Hujan dan Pelangi
Idawati Zhang, Ch Marcia, Mikayla Fernanda
(Clara Ng Book Project)
Sabrina, the queen bee
alias cewek populer di sekolah tiba-tiba harus merelakan kepopulerannya
perlahan-lahan menghilang karena kehadiran si anak baru, Cammile atau Camm. Sahabatnya,
Patrice, mulai berani melawannya dan sebuah ketidaksengajaan menghancurkan
hubungan mereka. Teman-teman grup Pensa Dance, yang dimotori oleh Patrice,
memboikotnya dari grup yang diketuainya itu. Pacarnya, Rivaldo aka Aldo, juga
mulai tertarik dengan Camm sampai mereka putus. Bahkan, papanya sendiri
berkali-kali sering dipergoki Sabrina datang ke kos Camm.
Sabrina benci banget sama Camm karena cewek itu mirip banget
dengannya. Karena banyak pikiran, posisinya sebagai juara umum terancam
tergusur dan yang bisa menyainginya adalah Camm. Camm juga jago nari karena dia
anak Lydia Fransesca, koreografer terkenal. Camm juga jago three point, sama kayak Sabrina. Intinya, mereka sepadan. Sabrina
yang selama ini enggak pernah bertemu lawan sepadan jelas aja jadi
uring-uringan.
Belum cukup sampai di sana, Maurel, sahabat Camm yang freak dan kumal, terang-terangan
mendekati Sabrina. Sabrina yang kesal sama Camm menjadikan Maurel sebagai
senjata balas dendam. Dan permainan detektif-detektifan.
Yang enggak Sabrina tahu, Camm menyimpan suatu rahasia yang
nantinya akan mengubah hidup mereka berdua. Kehadiran Camm di sekolahnya
sebenarnya juga untuk aksi balas dendam. Mereka pun terlibat dalam permainan
balas dendam yang nantinya malah mendewasakan mereka.
I love this novel. Sebenernya, gue baca cuma karena
penasaran. Sudah lama gue penasaran dengan buku-buku Plotpoint karena covernya
bagus-bagus. Lalu, akhirnya kesampaian juga baca buku yang jadi bagian dari
Clara Ng Book Project ini.
Ceritanya sederhana, tentang persaingan dua cewek keras kepala,
arogan, dan populer. Well, mungkin gue
langsung suka karena pada dasarnya gue memang menyukai karakter cewek kayak
gini. Bagi sebagian orang mungkin cewek-cewek arogan ini ngeselin, but I love them. Lebih berkarakter aja,
hehehe.
Back to this book. Idenya bagus dan gue suka cara
menulisnya. Sejak awal gue udah bisa menebak alasan perbuatannya Camm ini—dan tebakan
gue benar hehehe. Gue suka cara Camm yang main halus gitu. Sweet revenge. Ah, di mana-mana sweet
revenge ini memang menarik. Karakternya lumayan kuat. Camm, Sabrina,
Maurel, Aldo, Patrice, dan teman-teman mereka. Rasanya kayak nonton serial TV
tentang sekolahan di luar negeri gitu sik—ditunjang sama nama-namanya juga sih
haha. Nah, gini dong novel teenlit. Enggak melulu soal si medioker naksir si
populer, hehehe.
Biasanya gue selalu terganggu dengan tokoh kelewat perfect. Sabrina
kelewat perfect, sih, sebenarnya, cuma di sini gue enggak ngerasa dia gengges. Formula
membentuk karakternya pas banget. Maurel yang freak juga pas. Lucu. I love
him. Chemistry di antara tokoh sudah lumayan, sih, apalagi Sabrina-Maurel. Cuma
Camm-Aldo yang kurang terasa.
Awalnya memang terasa agak lama, begitu juga menjelang akhir. Ya,
gue skip-skip sih akhirnya. Tensi mulai meninggi setelah hampir 1/3 bagian
berlalu. Setelah itu, pace terasa
cepat. Lalu, menurun lagi di akhir. Kalau sejak awal sampai akhir pace cerita dijaga cepat, enggak akan
setebal ini. Yah, balik lagi ke selera, sih. Kebetulan gue emang enggak suka
cerita dengan pace lama.
Bahasanya juga sudah remaja meski beberapa istilah yang masa kini
banget dan gue enggak ngerti. Yang gue inget, sih, kalimat “Afgan, lo.” Itu maksudnya
apa? Setelah nanya ke anak SMA yang pernah gue interview untuk kerjaan kantor,
katanya itu bahasa slang buat sadis. “Kan Afgan judul lagunya Sadis, Kak.” Oalah,
itu toh. Lumayan, sih, buat nambahin kosakata gue.
Tapi, kritik utama gue justru mau gue ajuin ke Mbak atau Mas
Editor. Mbak, Mas, pas ngerjain buku ini pada ke mana ya? Typo, sih, enggak
banyak, cuma kayaknya editornya harus banyak-banyak baca KBBI atau tesaurus,
deh, jadi tahu penulisan kata yang seharusnya gimana. Sekadar ya, mbak, mas,
bukan sekedar. Terus anehnya, ada kata pengen, pingin, pengin. Ini yang nulis
tiga orang, kan, ya. Bisa aja, sih, si A nulis pengen, B nulis pengin, dan C
nulis pingin. Lalu, editornya biarin aja gitu enggak diubah. Terus juga, gue
atau gua? Kok, ya, enggak konsisten gini.
Satu hal lagi, dari segi editan. Baru kali ini, lho, gue nemu buku
yang kata nonbaku ditulis italic. Contoh: nggak, lagian, habisnya, deelel. Tapi,
enggak semua kata nonbaku juga yang di-italic. Kalau semua di-italic, sih,
bakal miring semua itu isi buku. Masalahnya, sejak kapan nggak deelel itu
ditulis miring?
Afterall, buku ini memuaskan dari segi
cerita dan penulisan tapi enggak dari segi editan. Yang bikin gue salut, ini
ditulis tiga orang. Pasti susah banget itu nyatuin isi kepala dan nulis dengan
gaya yang sama. Nuansa tulisan dari awal sampai akhir sama jadi susah dibedain,
gitu.
Setelah pengalaman pertama gue dengan buku Plotpoint—Blue Romance—enggak
terlalu memuaskan, Hujan dan Pelangi ini bisa menghapus kekecewaan itu. Ya at least, gue enggak kapoklah baca buku
terbuitan Plotpoint ini.
Buat Idawati Zhang, Mikayla Fernanda, dan Ch Marcia yang notabene
penulis pendatang baru, aku tunggu ya karya selanjutnya. Ngarepnya, sih, karya
tunggal. Keep writing.
0 Comments:
Post a Comment