[Indonesia Romance Reading Challenge] #27 Dear Umbrella by Alfian Daniear

Leave a Comment
Dear Umbrella
Alfian Daniear



Buku ini bercerita tentang Raline yang punya sahabat sejati berupa payung—iya, payung—pemberian terakhir dari cinta pertamanya, Zidan, yang pindah ke Jakarta ketika mereka SMP. Raline pun berubah tertutup tapi begitu merindukan Zidan. Dia selalu menulis surat untuk Zidan tapi enggak dikirimin, melainkan disimpan di album surat.
Singkat cerita, kehidupan Raline yang memang sederhana mendadak kian susah ketika ayahnya kecelakaan di tempat kerja. Karena ibunya mau melahirkan, Raline terpaksa pindah ke Jakarta, ke tempat eyangnya. Di Jakarta, Raline memulai kehidupan yang baru. Dia bahkan kerja part time di salah satu café gitu, Dream’s Window. Di sana dia berkenalan dengan satu cowok freak, namanya Elbert. Ketika Raline mulai betah dengan kehidupan barunya, dia kembali bertemu dengan masa lalunya, Zidan.
Simple? Yup, memang simple sih harusnya. Tapi, gue udah cukup belajar buat enggak memandang sebelah mata hal yang simple itu. Kadang, hal yang simple justru bikin kita berdecak kagum.
Back to this book. Ini buku Alfian pertama yang gue baca. Buku ini salah satu pemenang Noura Book Academy, barengan Travel In Love-nya Diego Christian—ingetin gue buat bikin review Travel In Love. Lupa mulu—dan hal ini bikin ekspektasi gue terlalu tinggi untuk memulai membaca buku ini. Bab prolog, I love it. Pengambilan sudut pandang pertama tokoh yang enggak diduga-duga bikin gue takjub. Selebihnya, gue memasang ekspektasi yang sedikit lebih tinggi.
Gue mengira permasalahan hanya berkutat di cinta Raline-Zidan dan mungkin nanti ada tokoh ketiga. Oh, Dhaka. Gue kira dia. Tapi ternyata?
Ekspektasi gue dihempasin gitu aja.
Sorry to say, gue enggak tahu ini buku inti ceritanya apa. Kayak banyak subplot digabung jadi satu dan akibatnya plot utama dan konflik utama nyaris enggak kelihatan. Masalah Raline-Zidan? Enggak juga tuh. Masalah keluarga? Apalagi. Masalah kehidupan sehari-hari Raline? Well, apa gunanya diceritain kehidupan sehari-hari kalau intinya enggak jelas? Sorry to say ya, tapi gue terpaksa ngomong kayak gini.
Openingnya bagus, tapi bab selanjutnya berjalan sangat lama. Very very very smooth. Gue yang emang suka grasa grusu cukup tertantang dengan alur lama ini cuma kadang gue bertahan. Tapi di buku ini gue enggak bisa bertahan. Maybe this book is not my cup of tea jadi gue enggak bisa bertahan.
Seperti yang gue bilang, ada banyak subkonflik yang dimunculin dan menurut gue itu malah membuat konflik utama jadi bias. Contoh, Sherin. Gue enggak ngerti kemunculan dia itu apa. Terus Alfian menyelesaikan masalahnya di tengah-tengah dan setelah itu dia hilang. Errr….
Kedua, Elbert. Alfian bermaksud membuat tokoh ini freak dengan semua kenarsisannya dan sikap anehnya. Namun menurut gue itu masih tanggung. Elbert ini punya potensi memunculkan konflik menarik antara Raline-Zidan. Indikasi ke sana ada, tapi entah apa salah Elbert sama Alfian sampai-sampai Elbert diakhiri di tengah-tengah tanpa penjelasan yang masuk akal. Malah enggak dijelasin sama sekali. Tiba-tiba hilang gitu aja. Second errr….
Jujur aja, begitu Elbert hilang, gue udah males lanjutin, tapi tanggung bo, tinggal dikit lagi. Jadi, gue lanjutin. Selanjutnya adalah kebersamaan Raline dan Zidan. Tanpa Elbert. Elbert entah ke mana, enggak ada yang tahu. Dan, lagi-lagi gue berkomentar errr ketika Alfian membuat konflik gaje antara Raline-Zidan. Cuma gara-gara payung dan sikap Raline itu sumpah enggak penting banget. Lalu, kita diajak maju satu tahun kemudian. So what? Enggak penting juga ini satu tahun kemudiannya dengan penyelesaian yang bikin gue pengin antukin kepala ke dinding. Sorry to say ya, but I have to say this.
Satu hal lagi yang gue sayangkan, no chemistry. Terutama Raline-Zidan. Raline-Elbert okelah cuma ya itu, Elbert diakhiri begitu saja tanpa penjelasan. Dan adegan Elbert bawa payung itu sumpah, enggak penting banget. Sama enggak pentingnya dengan adegan Raline menghindari Zidan dan Raline marah ke Zidan di akhir cerita. Oh, sikap pemberontak Zidan juga gue rasa enggak ada korelasinya sama isi cerita.
Dan Dhaka, ya munculnya cuma di awal aja. Kayaknya Alfian punya kecenderungan bikin banyak tokoh lalu mereka dilupain gitu aja. Bukan cuma tokoh minor, tokoh major kayak Elbert aja entah dikemanain. Sayang banget.
Satu hal lagi, di bagian awal yang menurut gue lama, adegan Raline nostalgia masa kecilnya juga kalau enggak ada juga enggak masalah sih.
Jadi itulah intinya. Gue enggak ngerti inti cerita sebenarnya apa.
Tapi, gue suka dengan adegan pasar malamnya. Gue memang suka pasar malam, dengan semua permainannya, jajanannya, kemeriahannya. Meski keberadaannya sudah lumayan tergusur, pasar malam tetap menempati isi hati gue. Adegan romantis di pasar malam, missal di kuda-kudaan atau bianglala itu memang klasik, sih, tapi enggak bisa dipungkiri jika feel-nya masih kuat. Two thumbs up buat hal ini.
Kedua, setting. Detail settingnya bagus. Magetan dan Madiun. Meski kadang terlalu detail, kayak adegan Raline pergi ke Madiun itu super detail dan menurut gue ganggu, tapi so far bagus kok. Apalagi adegan di Sarangan. Gosh, bikin gue pengin liburan jadinya.
Ketiga, no typo. Two thumbs up. Sebagai penerbit baru dan gue enggak menemukan typo itu berarti kualitas Noura ini bagus. Bagi pembaca, mendapati buku tanpa typo itu adalah berkah tersendiri. Acungi jempol untuk editornya. Selain itu, cara menulis Alfian yang lembut juga bikin gue ternganga karena ternyata dia cowok. Wow, gue salut.

Well, sebagai penulis pendatang baru gue yakin, sih, Alfian akan terus berkembang. Dia punya potensi asal ya diasah terus aja. Gue tunggu buku keduanya, ya, Alfian. Pesan gue, please, jangan sampai konflik utama jadi bias karena konflik sampingan. Dan jika ada konflik sampingan, please, jangan diselesaiin di tengah lalu tokohnya ngilang. Dan jika ada tokoh yang ngilang, please, kasih penjelasan yang masuk akal. Itu aja pesan gue. Happy writing, Alfian.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig