At The Coffee Shop
(Side story cerita Aidan - Laura yang akan segera ditulis)
Kedai kopi kecil ini bukan coffee shop terkenal yang sering muncul
di tayangan televisi. Bukan juga jenis high
class café yang sering menjadi tempat bersembunyi orang-orang berduit. Atau
café gaul yang seringkali riuh oleh tawa remaja yang minim pesanan. Coffee shop ini biasa.
Tapi, semua yang biasa belum bisa
saja menyimpan hal yang luar biasa. Tergantung bagaimana kita melihatnya.
Aku meletakkan gelas kosong yang
menyisakan ampas kopi dari espresso yang baru saja kuhabiskan. Kedai kopi ini
sepi. Selain aku, hanya ada pasangan yang sepertinya tengah dimabuk asmara. Berjarak
dua meja di hadapanku.
Otakku buntu. Mya, editorku, baru
saja memborbadirku melalui segala macam cara yang dia punya hanya demi satu
hal: deadlineku sudah dekat.
Harusnya, novel yang tengah
kukerjakan ini sudah akan naik cetak awal bulan depan. Hanya saja, aku masih stuck bertarung dengan perempuan cantik
bermata cokelat dengan ekspresi cunning
yang tak pernah lepas darinya. Brianda membuat hari-hariku jadi sekelam pakaian
yang kukenakan.
Kata Mya, aku harus meneyrahkan
revisinya malam ini. Malam ini. Itu berarti tinggal beberapa jam lagi.
Sementara aku masih di sini. Sibuk
berkutat dengan romantisme kacangan yang bukan keahlianku tapi Mya memaksaku
untuk menghadirkannya.
Lagipula, aku tidak habis pikir. Ini
novel thriller pembunuhan. Meski tokoh utamanya, Brianda, seorang model cantik,
bukan berarti dia harus mengalami romantisme kacangan yang sering muncul di
novel-novel sekarang.
Aku memukul kepalaku sendiri. Mencoba
berpikir romantisme apa yang bisa kuhadirkan.
Mataku terpaku ke pasangan di
hadapanku. Perempuan berambut coklat messy
itu tengah bergelayut manja di lengan kekasihnya.
Bagaimana jika perempuan itu
Brianda dan lelaki berambut keriting sebahu di sebelahnya adalah Billy? Korban Brianda
selanjutnya?
Aku tersenyum. Seperti yang
kubilang, coffee shop biasa ini bisa jadi luar biasa jika melihatnya dari sudut
pandang berbeda.
Perempuan itu menenggak
minumannya. Matanya melirik ke pria di sampingnya. Entah apa yang diceritakan
pria itu, aku tidak mendengarnya. Lalu, perempuan itu tertawa.
Oke, aku bisa menuliskan Billy
menceritakan sesuatu yang konyol untuk menarik perhatian Brianda. Tapi apa? Hal
romantis saja sudah membuatku puyeng, apalagi hal konyol?
Mya, you want to kill me, heh?
Kembali aku memusatkan perhatian ke
arah pasangan itu. Kulihat, pria itu menyelipkan rambut perempuannya ke belakang
telinga. Catat! Ini bisa dilakukan Billy.
Secepat kilat aku mengetikkan hal
itu di draft novelku.
Ketika menatap pasangan itu lagi,
kulihat si pria melayangkan ciuman singkat ke pipi perempuan itu.
Catat! Ini bisa dilakukan Billy. Billy
akan mencium Brianda dan menandakan dia sudah masuk perangkap Brianda. Lalu,
Brianda akan membawa Billy ke apartemennya dan menghabisi pria sialan itu.
Aku tertawa lepas.
Kembali aku menatap pasangan di
hadapanku—sekadar mencari tahu kemesraan apa lagi yang mereka perbuat. Namun,
tanpa disangka pria itu menatap ke arahku. Dia memergokiku tengah mencuri lihat
ke arahnya.
Dia tersenyum dan senyumnya manis
juga.
Refleks, aku membalas senyum itu. Yang
ternyata jadi malapetaka untukku karena perempuan itu melihatnya. Dia menarik
lengan pria itu—menegaskan bahwa he’s
mine. Dasar insecure. Namun,
ketika melihat kilatan di matanya, aku khawatir, jangan-jangan perempuan itu
adalah Brianda.
Aku menunduk dan pura-pura
mengetik sampai akhirnya pasangan itu pergi dari hadapanku.
NB: Jadi, hasil fangirling menghasilkan sebuah ide baru. Udah nggak sabar sih ingin segera nulis novel ini, makanya sekarang iseng nulis side storynya :))
0 Comments:
Post a Comment