PS:
tema ke-9 dalam rangka 30 stories 30 days
Tema
dari Nanien Yuniar
Being a mediocre. The
effect of insecurity is you feel like you’re just a mediocre. Nothing special.
Someone invisible.
I’ve been there before.
Sejak
kecil, saya selalu menganggap diri saya medioker. Not beautiful enough. Not smart enough. Just an invisible girl yang
kadang enggak dianggap. Dan saya pun tidak pernah mencoba untuk menonjolkan
diri? Untuk apa? Karena saya sendiri sadar tidak memiliki apa-apa untuk
dibanggakan.
Terlebih,
saya sering dibanding-bandingkan. Dengan kakak yang jauh lebih segala-galanya,
dengan teman lain, atau dengan seseorang bernama sama dengan saya, yang memberi
mama inspirasi untuk menamai saya Ifnur Hikmah.
Ketika
menerima tema ini dari Nanien, saya langsung teringat masa sekolah dulu. Di
postingan ini, saya sempat menyinggung soal masa sekolah dulu. Singkatnya, saya menghabiskan
waktu tiga tahun masa SMP di kelas unggulan dengan murid super pintar. Tiga
tahun saya bersama orang-orang yang saling bersaing untuk menjadi yang terbaik.
Di
saat seperti itu, saya sudah bertemu dengan orang yang ambisius. Hasilnya
memang terlihat, mereka tumbuh menjadi orang sukses di bidangnya. Semakin membuat
saya merasa sebagai seorang yang medioker.
Ketika
memutuskan untuk keluar dari ‘kurungan’, dan mengenal banyak orang, semakin
saya sadar kalau di luar sana banyak banget orang hebat. Di pekerjaan, saya
bertemu dengan remaja berprestasi dan inspiratif yang di usia muda sudah
menghasilkan sesuatu yang membanggakan. Setiap kali bertemu mereka membuat saya
berpikir, what have I done in my life?
And the answer is nothing.
Green Eyed Monster
Iri,
sebuah perasaan yang sangat tidak menyenangkan, tapi beberapa kali kita pasti
pernah merasa iri. Saya berani berkata pasti, because once in our life, we’ve felt envy for someone. Entah orang
yang kita kenal atau seseorang yang tidak dikenal, let’s say, celebrity.
Saya
sendiri pernah iri dengan teman yang lebih pintar. Teman dekat yang dengan
gampangnya masuk sepuluh besar di kelas sementara saya jauh di bawahnya. Iri
dengan teman yang bisa membawa diri dan supel sehingga dia dikenal banyak orang
sementara saya merasa awkward di
depan umum. Saya iri dengan teman yang bergaji besar sementara gaji saya yang
seadanya. Dan berbagai bentuk iri lainnya.
Apalagi
sekarang, di era media sosial, ketika hidup seseorang terpapar jelas di depan
mata. Saya ingat statusnya mbak Trinzi (Instagram atau Path?) yang kurang lebih
berkata seperti ini, ‘di Instagram itu enggak ada orang susah, ya?’ karena
memang, yang kita lihat seringkali hanyalah the best thing in someone’s else
life. Karena memang jarang ada yang menampakkan kesusahan hidup. Sehingga,
ketika terus menerus terpapar hal ini, bisa saja kita merasa iri karena hidup
yang dijalani tidak se-fabolous apa yang kita lihat.
Ya,
saya pernah merasa iri sampai-sampai saya cut
off hubungan dengan mereka.
Hal
ini saya alami dulu, dan berakhir sekitar empat tahun lalu. Ketika saya mencoba
untuk mengenali diri sendiri dan belajar untuk mencintai diri sendiri, di saat
itu saya mulai bepikir, apakah salah menjadi seorang yang medioker?
Jawabannya
adalah tidak.
Selalu Melihat Dua Sisi
Saat
ini, saya teringat dengan pepatah yang berbunyi, gajah di pelupuk mata tak
tampak, semut di seberang lautan tampak. Tidak 100% mengikuti arti pepatah ini,
sih, tapi kurang lebih bisa diterapkan juga. Kita dengan gampangnya melihat
kelebihan orang lain, sekecil apa pun, sementara hal positif di diri kita
seringkali diabaikan. Ketika diminta menjabarkan kekurangan, kita bisa bicara
dengan lancar. Namun saat diminta menyebutkan kelebihan, kita jadi terbata-bata.
Sama
halnya dengan menilai apakah hidup kita biasa-biasa saja atau justru sebenarnya
luar biasa?
Seseorang
yang kita anggap superior, mungkin saja menilai dirinya medioker. Kita yang
menganggap diri sendiri biasa-biasa saja, mungkin saja terlihat luar biasa di
mata orang lain.
In the end of the day I realize
that
semuanya balik lagi ke bagaimana kita menilai diri sendiri. Seberapa tinggi
kita menghargai diri sendiri dan memberi nilai pada diri kita. Dulu saya
memberi nilai rendah untuk diri saya, karena menganggap there’s nothing special about me.
There are a lot of change
in our live when we decide to know who we really are and accept ourselves just
the way we are. When we try to love ourselves, at that time, we’ll feel
special. That we are some body, no longer a nobody.
Mediocre Is Not a Bad
Thing
Jadi,
apakah saya menerima diri saya sebagai seorang medioker atau menganggap diri
saya luar biasa.
Well, dua-duanya tidak ada
yang salah, imho. Tergantung bagaimana
kita.
Krista
O’Reilly Davi-Digui, seorang penulis asal Kanada, yang saya kutip dari bbc, ada
poin yang saya setujui.
“Ketika
saya bilang saya medioker, ya saya medioker. Bagaimana jika saya seorang
medioker dan mencoba berdamai dengan itu? Saya bisa menerima bahwa saya bukan
sosok yang brilian. Saya suka menulis tapi bukan berarti saya penulis yang
baik. I’m just kind of plain.”
Mencoba
untuk menerima keadaan. Itu yang saya pelajari.
Dulu,
saya mencoba untuk mengatasi perasaan medioker ini dengan bilang you’re awesome. Ya beberapa kali saya
melawan perasaan negatif ini dengan menyebut hal yang positif.
Namun
ketika membaca artikel tersebut, saya berpikir kenapa enggak mengakui saja
kalau kita memang medioker?
Saya
memang tidak pintar, saya biasa-biasa saja tapi saya selalu belajar sehingga
otak saya tidak pernah kosong, selalu diisi. Saya tidak cantik, tapi saya tahu
cara merawat diri dan saya tahu pakaian apa yang works untuk saya, sehingga itu bisa boosting my mood. Saya mungkin tidak menerima gaji sebesar teman
yang lain, tapi apa yang saya terima sudah cukup dan saya tidak menyesal
menjalani pekerjaan ini. Saya bukan penulis hebat, tapi apa yang saya tulis itu
mewakili isi hati.
Saya
memang tidak bisa mengunjungi semua tempat di dunia, tapi saya tahu tempat mana
yang ingin saya tuju.
Yess, I’m a mediocre but I
have amazing life because the best thing in life is being myself.
Juga,
membuat saya lebih tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan dalam hidup.
Mengakui
kalau kita medioker bukanlah hal yang buruk. Melainkan membuat kita belajar
untuk mengenali diri sendiri, sehingga kita bisa setting up a plan yang akan dijalani dalam hidup, dan tentunya plan
tersebut benar-benar sesuai dengan hidup kita. Juga menghindari kita agar tidak
terjebak dalam hidup di khayalan.
Yess, I’m a mediocre and
nothing wrong with that.
XOXO
Iif
Nanien:
“Karena gue mrasa medioker aja kali kalau lihat medsos yang isinya cuma the
best thing from one’s life. Merasa hidup gue kok kayaknya medioker aja kalau
dibandingin dengan yang jetset atau pencitraan, he-he.”
Nanien is my college
friend. Dia salah satu lulusan jurnalistik yang masih bertahan di ‘tempatnya’
he-he. She’s a fun person and you will always laugh your ass of everytime you
spend your time with her, he-he. You live a wonderful live, Nien, and in my eyes,
you’re far from being mediocre.
0 Comments:
Post a Comment