah Glenda Bailey memuji asymmetric
coat rancanganku dan keinginan mereka untuk melihat rancanganku yang lain.
Hei, aku memang masih berstatus sebagai mahasiswa di Pearson, tapi fashion people sekelas Mrs. Bailey sudah
memuji desainku.
Tidak mengherankan jika nanti aku
kembali ke Indonesia, aku akan menjadi desianer terkenal di sana.
“Rancanganmu diterima?”
Kali ini giliranku yang tertawa
kebar. “You know who I am. Nggak sia-sia
begadang setiap malam.”
“Congratulation, Sa. I know, kamu pasti bisa.”
“Iyalah.”
“Ada perayaan?”
Aku memutar bola mata.
“Teman-temanku—Max tepatnya—ingin merayakan keberhasilan ini di Zanzibar nanti
malam. Wanna come in?”
“Yah, Zanzibar. Kamu kan tahu aku
nggak suka tempat kayak gitu.”
“Oh come on. Aku kangen kumpul sama teman-temanku.” Aku menampilkan
ekspresi merajuk semaksimal yang aku bisa.
“Yaudah, kamu aja yang datang.
Tapi dari siang sampai sore ini kamu rayainnya sama aku, oke?”
“Di mana?”
Narendra mengedipkan sebelah
matanya. Tanpa memberitahukan tujuannya, dia menarikku pergi.
*
Aku pertama bertemu dia di sini.
Di suatu pagi di Central Park. Campuran beragam jenis alkohol yang kutenggak
semalam suntuk membuat perutku bergejolak. Namun keinginan untuk pulang dan
meminum segelas susu agar mual itu hilang tidak ada sama sekali. Akhirnya, aku
ke sini, Central Park, icon new York
yang selalu kukunjungi setiap hari.
Di bangku ini juga pertama kali
aku mengenalnya. Kebaikan hatinyalah yang membuat kedekatan ini kian berlanjut.
Bagaimana aku bisa lupa, dia yang mengabaikan sketch book miliknya demi mengusap punggungku saat aku muntah hebat
di tempat sampah di sebelahnya. Juga, kesediannya mengantarku pulang hanya
karena langkahku yang limbung. Termasuk, kerelaannya menggendongku ke lantai
tiga kamar 32, kamarku, membuat dia kemudian mengisi pikiranku.
Sore berikutnya, kembali di
Central Park, aku bertemu dengannya. Ransel hitam yang disandangnya tampak
kebesaran di balik tubuh kurusnya. Namun senyum lebar itu tidak menunjukkan
keberatan sedikitpun. Dia menghampiriku, menepuk pundakku, dan membuatku
terkejut karena terlalu asyik menekuni Cosmopolitan.
Narendra. Aku berbicara tentang
dia.
“Hati-hati. Panas.”
Aku hanya tersenyum tipis saat
menerima hot chocolate yang
ditawarkannya. Cuaca New York yang dingin sangat cocok dengan segelas hot chocolate. “Thanks,” sahutku.
“Jadi, ini tahun terakhirmu di
sini?” Tanya Narendra seraya menghempaskan tubuhnya di sebelahku.
“Tahun terakhir kuliah. Kalau
tinggal di sini, entahlah, aku belum tahu.”
Ini tahun kelima aku tinggal di
Manhattan. Tahun kelima aku menjalani statusku sebagai mahasiswa Pearson demi
mengejar ambisiku menjadi desainer handal. I’m
not a straight A student, tapi jajaran nilai di transkripku juga tidak
mengecewakan. Meski kuliahku tergolong lama, itu bukan karena aku malas. I love New York, the city that never sleeps.
Yang ternyata juga membuatku jarang tidur. Tumpukan tugas dan club malam yang menjamur di sepanjang
jalan membuatku senang. Tapi, bukan kehidupan penuh hura-hura itu yang
membuatku melalaikan kuliah, melainkan kesempatan yang kuterima untuk
bekerjalah yang membuatku sedikit mengabaikan kuliah. Di tahun ketiga, aku
dipercaya menjadi anak magang—padahal tugasku adalah pesuruh dalam segala
hal—di DVF. Tahun keempat, aku naik pangkat jadi asisten designer di DVF—ini kulakoni hingga sekarang. Sebuah kesempatan
yang sangat berarti, mengingat aku seorang mahasiswa yang jauh-jauh datang dari
Indonesia.
Kesempatan untuk terus bekerja di
sana masih terbuka lebar untukku. Namun, aku masih mengincar hal lain.
“Rencanamu selanjutnya?” Aku
menghela nafas berat. “Pulang?” tebak Narendra.
Refleks aku menggeleng. Pulang ke
Jakarta belum ada di dalam agendaku saat ini. Belum saatnya aku pulang.
Entahlah, hanya saja aku merasa bahwa masih banyak hal yang bisa kuraih di
sini.
Atau di kota lain. Seperti Milan,
misalnya?
“Mungkin aku jadi pindah ke Milan.
Lanjut kuliah, fashion business di
Marangoni.”
“Yah…”
“Kenapa? Kok kamu kayak nggak rela
gitu?”
Kulihat Narendra memainkan gelas
kertas berisi kopi di tangannya. “Kamu tahu, Sa, kamu satu-satunya kenalanku di
sini.”
Kuletakkan gelas berisi hot chocolate di sebelahku dan menatap
Narendra. Ini bukan pertama kalinya dia bercerita tentang nasib yang membawanya
ke sini. Meski baru dua bulan mengenalnya, dia sudah bercerita banyak hal.
Tentang cita-citanya menjadi arsitek handal—itulah yang membawanya ke New York,
tentang ibunya yang sudah meninggal dan ayahnya yang menikah lagi dengan
perempuan asal New Jersey—alasan kedua keberadaannya di Manhattan, karena
mengikuti ayahnya. Tentang ketidakbetahannya tinggal di apartemen ayahnya dan
akhirnya memutuskan untuk menerima ajakanku pindah ke apartemenku.
Melihat Narendra bersamaku masih
menyisakan tanda tanya besar di benakku. Bagaimana mungkin dua orang yang
sangat berbeda karakter bisa menjalani kehidupan bersama? Aku dengan segala
sosialisasi yang tak pernah berakhir, dan Narendra dengan kehidupan menyendiri
dan sepi yang disukainya. Aku dengan segala tetek bengek kota besar yang begitu
kupuja, Narendra dengan kesederhanaan yang sejak dulu melekat di dirinya. Aku
masih tidak menyangka betapa polosnya dia—masih jelas di ingatanku tatapan shock-nya saat aku keluar dari kamar
mandi hanya berbalut underwear dan
dia yang melayangkan pandangan ke sembarang arah, ke mana saja, asal tidak
menatapku. Masih jelas bagaimana aku tertawa terbahak-bahak saat Narendra
menceritakan kehidupan percintaannya yang membosankan. Juga penolakan demi
penolakan yang diberikannya ketika aku mengajaknya keluar malam. Juga bagaimana
lugunya dia saat aku mengajarinya bercinta untuk pertama kalinya.
Dia seperti adik untukku, terlepas
dari usianya yang jauh di bawahku. Namun aku nyaman bersamanya. Sisi dewasanya
selalu muncul setiap kali aku mengeluh letih atau capek. Hanya ada dia yang
siap mendengarkan curhatanku, tidak peduli saat itu tengah malam sekalipun.
Hanya dia yang berbaik hati terbangun demi menungguku pulang dan kemudian
membukakan pintu untukku—bahkan beberapa kali menggendongku ke lantai tiga saat
aku benar-benar mabuk.
Dua bulan kebersamaan kami, aku
sudah merasa banyak hal.
Jujur, dia juga menjadi satu
alasan mengapa aku masih betah di sini.
“Kalau kamu pergi, aku sama
siapa?”
“Bukannya kemaren kamu bilang
kalau kamu juga nggak betah di sini dan pengin pulang aja?”
“Iya sih.”
“Terus, apa bedanya? Toh someday salah satu diantara kita akan
pergi juga.”
“Kamu mau pergi ya, Sa? Nggak betah
ya sama aku? Aku tahu, kita tuh beda banget.”
Jawaban polos itu membuatku
terbahak. Kukecup pipi tirus itu sekilas. Inilah yang membuatku menyukai
Narendra. Kepolosan dan keluguannya, hiburan di sela-sela kesibukan dan kerumitan
kuliah serta pekerjaan. Tidak jarang aku membatalkan janji keluar dengan
teman-temanku dan memilih untuk menonton DVD berdua di apartemen.
“Eh, kalau aku tuh udah bosen sama
kamu, aku cuma ngijinin kamu tiga hari doang di apartemenku.”
Narendra ikut tertawa bersamaku.
“Yakin, ntar malam nggak mau ke
Zanzibar?”
“Nggak deh. Kamu aja. Have fun ya.”
“Tapi ingat ya itu handphone kamu harus aktif.”
Narendra mencibir dan mengacak
rambutku.
*
“Aku di bawah. Kamu jemput aku
ya.”
“Oke. Aku turun sekarang.”
Kututup telepon dan kembali duduk
di atas trotoar. Kepalaku pusing. Niat hanya berkunjung satu jam malah molor
menjadi lima jam dan tidak terasa jarum jam sudah menunjukkan angka tiga ketika
aku melangkah keluar dari Zanzibar bersama Max. Untung, pria itu masih mau
mengantarku pulang—setidaknya sampai di depan apartemen.
“Can I go right now?”
Aku mengangguk.
“Are you sure?”
“It’s okay,” sahutku, “Narendra
will come.”
“Okay.”
“Take care, Max.”
Max baru berjalan beberapa langkah
ketika pintu apartemenku terbuka dan kulihat Narendra muncul dari balik pintu.
Sepertinya dia terburu-buru, hanya sempat menyambar jaket yang biasa
digantungkannya di balik pintu. Dia hanya mengenakan celana piyama dan sandal
yang biasa digunakan di dalam apartemen, padahal cuaca malam ini sangat dingin.
Aku saja masih merasa dingin meskipun sudah mengenakan coat super tebal.
“Hai,” sapaku. Tanganku terjulur
hendak meraihnya.
Kepalaku sangat pusing. Aku sudah
membayangkan betapa nikmatnya kasur di kamarku. Namun, untuk mencapainya aku
harus menaiki tangga sebanyak tiga lantai. Ah, membayangkannya saja sudah tidak
sanggup.
“Kamu minum berapa banyak sih?”
Aku hanya tersenyum menanggapi
gerutuan Narendra. Kusambut uluran tangannya dan kulingkarkan tangan kananku di
pundaknya. Dia membantuku berdiri dengan susah payah.
“Untung akhir-akhir ini kamu
jarang keluar malam. Aku bisa makin kurus kalau kamu tiap malam begini,”
candanya.
Aku hanya menyeringai menanggapi
candaan itu. Meski sepertinya ucapan itu ada benarnya juga. Walaupun tidak
pernah meminta, Narendra selalu menungguku sampai aku pulang, selarut apapun
itu.
“Kamu bisa jalan?”
“I don’t think so. Apa kamu…”
Belum sempat aku menyelesaikan
ucapanku, Narendra sudah menggendongku. Dia tidak terlihat keberatan sama
sekali. Dan tanpa berkata apa-apa, Narendra menggendongku ke lantai tiga, kamar
32, tempat tinggal kami.
Jika suatu hari nanti, entah aku
atau dia yang memutuskan untuk pergi terlebih dahulu, siapa yang akan rela
menungguku pulang sampai selarut ini dan menggendongku ke lantai tiga hanya
karena aku tidak sanggup berjalan sendiri setelah menenggak berbotol-botol alkohol?
Entahlah. Dan aku terlalu mabuk untuk
memikirkan hal itu sekarang.
0 Comments:
Post a Comment