Stasiun
Cynthia Febrina
Ada dua orang, cewek dan cowok, yang dengan alasan masing-masing
memilih kereta api sebagai sarana transportasi utama dari dan ke kantor. Mereka
menyelami apa saja yang ditemukan di stasiun. Adinda dan Ryan. Ryan si jomblo
yang masih tinggal bareng ibunya. Adinda yang masih saja patah hati karena
ditinggalkan tunangannya.
That’s it? Yup.
Dari blurbnya, sih, gue memiliki ekspektasi kalau Adinda dan Ryan
ini enggak sengaja ketemu di stasiun lalu terjalin chemistry, jatuh cinta sembari memperhatikan kehidupan di stasiun, that’s it. Gue langsung ngebayangin
ala-ala Before Sunrise gitu, deh.
Nyatanya? Gue enggak ngerti ini buku intinya apa. Oke,
pointer-pointer aja, ya, biar cepat.
1. Buku ini konsepnya apa? novelkah? Well, gue enggak yakin ini novel karena alurnya enggak jelas dan
timelinenya kabur. Udah gitu enggak ada interaksi antar kedua tokoh utama. Kedua
tokoh saling berdiri sendiri, mengamati keadaan sekelilingnya sendiri-sendiri,
punya kisah sendiri, that’s it. Gue ngerasa
ini lebih cocok jadi kumpulan cerpen gitu karena memang setiap bab berdiri
sendiri. Enggak ada kontinuitas antarbab.
2. Karakteristik enggak jelas. Ryan ini bekerja di bidang desain
di perusahaan telekomunikasi. Pelukis juga. Punya studio juga, yang
mengakomodir kebutuhan pelukis jalanan di Bogor. Wartawan juga. Wow, banyak
banget, ya, waktunya si Ryan ini. Terus, dia bisa bikin studio padahal ngeluh
aja gitu kalo banyak yang minjem duitnya tiap bulan, bahkan hampir setengah
gajinya. Jadi orang, kok, ya kelewat baik gitu. Udah gitu tiba-tiba di bagian
menjelang akhir ternyata si Ryan ini dulunya miskin. Duh, karakternya enggak
jelas banget. Adinda juga. Sifatnya enggak jelas. Sebagai banker dan jam 7
masih tidur di Bogor sementara kantornya di Sudirman, baru berangkat jam 8 dari
Bogor? Gue penasaran sama bank yang bebas banget gini waktunya.
3. No chemistry. Kalau memang
ini cuma membahas pengalaman Adinda dan Ryan yang berdiri sendiri, it’s okay. Tapi, karena ini novel
romance, jadi mereka bertemu. Mereka bertemu di halaman 121 dari 160 halaman. Wow.
Sebelumnya ke mana aja? Udah gitu, langsung yakin udah jatuh cinta. Cepet banget
dan enggak ada adegan yang bisa membangun chemistry.
Oh my… Terhitung, dalam satu buku, ada kali Cuma tiga scene mereka
berinteraksi. Itu pun cuma sekilas. Again,
oh my…
4. Bahasa. Gue serasa baca salah asuhan. Seriously, bahasanya kesannya jadul gitu. Mungkin maksudnya biar
berima gitu, kali, ya, tapi gue bacanya eneg. Trus ada yang bikin gue ngerasa
ini novel angkatannya Marah Rusli banget. Di suatu pagi ketika Adinda ketemu
pasangan suami istri yang udah tua. Okelah bahasanya Marah Rusli banget, ya,
karena pasangan itu udah tua. Tapi, bahasa narasi Adinda dan Ryan yang
mendayu-dayu bikin gue serasa dilempar ke era NH Dini dulu. trus juga
percakapan Adinda dan Sasha, sahabatnya. Seumur-umur enggak pernah gue ketemu
sahabatan yang deket banget kayak gini tapi ngomongnya resmi banget dan
kesannya jadul gitu. Oh my… Kesannya jadi enggak real.
5. Terlepas dari semua hal gaje itu, gue cukup bisa menikmati
suasana stasiunnya, juga obrolan yang enggak sengaja mereka dengar. Menyoroti isu
sosial, sih. Cuma, ya, kalo dipikir-pikir hal ini bikin novel ini makin enggak
jelas tujuannya apa.
6. Editan oke. Enough said.
Well, untuk anak commuter kayak gue
lumayanlah baca novel ini biar enggak suntuk di kereta. Tapi, enggak kayak
Adinda, gue mah emoh ketagihan naik ekonomi, hahaha.
Untungnya KRL Ekonomi dah nggak ada ya :)
ReplyDelete