Cut
(Hari Ketigabelas #13HariNgeblogFF)
Finally sampai di hari terakhir dan gue berhasil menyelesaikan cerita bersambung sebanyak 13 seri tentang Tiz-Lendra-Ale. Senang meski kadang ceritanya gaje. Tapi, secara ceritanya tanpa konsep dan hanya bisa mengait-ngaitkan sesuai judul yang diberikan hari itu jadi ya nggak apa-apa dong gaje, hehehe.
Baca cerita sebelumnya di sini.
Aku kembali menjalani hidupku seperti
biasa. Maksudku, berusaha menjalani hidupku seperti sedia kala.
As normal as I can.
Sore ini, langit Jakarta sedang
bersahabat, setelah berhari-hari diguyur hujan. Langit biru cerah meski di
beberapa tempat tersaput awan. Aku melangkahkan kakiku menuju Starbucks Sarinah
yang kebetulan terletak di sebelah gedung perkantoran tempatku bekerja.
Segelas espresso cukup menjadi
temanku. Memandangi setiap sudut Starbucks kembali memutar kenangan yang
terjadi di sana. Aku pernah bertemu Lendra di sana. Coffee shop ini juga menjadi tempat pelarianku ketika patah hati.
Di sinilah Ale menemukanku menangis sendirian. Dia memelukku serta memastikan
keadaanku baik-baik saja.
My lover's gone but my best friend's back.
Selalu ada yang datang dan pergi
dalam hidup. Sebuah siklus alami yang selalu akan terjadi.
Dua bulan berlalu dan aku kembali menapaki pedestrian Thamrin dengan sisa daya yang aku punya. Aku mencoba melupakan semuanya. Semuanya, semampuku. Namun masih ada segelintir rasa yang enggan beranjak dari hatiku.
Dua bulan berlalu dan aku kembali menapaki pedestrian Thamrin dengan sisa daya yang aku punya. Aku mencoba melupakan semuanya. Semuanya, semampuku. Namun masih ada segelintir rasa yang enggan beranjak dari hatiku.
Langkahku terhenti ketika melihat
kerumunan di hadapanku. Ada banyak orang di sana, juga beberapa kamera dan lighting. Aku mendekat dan menyadari
sedang ada shooting. Sial. Aku sedang
terburu-buru karena Ale sudah menungguku, tapi sekarang aku terjebak.
Aku menyesap kopiku dalam diam.
Mataku tak lepas dari adegan di hadapanku.
Andai hidupku sebuah film, bukan
akhir seperti ini yang diharapkan penonton. Ketika tokoh utama perempuan tidak
berakhir dengan pria yang dicintainya. Parahnya, dia tidak tahu di mana pria
itu berada sekarang.
Tapi hidupku bukan film. Sebagai
satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas kisahku, bukan akhir seperti ini
yang kuharapkan. Aku tidak tahu di mana Lendra sekarang.
"Cut. Oke, good job."
Teriakan seorang pria yang berdiri
tidak jauh dihadapanku menyentakku. Aku mendesah lega. Shooting ini selesai, jadi aku bisa melanjutkan perjalanan.
Aku kembali melangkah, bersamaan
dengan pria yang tadi berteriak “Cut” membalikkan tubuhnya. Aku terkesiap.
Lendra. Bibirku mengucap nama itu
tanpa suara.
Lendra juga terpaku di tempatnya.
Menatapku.
Sosok itu masih sama. Dan aku masih
mengenal setiap inchi tubuhnya. Dan tubuhku masih bereaksi akan kehadirannya.
Namun sekuat tenaga aku menahan kakiku untuk diam di tempat.
"Tiz." Lendra-lah yang
memecahkan keheningan itu.
Sekuat apa pun aku menahan kakiku
untuk tidak bergerak, percuma saja. Lendra malah mendekatiku. Dia baru berhenti
ketika jarak di antara kami hanya tinggal sepenghelaan napas saja.
Aroma tubuhnya masih sama. Desahan napasnya juga masih sama.
Aroma tubuhnya masih sama. Desahan napasnya juga masih sama.
Dan rinduku seakan menemukan
jalannya. Meletup-letup memintaku melepaskan kerinduan itu dengan memeluknya.
Tapi aku tidak bisa.
"What a surprise," ucapnya pelan.
Aku tersenyum tipis. "Kamu jadi
sutradara sekarang," balasku sekadar basa basi.
"Hanya film pendek untuk promo brand fashion baru," jawabnya.
Aku hanya mengangguk singkat seraya
meneguk kopiku.
"Baru pulang kantor?" Tanya
Lendra seraya menggerakkan dagunya menunjuk gedung di belakangku.
Sekali lagi aku hanya menganggukkan
kepala. Kecanggungan ini terasa sangat mengganggu tapi aku tidak tahu cara yang
tepat untuk menghilangkannya.
"Kamu buru-buru?" Tanya
Lendra seteah keheningan menjelma.
Aku kembali mengangguk tanpa suara.
"Ada janji dengan Ale." Begitu saja. Aku bahkan tidak menahan lidahku
untuk mengatakan hal itu.
Aku melirik dari atas kacamata hitam
yang kugunakan. Sempat aku melihat perubahan ekspresi Lendra ketika mendengarku
menyebut nama Ale. Namun aku tidak ingin berekspektasi apa-apa.
"Aku duluan," ujarku
tiba-tiba. Kecanggungan ini sangat tidak menyenangkan dan aku harus segera
pergi. Sebelum kerinduanku mengambil alih dan membuatku menghambur ke pelukan
pria itu.
Lendra bergerak ke samping,
menyiapkan ruang untukku melangkah maju.
"Ngg... Tiz?"
Panggilan itu memaku langkahku.
Sekali dalam hidupku, ketika aku
tidak ingin pergi dari hidupnya, dia membiarkanku pergi. Sekarang, ketika aku
ingin pergi, dia malah menahanku.
Tiba-tiba saja Lendra sudah kembali
berda di hadapanku. Kedua tangannya mencengkeram pundakku. Dia menundukkan
wajah agar bisa bertatapan langsung denganku.
"Dengar. Aku tahu aku salah tapi
selama ini aku selalu memikirkan itu. Aku selalu mermikirkanmu."
Sekali dalam hidupku, aku pernah
dengan mudahnya tenggelam dalam pesonanya, dalam kata-katanya. Sekarang, pesona
itu masih ada. Kata-katanya masih membuaiku.
"Aku memang belum bisa
menjanjikan apa-apa, tapi setidaknya aku selalu mencoba."
Lendra masih menatapku. Bahkan dari
balik kaca mata hitam ini, aku masih bisa merasakan betapa tajamnya tatapan itu.
"Aku mencobanya, Tiz, dan aku
berharap masih ada kesempatan. Meski aku tidak berani menjanjikan apa-apa."
Kata-kata itu terdengar tegas, juga
tulus. Tentunya, menyentuh hatiku. Menyentuh kembali rasa yang tak pernah enyah
dari dalam hatiku.
Lendra melepaskan pegangannya di
pundakku, lalu mundur beberapa langkah. Memberikanku ruang untuk melangkah.
Aku menatapnya. Perlahan, sebaris
senyum tersungging di bibirku. Senyum untuknya.
You can call me crazy, but I think, everyone deserves a second change.
And so do I.
And of course, so does he.
Salam dari Lendra
0 Comments:
Post a Comment