Bangunkan Aku Pukul Tujuh
(Hari kesepuluh #13HariNgeblogFF)
Baca cerita sebelumnya di sini
“Bangunin gue jam tujuh ya. Gue
harus ke Bandung besok pagi.”
Mataku seketika terbelalak ketika
membaca pesan yang masuk ke ponselku. Aku mengucek mata. Mungkin saja aku salah
lihat atau aku yang terlalu berharap sampai-sampai berhalusinasi.
Namun, pesan itu masih ada. Nama Ale
masih tertera sebagai si pengirim pesan.
Setelah beberapa hari tidak saling
bertegur sapa, sebaris pesan singkat ini sudah cukup membuatku merasa luar
biasa senang.
“Kenapa senyum-senyum?”
Sebuah suara berat mampir ke
pendengaranku. Aku menoleh ke belakang, melihat Lendra yang terbaring menyamping
dengan satu tangan menopang kepala dan menatapku dengan dahi berkerut.
Ale pernah berkata bahwa aku
seperti buku terbuka. Apapun isi hatiku, akan langsung terlihat dari raut
wajahku—percayalah, aku bukan orang yang tepat untuk diajak bekerja sama
menyiapkan sebuah kejutan. Dan ketika perasaanku merasa sangat bahagia, maka
wajahku akan bersinar berkali-kali lipat lebih cerah. Tidak mengherankan jika
Lendra mempertanyakan hal itu karena sejak tadi, semenjak kami meninggalkan
Plaza Indonesia, wajahku terlihat sangat kusut. Ucapan Renata, ditambah
hubunganku dengan Ale yang masih merenggang membuatku merasa sangat suntuk.
Sekali lagi aku menatap pesan itu.
Masih ada. Dan sekarang, aku baru benar-benar yakin.
Ale memang bermasalah dengan yang
namanya bangun pagi di akhir pekan sehingga setiap kali ada sesuatu yang
mengharuskannya bangun pagi di hari libur itu, dia akan menyuruhku
membangunkannya. Dan aku akan terus memborbardirnya dengan telepon sampai dia
mengangkat tubuh pemalasnya itu dari balik selimut.
Mungkin saja, selama ini Ale juga
memikirkan cara yang tepat untuk melakukan gencatan senjata. Dan kebiasaan kami
ini memberikannya celah.
Sekali lagi, aku berteriak senang tanpa
suara.
“Kamu kenapa, sih?” tanya Lendra
lagi. Dia memperbaiki posisi tubuhnya yang semula menyamping jadi menelentang. Tak
ayal, ranjang yang sudah sempit untuk dihuni oleh dua orang ini—terlebih mengingat
postur tubuh tinggi tegap yang dimiliki Lendra—terasa semakin sempit. Dan aku
semakin terdesak ke dinding. Alih-alih protes, aku malah merasa nyaman karena
aku sangat menikmati saat-saat berdekatan dengan Lendra. Seperti saat ini. Seakan-akan
tidak ada yang bisa memisahkan kami.
“SMS dari siapa sih?” Lendra
kembali bertanya meski dua pertanyaannya sebelum ini tidak kujawab.
Aku tidak menjawab, hanya tertawa.
Setelah menyelipkan ponsel ke balik bantal, aku menghambur ke atas Lendra dan
memeluknya. Lendra terkejut tapi detik selanjutnya dia langsung membalas
pelukanku. Kami bergulingan di atas ranjang sempit ini dan sama sekali
mengabaikan bunyi derit yang menandakan ranjang ini kelebihan muatan.
Aku hanya merasa terlalu
bersemngat.
“Kamu besok bangunin aku jam tujuh
ya,” ujarku dengan napas terengah-engah.
Lendra yang masih memelukku
kembali mengernyitkan kening. “Besok kan Sabtu? Kenapa harus bangun pagi-pagi?”
“Ale menyuruhku bangunin dia jam
tujuh. Soalnya dia paling susah bangun pagi kalau weekend.”
“Jadi, tadi Ale yang SMS?”
Aku mengangguk. Tanganku sibuk
membelai rahangnya yang masih belum dicukur. Geli terasa menyelimuti telapak
tanganku.
“Kenapa kamu senang banget nerima
SMS Ale? Kalian kan teman baik?”
“Ada sedikit kesalahpahaman dan
SMS itu menandakan kalau Ale menawarkan gencatan senjata.”
Lendra tidak menjawab, namun
pelukannya di tubuhku terasa semakin protektif. Hal ini membuatku semakin senang.
Pria yang kucintai ada di sampingku, memelukku. Sahabat baikku perlahan-lahan
mulai kembali. Tidak ada yang lebih sempurna dibanding ini.
“Jangan lupa bangunin aku jam
tujuh ya.”
Lendra mengangguk. Sembari membelai
lembut pipiku, dia berbisik, “Sepertinya kamu dan Ale bukan hanya sebatas
sahabat.”
Aku tidak menjawab, hanya
mengeratkan pelukanku di tubuhnya. Senyumku semakin mengembang karena menangkap
nada cemburu di balik ucapan itu.
*
“Ya ampun, Tiz, lo kurang kerjaan
banget ya bangunin gue pagi buta kayak gini?”
Aku menjauhkan ponsel dari
telinga, menghindarkanku telingaku dari teriakan Ale yang sangat tidak layak
didengarkan pagi-pagi seperti ini.
“Kan lo yang minta dibangunin jam
tujuh,” balasku sewot. Namun aku tidak bisa menyembunyikan senyumku. Tidak ada
kesan canggung seakan-akan pengakuan terlarang itu tidak pernah terlontar dari
bibir Ale.
“Tapi ini baru jam lima.”
Refleks aku berbalik dan melihat
jam dinding di atas televisi. Pukul tujuh. “Ini udah jam tujuh, Le.”
“Oh iya. Gue lupa kalau jam
dinding gue mati.”
Aku melongo. Bisa kutebak sekarang
Ale sedang cengengesan sambil menggaruk kepalanya.
“Jadi, itu batrai jam dari bulan
lalu belum lo ganti?”
“Belum, hehehe.”
Dan semakin jelas di bayanganku
kalau cengiran Ale semakin lebar. Kali ini diikuti dengan aksi mengacak rambut
yang sudah acak-acakan setiap kali dia bangun tidur.
“Sarapan, Tiz.” Seruan Lendra dari
pintu dapur menyelingi ucapanku dengan Ale.
“itu siapa?” tanya Ale.
“Lendra,” jawabku pelan.
Keheningan membentang sehabis aku
mengucap nama Lendra. Keheningan yang terasa sangat tidak nyaman. Aku menggigit
bibir, berusaha mencari bahan omongan tetapi otakku buntu. Sementara di
seberang sana Ale juga terdiam. Entah apa yang dirasakannya sekarang.
Aku melirik Lendra yang sudah
duduk di karpet di tengah ruangan dengan dua piring nasi goreng. Dia tersenyum
padaku dan aku membalasnya dengan senyuman getir.
Lendra-lah yang membuat hubunganku
dengan Ale merenggang. Seharusnya, aku tidak menyebut-nyebut nama pria itu. Setidaknya,
sampai hubunganku dan Ale kembali seperti semula.
Namun, semua sudah terlambat.
“Tiz.”
“Ya,” balasku cepat.
“Gue siap-siap dulu ya. Thanks udah bangunin.”
“Sama-sama, Le.”
Sepanjang dua puluh tahun
persahabatanku dengan Ale, baru kali ini aku merasakan kecanggungan ini. Rasanya
sangat tidak mengenakkan. Sungguh, aku tidak ingin berlama-lama terjebak dalam
situasi ini.
“Yuk, makan.”
Ajakan Lendra menyadarkanku bahwa
Ale sudah memutuskan hubungan telepon. Aku menatap ponselku, berharap semoga
bisa menemukan cara untuk mengembalikan semua masalah ini seperti sedia kala. Aku
mencintai Lendra dan menginginkannya menjadi milikku—persetan dengan semua
omongan renata, I don’t care—tapi aku
juga ingin Ale tetap di sampingku, menjadi sahabat terbaikku.
Aku menyeret tubuhku ke sebelah
Lendra. Dia menciumku sejenak sebelum menyodorkan piring nasi goreng ke
hadapanku.
Apakah salah menginginkan Ale dan
Lendra menjadi milikku tanpa ada yang merasa tersakiti?
0 Comments:
Post a Comment