Orang Ketiga Pertama

Leave a Comment
Orang Ketiga Pertama
(Hari Ketiga #13HariNgeblogFF)


“Kalau kamu semangat di treadmill, pasti karena ada yang dipikirkan.”
Sebuah suara mencuri masuk ke telingaku yang ditutupi earphone. Melalui lirikan, aku tahu siapa yang berbicara. Sejenak, kekesalan merasuki hatiku. Bagaimana dia bisa ada di sini?
Bodoh. Tentu saja dia bisa ada di sini karena dia bekerja di sini.
“Apa kabar Tiz?” tanyanya enteng. Dia berdiri bersandar ke treadmill yang sedang kugunakan di pusat kebugaran ini.
Alih-alih menjawab, aku malah mengeraskan volume ipod agar tidak lagi mendengarnya. Susah payah aku memindahkan jadwalku ke Sabtu pagi hanya karena di saat inilah dia tidak bertugas. Nyatanya, dia malah di sini.
“Kamu sudah terlalu banyak berkeringat.” Dia menghentikan treadmill dan mencabut earphone dari kupingku. “Aku sudah bilang. Jangan terlalu memaksakan diri ketika olahraga. Itu tidak baik.”
Aku menggerutu, menyesali takdir yang kembali mempertemukanku dengan pria ini. Sambil bersungut-sungut, aku melangkah pergi.
“Tiz…”
Kuabaikan panggilan itu dan menghilang ke arah loker.
*
Dia Mario, mantan pacar yang mendepakku satu tahun lalu. Kami putus dan berubah menjadi musuh karena aku enggan memaafkannya. Berkali-kali dia selingkuh di belakangku dan aku tidak tahu. Lebih parah lagi, ternyata aku juga selingkuhan dari pacar utamanya yang ada di London. Ale-lah yang membuka kebusukan Mario. Juga menghadiahinya bogem mentah sebagai balasan karena telah menyakitiku.
Ale. Seharusnya dia sudah menjemputku setengah jam yang lalu, namun hujan menjebaknya.
“Mau pulang, Tiz?”
Aku mendengus. Mario lagi.
“Tiz, aku mau ngomong.”
Aku hanya mendelik dan memasang wajah terganggu. Semenjak putus, Mario berkali-kali menghampiriku tapi aku selalu antipati sampai akhirnya dia menyerah. Namun ternyata aku salah. Sekarang, dia kembali mengangguku.
“Aku menyesal telah menyakitimu. Tiz, aku…”
Sebelum Mario menyelesaikan ucapannya, aku berlalu. Sebaiknya aku cepat-cepat pergi dari sini sebelum emosiku memuncak di hadapan Mario.
“Tiz, dengerin aku dulu..” Mario mencekal lenganku dan menekanku ke dinding. Wajah tampannya yang dulu membuatku bertekuk lutut sekarang menegang dengan napas memburu.
Kurasakan sakit menggayuti kedua lenganku yang dicengkeram Mario. Aku meringis. “Mario, lepasin gue.”
“Nggak, sebelum kamu dengerin aku.”
“Sakit, Mario. Lepasin.” Aku memberontak di bawah cengkeraman Mario. Namun, semakin aku memberontak, cengkeramannya semakin kuat. Aku nyaris terengah-engah karena tubuh Mario yang menjulang dihadapanku membuatku kesulitan menghirup udara segar.
“Lepasin dia.”
Sebuah suara menyentakku, diikuti gerakan cepat yang membuatku kaget. Tahu-tahu, aku sudah terlepas dari Mario dan terlindung di belakang sesosok tubuh tinggi berambut keriting sebahu.
“Lendra?”
Lendra berbalik. “Kamu baik-baik aja?”
Aku menggangguk tanpa bisa menyembunyikan senyum bahagiaku. Pernah aku memimpikan seorang pangeran atau hero yang menolongku, dan aku tidak menyangka jika orang itu adalah Lendra.
“Aku baik-baik saja, Lendra. Bisa kamu membawaku pergi dari sini?”
Lendra mengangguk dan meraih tanganku. Perlahan, dia membimbingku pergi dengan raut bermusuhan yang masih ditujukan kepada Mario.
Aku mengikuti Lendra dengan senyum puas—terlebih saat melihat ekspresi tidak rela milik Mario.
*
“Dia mantanku yang sering berselingkuh di belakangku. Oh, bahkan aku pun hanya selingkuhan.” Aku menelungkupkan wajah di meja kayu yang ada di RumaKopi. Lendra membawaku ke sini sepulang dari gym. Sepanjang perjalanan, aku tahu jika dia juga terdaftar di gym tersebut. Bodohnya aku tidak pernah memperhatikannya sebelum ini.
“Yang penting kalian sudah putus.”
Aku mendongak dan tersenyum lebar. He’s right. Mario sudah menjadi masa lalu dan sekarang di hadapankuada Lendra. Aku siap menyambut masa depan bersama Lendra.
Senyum di wajahku langsung lenyap ketika aku teringat kejadan semalam. Seorang perempuan yang mendatangi Lendra di tengah malam buta. Begitu melihat mereka terlibat dalam obrolan seru, aku langsung menarik Ale untuk segera pergi. Tidak peduli jika pekerjaanku belum selesai.
“Semalam aku seperti melihatmu di Starbucks Sarinah.”
Aku sudah berusaha untuk tidak terlihat, tapi nyatanya dia masih melihatku. Sejumput kebahagiaan merambati hatiku.
“Kamu bareng temanmu di kereta kemaren pagi.”
“Ale.”
“Oh, namanya Ale.”
“Aku juga melihatmu bersama pacarmu.” Lidahku kelu ketika aku menyebutkan kata pacar. Aku tidak tahu siapa perempuan itu, tapi kata pacar meluncur begitu saja di lidahku.
“Mantan pacar.”
“Apa?” Aku tergagap.
“Yang kamu lihat semalam itu mantan pacarku.”
Jika aku tidak berada di temat umum, atau tidak berhadapan dengan Lendra, aku pasti akan melompat saking gembiranya sekarang. Buru-buru aku menahan senyum lebarku agar Lendra tidak menangkap maksud hatiku.
“Sama sepertimu. Aku hanya orang ketiga di hubungannya dengan pacar utamanya.”
Kali ini, aku tidak sanggup menahan mataku untuk tidak terbeliak.
Pernahkah ada yang berkata jika seorang laki-laki dan perempuan yang memiliki takdir yang sama lalu mereka bertemu, maka mereka bisa menulis takdir baru bersama-sama?
Aku rasa aku pernah mendengarnya. Atau mungkin juga itu hanya khayalanku saja. Aku tidak peduli. Karena sekarang, aku yakin akan bisa menulis takdir baru bersama Lendra.
SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 Comments:

Post a Comment

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig