Cuti Sakit Hati
(Hari Keempat #13HariNgeblogFF)
Baca cerita sebelumnya di sini:
Kenalan Yuk
Pukul Dua Dini Hari
Orang Ketiga Pertama
“Dia minta balikan lagi?” tanyaku
dari atas sofa yang kududuki.
Di hadapanku, Lendra tidak
menjawab. Dia sibuk melempar anak panah ke papan dart yang kutempel di dinding.
Pengalihan di kala stres, kilahku ketika Ale bertanya mengapa aku menempelkan papan
itu di antara poster-poster boyband
lawas yang memenuhi dindingku. Untunglah, aku sempat melepaskan foto bosku yang
semalam menjadi sasaran tembakku.
Kami berada di apartemenku. Setelah
kekenyangan dan tidak tahu memesan apa lagi, Lendra bermaksud membawaku pergi. Namun
hujan memerangkap kami. Aku dan Lendra sama-sama malas bepergian karena sehabs
hujan akan ada macet. Karena itulah aku mengajak Lendra ke apartemenku yang
masih terletak di jalan yang sama dengan café ini. Agak nekat memang, mengingat
aku baru mengenal Lendra. Tapi, ketika hati sudah berbicara, kadang logika pun
dinomorduakan.
“Begitulah. Karena pacarnya
memutuskannya,” jawab Lendra tanpa menghentikan permainannya.
“Terus?” cecarku. Aku jadi kuatir. bagaimana jika Lendra
menerima perempuan itu?
Jangan sampai itu terjadi. Baru beberapa
jam yang lalu aku merasa riang gembira dengan kenyataan bahwa dia sedang
sendiri, dan sekarang, aku tidak sanggup harus menerima kenyataan menyakitkan.
Lendra berhenti bermain dart dan
menghampiriku. Dia menduduki sofa kosong di hadapanku.
“Aku memang mencintainya, dulu. Tapi
aku juga punya harga diri.”
“Maksudmu?”
“Kalau laki-laki tadi memintamu
kembali setelah putus dari pacarnya, kamu mau?”
Aku menggeleng tegas. Selain karena
aku sudah mematikan perasaanku untuk Mario, aku juga tidak ingin menjalin hubungan
dengan pria yang tidak pantas mendampingiku. Aku berhak menjadi yang nomor satu
dan satu-satunya, dan bersama Mario, itu tidak akan mungkin.
“Aku ingin cuti sementara dari
hal-hal yang menyangkut perasaan, termasuk cuti dari sakit hati. Kembali menjalin
hubungan dengan Renata hanya akan membuatku kembali merasa sakit karena terus
teringat betapa bodohnya aku dulu,” jelas Lendra.
“Kalau memulai hubungan baru, apa
kamu ingin cuti juga?” pancingku.
Lendra tertawa kecil. Dia tidak
segera menjawab, malah mengusap rahangnya yang belum dicukur seraya melemparkan
pandangan ke luar jendela. “Never say
never. Aku tidak ingin berkata tidak karena takdir, siapa yang tahu?”
Aku tersenyum lebar. Cuti itu
hanya sementara, sampai dia bisa memulihkan kembali perasaannya seperti semula.
Lalu, setelah itu berlalu, dia akan siap menerima cinta baru. Mungkin aku bisa
menemaninya selama prses itu, membantunya melupakan Renata sekaligus membuat
dia melirikku.
Tidak ada yang tidak mungkin.
“Kamu aneh. Kenapa ada dart di
antara poster boyband?” Pertanyaan Lendra
menyentak lamunanku.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling.
Apartemenku tidak terlalu besar. Sebuah ruang tamu kecil yang kubuat menyatu
dengan kamar tidur. Sama seperti kamarku di rumah Mama di Depok, apartemenku
juga berantakan. Terlebih setelah semalam aku pulang larut dan menyelesaikan
pekerjaanku. Berbagai majalah tersebar di atas tempat tidur, lantai, dan sofa. Kertas-kertas,
piring bekas makan, makanan kaleng dan cemilan, semuanya terletak di tempat
yang tidak seharusnya. Tidak ada waktu untuk membereskannya ketika Lendra
datang. Setidaknya aku beruntung tidak ada pakaian dalam yang tergeletak dengan
indahnya di atas sofa.
Poster-poster boyband yang berjaya di era 90-an memenuhi hampir seisi dinding. My guilty pleasure.
“Kata Ale, aku punya kebiasaan
buruk memendam emosi sehingga, jika aku sudah tidak sanggup lagi menahannya,
aku akan meledak. Kata Ale juga, jika sudah marah, aku lebih seram dibanding Hulk.”
Aku terkikik, mengingat pembicaraanku dengan Ale satu tahun yang lalu. “Ketika
putus dari Mario, Ale menyarankan aku memiliki sesuatu yang bisa menjadi
sasaran pelampiasan emosi. Lalu, aku melihat papan dart itu dan langsung
membelinya. Hasilnya lumayan. Setiap kali marah, aku tinggal menempel hal yang
membuatku kesal di sana dan melemparinya.”
Lendra menatapku dengan dahi
berkerut. Di matanya, mungkin aku aneh. Tapi, ketika dia mulai menarik bibirnya
membentuk senyuman geli, aku juga ikut tersenyum.
“Berani taruhan, korban pertama
adalah Mario.”
Aku mengangguk. “Kalau nggak ada
kamu, mungkin sekarang aku sedang melempari foto Mario, menggantikan foto bosku
yang semalam sudah tidak berbentuk.”
“Kamu masih mencintainya?”
“Siapa? Mario?”
Lendra mengangguk dengan mata
tertancap di kedua mataku. Membuatku jengah.
Ingin rasanya aku menggeleng,
namun ada yang menahan kepalaku. Mario pacar seriusku yang pertama, dan dia
begitu pintar membuaiku sehingga semua kebusukannya tersembunyi rapat. Entah dia
yang pintar atau aku yang bodoh, entahlah. Sampai detik ini, sekuat apapun aku
menyangkal bahwa aku membenci Mario, nyatanya, sesekali dia masih mencuri masuk
ke pikiranku.
Mungkin aku tidak lagi
mencintainya. Mungkin saja aku masih memikirkannya.
Aku mengangkat wajah dan menatap
Lendra. Mungkin saat ini aku belum terlalu mencintai Lendra. Mungkin saja aku
masih sebatas penasaran.
“Entahlah. Sama sepertimu, mungkin
aku masih ingin cuti dari sakit hatiku.”
Lendra tergelak. “Sama-sama menjadi
orang ketiga dan sama-sama masih cuti dari sakit hati.”
Aku ikut tertawa.
“Mungkin kita bisa melewati masa
cuti ini bersama-sama,” tawar Lendra.
Tawaku sontak berhenti. Melewatinya
bersama-sama? Kuanggap itu sebagai sebuah permulaan yang bagus.
0 Comments:
Post a Comment