[Indonesia Romance Reading Challenge] #28 Sott'er Celo de Roma by Donna Widjajanto

Leave a Comment
Sott'er Celo de Roma
Donna Widjajanto





Buku ini bercerita tentang Zetta yang ikut mamanya dan rombongan arisan si mama liburan ke Roma dan kota lain di Eropa. Namanya juga geng arisan ibu-ibu, tujuan utama mereka, ya, belanja. Karena keasyikan melihat keindahan Pantheon, Zetta enggak sengaja terpisah dari rombongan. Di saat dia sedang panik, dia bertemu Rama, cowok seumurannya yang juga ikut rombongan bersama tantenya. Berbeda dengan Zetta, Rama memang sengaja ingin jalan sendiri karena males barengan ibu-ibu itu.
Masalahnya, Zetta ini selalu bareng orangtuanya dan enggak pernah kemana-mana sendiri. Paniklah dia. Rama yang niatnya ingin jalan-jalan malah membantu Zetta menyusuri Piazza di Spagna karena yang dia tahu ibu-ibu itu ingin belanja. Tapi enggak ketemu, tuh. Akhirnya mereka mutusin untuk pulang ke hotel.
Di lain pihak, Bu Sisil, ibunya Zetta, akhirnya menyadari kalau anaknya hilang. Untung ada Bu Yasmin dan Pak Totok yang udah sahabatan lama dengan keluarga Bu Sisil yang menenangkannya. Mereka kembali ke Pantheon tapi enggak menemukan Zetta. Akhirnya mereka pulang ke hotel. Ketika bertemu Zetta di hotel—dengan semua kelebayan Bu Sisil yang bikin ngakak—terjadi kesalahpahaman antara Bu Sisil, Rama dan Tante Rita—tantenya Rama. Zetta pun ikut melawan mamanya dan kabur. Akhirnya Zetta menghabiskan hari itu dengan Rama. Juga besoknya. Malah, besoknya dia bertemu dua cowok Indonesia yang sedang backpacker keliling Eropa, Andi dan Arya.
Ceritanya simple? Memang. Tanpa konflik yang wah? Ember. Sederhana? Banget. Tapi seru. Ini, nih, yang ngebuktiin teori kalau ide sesederhana apa pun asalkan diolah dengan baik akan menghasilkan sesuatu yang bagus.
I love this book. Baca buku ini feel-nya kayak nonton Before Sunrise. Ngomong ngalor ngidul, jalan enggak jelas mau ke mana, tapi nendang. I love that film, salah satu film tercerdas yang dari ngobrol bisa membangkitkan chemistry dan bikin kita mikir. Buku ini juga gitu. Gue suka chemistry Zetta dan Rama. Dari obrolan-obrolan itu mereka saling mengenal dan menumbuhkan percikan-percikan cinta. Tsahh….
Ada satu hal yang gue pengin tulis yaitu menulis cerita sederhana dan membangkitkan chemistry perlahan-lahan dari obrolan ngalor ngidul kayak gini. Donna sukses menuliskannya. Two thumbs up. Dan gaya menulisnya pun asyik. Ada Zetta dan Rama masing-masing PoV 1 dan PoV 3 menyoroti kerempongan ibu-ibu arisan ini. Karakter Zetta yang manja tapi sebenernya kuat dapet banget. Rama yang slengean, cuek, dan apa adanya juga berasa real banget. Dan, yang bikin ngakak, ya ibu-ibu rempong ini.  Persis ibu-ibu sosialita banget, hihihi. Selain chemistry Rama dan Zetta, gue juga suka perubahan sikap bu Sisil dan hubungan ibu-anak di sini. Keren.
Kehadiran dua tokoh sampingan, Andi dan Arya, juga pas. Enggak maksa. Obrolan mereka juga seru. Gue suka dengan semangat youth movement yang diusung keempat remaja ini. Momennya pas juga, sih, kareena gue abis dateng ke acara sharing session bareng mas Safiq Pontoh yang ngomongin Youth Movement dan gue emang lagi concern aja sama isu yang kebetulan emang lagi hype ini. Obrolan mereka menyentil gitu, tapi enggak menggurui. Enggak hanya Rama yang mengangguk-angguk, tapi gue juga.
Dilihat dari judulnya, pasti ada unsur travelingnya dong. Ketika membaca cerita travel-love gini, gue dihinggapi kekhawatiran. Takut enggak akan berimbang. Pasti ada satu yang keteteran. Di novel ini gue rasa udah cukup pas porsinya. Karena memang tujuan awal mereka ke sana adalah liburan, jadi unsur travelingnya lebih berasa. Unsur cinta itu cuma bonus tapi gue suka hubungan sweet cute kayak gini. Pertemuan Rama-Zetta gue rasa cocok dengan definisi meet cute. Sebagai orang yang terobsesi meet cute, gue suka dengan adegan ini.
Dan bahasanya, remaja banget. Gue suka. No typo juga. Perfect. Cuma dua kali gue menghitung Donna kecele membahasakan Rama dengan aku karena seharusnya Rama dibahasakan dengan gue, but nevermind. Apalagi sekarang gue sedang nulis novel remaja juga, jadi gue belajar banyak dari novel ini.
Ketika gue baca identitas penulisnya, ternyata dia pernah ke Roma. No wonder berasa real dan detail gini. Oh ya, gue juga suka ilustrasi dan layoutnya. Keren.
Apa lagi ya? Oh ya, sedikit gangguan, nih, dalam keasyikan gue membaca. Ini kan terbagi atas beberapa PoV. Masalahnya enggak ada pembeda antara PoV Rama dan Zetta, juga Bu Sisil. Memang, sih, di awal bab dikasih ilustrasi clutch—nunjukin Zetta—kamera—nunjukin Rama—dan bulpen—nunjukin Bu Sisil. Tapi, ada beberapa bab yang di dalamnya ada subbab dengan PoV beda dan enggak ada penanda ini. Cuma di bab-bab akhir aja penandanya jelas banget. Sebenernya, sih, enggak masalah karena masing-masing tokoh punya ciri khas, tapi ada baiknya penandanya diberikan dengan jelas.
Karakter? I love all of them, especially Rama. Sayangnya Rama ini baru 20 tahun, masih kecil, bo haha. Kegamangan Rama soal masa depannya itu wajar, sih, buat seusia segitu. Dan benar banget kalau perjalanan itu membuka mata kita. Sekarang kita memang bisa jadi couch traveler, bisa kemana aja dengan diam di tempat, tapi menjejakkan kaki di luar comfort zone kita, tuh, penting banget. Bukan buat hura-hura dan senang-senang aja—unsur itu juga pasti ada, sih—tapi untuk membuka wawasan kita. Gue, sih, masih dalam tahap pengin aja jalan-jalan gini. Sama seperti Rama, tahap pertama dan paling utama, yaitu nabung, itu susah banget *curcol*. Novel ini cuma menceritakan kejadian selama dua hari, tapi padet banget, dan enggak lebay. Gue suka, deh, pokoknya.
Hal yang paling gue suka dari cerita ini adalah: obrolan ngalor ngidul mereka yang nendang dengan semangat youth movement.
I love it. Gue mau baca buku-buku Mbak Donna yang lainnya.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig