Dear Umbrella
Alfian Daniear
Buku ini
bercerita tentang Raline yang punya sahabat sejati berupa payung—iya, payung—pemberian
terakhir dari cinta pertamanya, Zidan, yang pindah ke Jakarta ketika mereka
SMP. Raline pun berubah tertutup tapi begitu merindukan Zidan. Dia selalu
menulis surat untuk Zidan tapi enggak dikirimin, melainkan disimpan di album
surat.
Singkat cerita,
kehidupan Raline yang memang sederhana mendadak kian susah ketika ayahnya
kecelakaan di tempat kerja. Karena ibunya mau melahirkan, Raline terpaksa
pindah ke Jakarta, ke tempat eyangnya. Di Jakarta, Raline memulai kehidupan
yang baru. Dia bahkan kerja part time
di salah satu café gitu, Dream’s Window. Di sana dia berkenalan dengan satu
cowok freak, namanya Elbert. Ketika Raline
mulai betah dengan kehidupan barunya, dia kembali bertemu dengan masa lalunya,
Zidan.
Simple? Yup,
memang simple sih harusnya. Tapi, gue udah cukup belajar buat enggak memandang
sebelah mata hal yang simple itu. Kadang, hal yang simple justru bikin kita
berdecak kagum.
Back to this book. Ini buku Alfian pertama yang gue baca. Buku ini
salah satu pemenang Noura Book Academy, barengan Travel In Love-nya Diego
Christian—ingetin gue buat bikin review Travel In Love. Lupa mulu—dan hal ini
bikin ekspektasi gue terlalu tinggi untuk memulai membaca buku ini. Bab prolog,
I love it. Pengambilan sudut pandang
pertama tokoh yang enggak diduga-duga bikin gue takjub. Selebihnya, gue
memasang ekspektasi yang sedikit lebih tinggi.
Gue mengira
permasalahan hanya berkutat di cinta Raline-Zidan dan mungkin nanti ada tokoh
ketiga. Oh, Dhaka. Gue kira dia. Tapi ternyata?
Ekspektasi gue
dihempasin gitu aja.
Sorry to say, gue enggak tahu ini buku inti ceritanya apa.
Kayak banyak subplot digabung jadi satu dan akibatnya plot utama dan konflik
utama nyaris enggak kelihatan. Masalah Raline-Zidan? Enggak juga tuh. Masalah keluarga?
Apalagi. Masalah kehidupan sehari-hari Raline? Well, apa gunanya diceritain kehidupan sehari-hari kalau intinya
enggak jelas? Sorry to say ya, tapi
gue terpaksa ngomong kayak gini.
Openingnya bagus,
tapi bab selanjutnya berjalan sangat lama. Very
very very smooth. Gue yang emang suka grasa grusu cukup tertantang dengan
alur lama ini cuma kadang gue bertahan. Tapi di buku ini gue enggak bisa
bertahan. Maybe this book is not my cup
of tea jadi gue enggak bisa bertahan.
Seperti yang
gue bilang, ada banyak subkonflik yang dimunculin dan menurut gue itu malah
membuat konflik utama jadi bias. Contoh, Sherin. Gue enggak ngerti kemunculan
dia itu apa. Terus Alfian menyelesaikan masalahnya di tengah-tengah dan setelah
itu dia hilang. Errr….
Kedua,
Elbert. Alfian bermaksud membuat tokoh ini freak
dengan semua kenarsisannya dan sikap anehnya. Namun menurut gue itu masih
tanggung. Elbert ini punya potensi memunculkan konflik menarik antara
Raline-Zidan. Indikasi ke sana ada, tapi entah apa salah Elbert sama Alfian
sampai-sampai Elbert diakhiri di tengah-tengah tanpa penjelasan yang masuk
akal. Malah enggak dijelasin sama sekali. Tiba-tiba hilang gitu aja. Second errr….
Jujur aja,
begitu Elbert hilang, gue udah males lanjutin, tapi tanggung bo, tinggal dikit
lagi. Jadi, gue lanjutin. Selanjutnya adalah kebersamaan Raline dan Zidan. Tanpa
Elbert. Elbert entah ke mana, enggak ada yang tahu. Dan, lagi-lagi gue
berkomentar errr ketika Alfian membuat konflik gaje antara Raline-Zidan. Cuma gara-gara
payung dan sikap Raline itu sumpah enggak penting banget. Lalu, kita diajak
maju satu tahun kemudian. So what? Enggak
penting juga ini satu tahun kemudiannya dengan penyelesaian yang bikin gue
pengin antukin kepala ke dinding. Sorry to
say ya, but I have to say this.
Satu hal
lagi yang gue sayangkan, no chemistry.
Terutama Raline-Zidan. Raline-Elbert okelah cuma ya itu, Elbert diakhiri begitu
saja tanpa penjelasan. Dan adegan Elbert bawa payung itu sumpah, enggak penting
banget. Sama enggak pentingnya dengan adegan Raline menghindari Zidan dan
Raline marah ke Zidan di akhir cerita. Oh, sikap pemberontak Zidan juga gue rasa
enggak ada korelasinya sama isi cerita.
Dan Dhaka,
ya munculnya cuma di awal aja. Kayaknya Alfian punya kecenderungan bikin banyak
tokoh lalu mereka dilupain gitu aja. Bukan cuma tokoh minor, tokoh major kayak
Elbert aja entah dikemanain. Sayang banget.
Satu hal
lagi, di bagian awal yang menurut gue lama, adegan Raline nostalgia masa
kecilnya juga kalau enggak ada juga enggak masalah sih.
Jadi itulah
intinya. Gue enggak ngerti inti cerita sebenarnya apa.
Tapi, gue
suka dengan adegan pasar malamnya. Gue memang suka pasar malam, dengan semua
permainannya, jajanannya, kemeriahannya. Meski keberadaannya sudah lumayan
tergusur, pasar malam tetap menempati isi hati gue. Adegan romantis di pasar
malam, missal di kuda-kudaan atau bianglala itu memang klasik, sih, tapi enggak
bisa dipungkiri jika feel-nya masih
kuat. Two thumbs up buat hal ini.
Kedua, setting. Detail settingnya bagus. Magetan
dan Madiun. Meski kadang terlalu detail, kayak adegan Raline pergi ke Madiun
itu super detail dan menurut gue ganggu, tapi so far bagus kok. Apalagi adegan di Sarangan. Gosh, bikin gue pengin liburan jadinya.
Ketiga, no typo. Two thumbs up. Sebagai penerbit
baru dan gue enggak menemukan typo
itu berarti kualitas Noura ini bagus. Bagi pembaca, mendapati buku tanpa typo itu adalah berkah tersendiri. Acungi
jempol untuk editornya. Selain itu, cara menulis Alfian yang lembut juga bikin
gue ternganga karena ternyata dia
cowok. Wow, gue salut.
Well,
sebagai penulis pendatang baru gue yakin, sih, Alfian akan terus berkembang. Dia
punya potensi asal ya diasah terus aja. Gue tunggu buku keduanya, ya, Alfian. Pesan
gue, please, jangan sampai konflik
utama jadi bias karena konflik sampingan. Dan jika ada konflik sampingan, please, jangan diselesaiin di tengah
lalu tokohnya ngilang. Dan jika ada tokoh yang ngilang, please, kasih penjelasan yang masuk akal. Itu aja pesan gue. Happy writing, Alfian.
0 Comments:
Post a Comment