FF 7: Sepucuk Surat (bukan) Dariku

3 comments
Sepucuk Surat (bukan) Dariku
Oleh: Ifnur Hikmah

Dear Dewa,

Kamu pernah bertanya apakah aku percaya “there is one man for one women”? Kala itu aku menjawab bahwa aku percaya akan adanya seorang pria di luar sana yang diciptakan untuk mendampingi seorang perempuan. Hanya saja, waktu belum berbaik hati mempertemukan mereka dalam sebuah ikatan cinta. Kemudian aku pun melanjutkan dengan membahas konsep “satu hari”. Dalam hidup ini, akan ada satu hari di mana sepasang manusia yang telah ditakdirkan untuk bersama akan bertemu dan saling jatuh hati.

Waktu itu kamu hanya tersenyum mendengar jawabanku.

Lalu kamu bertanya lagi, “bagaimana denganmu?”

Aku masih ingat bagaimana saat itu aku tersenyum malu-malu. Kujawab, “aku masih menunggu satu hari itu. Bahwa di luar sana masih ada seorang pria yang tengah berjalan ke arahku dan aku pun sedang menuju ke arahnya.”

Namun ada satu hal yang tidak kukatakan kepadamu saat itu. Aku sengaja merahasiakan bahwa aku menunggu “satu hari” yang mempertemukan kita dalam ikatan cinta, bukan persahabatan.

Salah siapa jika aku jatuh cinta kepada sahabat masa kecilku? Meski beribu hari telah kita lewati, aku masih berharap akan adanya “satu hari” yang dipenuhi oleh cinta untuk kita.

Akankah ada hari itu, Dewa?

Delisa.

“Delisa bilang apa?” kutatap Dewa dengan tatapan membola. Setengah jam sudah aku dirundung penasaran akibat surat yang dititipkan Delisa kepadaku.

Lagipula, aku tidak habis pikir dengan Delisa. Tahun 2012 masih saling berkirim surat? Rasanya percuma waktu dua tahun yang dihabiskannya di Inggris jika hari gini masih saja mengandalkan surat. Beruntung Delisa tidak mengandalkan jasa tukang pos juga.

Aku terkikik saat teringat kejadian tadi pagi. Delisa datang ke apartemenku bersamaan dengan kumandang adzan subuh. “Gue mau minta tolong lo buat ngasih surat ini ke Dewa.”

Sontak tawaku membahana. “Surat, Del?”

“Udah deh nggak usah ketawa. Pokoknya surat ini harus aman sampai di tangan Dewa.”

“Kenapa nggak dikasih sendiri aja sih?”

“Gue nggak bisa. Gue malu.”

“Ya ampun, Del. Lo kenal Dewa bukan kemaren sore ya. Kita bertiga itu udah temenan sejak kelas 1 SD coba. Apanya sih yang bikin lo malu?”

“Udah deh nggak usah bawel. Pokoknya surat ini harus sampai ke tangan Dewa.”

Selesai meyakinkanku untuk bertindak sebagai tukang pos dan tidak usil membuka surat itu, Delisa pun melenggang pergi. Jadilah siang ini aku menyatroni kantor Dewa yang kebetulan bersebelahan dengan gedung perkantoranku dan mengajaknya makan siang.

“Delisa bilang apa sih?” desakku yang tidak sabaran karena dari tadi Dewa hanya senyum-senyum nggak jelas.

“Nih. Baca aja sendiri.”

Langsung saja kusambar kertas itu dari tangan Dewa dan membaca surat Delisa.

Degg. Jantungku serasa berhenti berdetak saat mataku menyisir barisan kalimat yang ditulis tangan tersebut. Ini kan…

Aku familiar dengan tulisan tangan ini. Bukan karena aku dan Delisa tumbuh bersama sehingga aku hafal dengan tulisan tangan sahabatku itu. Namun, tulisan ini sangat familiar karena ini adalah tulisanku.

Dan kertas berwarna kuning gading dengan gambar jangkar di bagian kanan atas ini adalah kertas buku harianku.

Dan ini tulisanku. Curahan hatiku yang bertahun-tahun menjadi rahasia yang kusimpan sendiri.

Aku mencintai Dewa, sahabat masa kecilku, dan sekarang perasaan itu terpampang jelas di hadapan Dewa. Hanya saja, atas nama Delisa, bukan aku.

#15HariNgeblogFF Day 7


SHARE:
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

3 comments

BLOG TEMPLATE CREATED BY pipdig