Notice Me
“Koridor ini udah kayak catwalk berjalan aja,” gerutu Sigit. Dengan
cuek dia menggigit burger murahan yang dijual di koperasi mahasiswa FISIP.
Aku tergelak. Sedikitpun tidak
tergerak untuk membalas gerutuannya. Untuk apa? Tugas demi tugas sudah
membuatku pusing, tidak perlu menambah kerumitan pikiran dengan memikirkan
gerutuan Sigit yang tak kan pernah ada habisnya itu.
“Look at her.” Sigit menunjuk seorag perempuan yang berjalan
tergesa-gesa dari arah gedung H. Sepatu hak tingginya membuat dia kesulitan
menembus banyaknya mahasiswa yang lalu lalang di sepanjang koridor gedung H. Belum
lagi rok mini—bisa kukatakan super mini—yang dikenakannya membuatnya semakin
tidak leluasa dan apesnya, menjadi bahan bercandaan anak Kriminologi yang
tengah nongkrong di tangga menuju gedung Koentjaraningrat. “Mau kuliah atau mau
pesta sih?”
Aku melirik malas. “Wondering if you forget about her, she’s my
friend. Dan sehari dalam seminggu ada mata kuliah Professional Image yang
mengharuskan mahasiswanya mengenakan pakaian ala humas profesional.”
Sigit mendelik. “Perlu gitu
sependek itu?”
“None of your business.”
Mitha, perempuan yang tadi menjadi
objek gerutuan Sigit, berlalu di hadapan kami. Dia melambai sekilas, sebelum
kemudian kembali berkutat dengan rok super pendeknya yang membuatnya kesulitan.
Kali ini, mau tidak mau aku setuju dengan Sigit. Mitha memang menyedihkan, juga
lucu pada saat yang bersamaan. Untuk apa tampil cantik jika hanya menyusahkan?
Kulirik pakaian yang kukenakan. Kaos
hitam dan jins serta keds. Merdeka. Bebas.
“Perlu gitu lo melototin Mitha
sampai mata lo nyaris keluar?” ledekku ketika menyadari Sigit tidak lagi
berceloteh, malah asyik memelototi Mitha yang sudah berlalu.
Sigit cengengesan, menampilkan crunchy smile miliknya yang—jujur saja—membuatnya
jadi lebih enak dilihat ketimbang wajah sok serius yang selalu menggerutu itu.
“Ada tontonan gratis ya sayang aja
dilewatin.”
Aku mencibir. “Tuh, masih banyak
tuh tontonan gratis,” seruku seraya menunjuk segerombolan mahasiswa yang baru
saja keluar dari gedung H. Dandanan mereka hampir sama dengan Mitha, benar-benar
menunjukkan seorang humas profesional.
Ucapanku langsung ditanggapi Sigit
dengan menoleh ke arah yang kutunjuk. Senyumnya kian lebar. “Berasa nonton Fashion
TV gue.”
“What? Lo nggak bnerubah preferensi seksual kan?”
Sigit menoyor kepalaku. “Apa
hubungannya coba?”
“Tiba-tba lo nonton Fashion TV?”
“Kalau lagi iseng doang di rumah
nemenin kakak gue.”
Gerombolan mahasiswi itu berlalu
di hadapanku. Mereka melambaikan tangan dan sedikit berbasa basi. Aku tidak
terlalu akrab dengan mereka, kecuali fakta jika kita satu jurusan namun
berpisah jalan saat semester dua karena memilih peminatan yang berbeda. Mereka
mengambil public relation sementara
aku terdampar di jurnalisme, meski kita masih satu induk, Ilmu Komunikasi.
“Cantik-cantik ya temen lo.”
Aku mendelik. Boys will always be boys. Percuma gerutuan yang dilontarkannya tadi
karena begitu dihadapkan pada perempuan cantik, cowok manapun akan luluh dan
lupa pada apa yang mereka keluhkan. Seperti Sigit.
“Lo kenapa nggak dandan kayak
mereka sih?”
“Buat apa?” sahutku malas.
“Lo nggak ambil kuliah itu? Apa tadi
namanya?”
“Professional Image?”
Sigit mengangguk.
“Nggak wajib juga buat anak
peminatan lain di luar humas.”
“Ya tapi bukan berarti lo nggak
boleh ngambil kan? Menurut gue lo seharusnya ngambil mata kuliah itu.”
“Kenapa?” tanyaku curiga.
“Karena, Anita sayang, percuma
nama belakang lo sangat njawani kalau
kelakuan dan appearance lo nggak ada
ubahnya kayak preman pasar.”
Aku mendelik tapi Sigit mengangkat
kedua tangannya dan memberikan isyarat agar aku membiarkan dia menyelesaikan
pernyataannya.
“I know lo enjoy kayak
gini, but for God sake ya, Ta, you’re a girl. Mbok ya feminin dikit. Berhubung
John Robert Power mahal, kenapa nggak ambil mata kuliah itu aja.”
“Lalu, gunanya apa?”
“Biar lo bisa terlihat kayak cewek
dikit dan cowok-cowok jadi nggak takut ngedeketin lo dan lo terlepas dari
status jomblo abadi lo.”
Jawaban straight to the point Sigit menyentakku. Kutatap cowok yang sudah
menjadi temanku selama hampir tiga tahun ini. Meski berbeda jurusan—tapi masih
sama-sama berada di lingkungan FISIP—Sigit satu-satunya sahabat yang kupunya. I’m not a social butterfly kind of girl,
malah bisa dibilang aku cenderung tertutup. Bukannya tidak ingin socializing or get laid or whatever, aku
hanya merasa tidak pernah sreg dengan orang yang tidak terlalu kukenal. Hasilnya,
aku hanya bergaul dengan orang-orang yang ada di dalam comfort zone.
Berbeda dengan Sigit. Dia sudah
ada di dalam comfort zone-ku dan aku
yakin aku juga menempati tempat ternyaman di dalam comfort zone dia. Mungkin saking nyamannya, aku sampai tidak sadar
jika comfort zone telah berganti nama
menjadi friend zone. Tentu saja, dari
segi Sigit.
Kulirik pakaian yang kukenakan. Memang
tidak ada apa-apanya dibanding pakaian yang dikenakan teman-temanku. Toh aku
nyaman. This is me and I love to be me.
Sayangnya, Anita, Sigit nggak
ngerasain itu. She never look at you just
the way you are. Nggak peduli sekeras apapun lo berusaha menarik perhatian
dia, termasuk dengan menceburkan diri ke dalam klub pecinta klub bola
favoritnya, he never look at you. Karena
yang menarik perhatian dia ya cewek-cewek kayak Mitha, bukan lo.
Aku meringis. Andai lo tahu, Git, I love you and I want you to know that the
most important thing in my life is you notice me just the way I am.
But, he never notice. Dan sampai kapanpun we’re still friend.
PS: Bagian dari #UIMenulis yang digagas oleh NBC UI. Yuk ikutan. Syaratnya cuma menulis dengan setting kampus masing-masing. Cerita ini mengambil setting FISIP karena gue kuliah di FISIP serta jurusannya Komunikasi, jurusan gue--meski ceritanya pure rekaan :D
0 Comments:
Post a Comment